Kaum Teroris Menyalahpahamkan al-Qur`an

Dari sejak awal Nabi saw sudah mengingatkan akan ada kelompok-kelompok ekstrem di tengah-tengah umat Islam yang menghalalkan darah sesama muslim atau orang kafir yang tidak boleh diperangi karena pemahaman yang dangkal terhadap al-Qur`an. Shahabat pun mengingatkan bahwa kelompok ekstrem tersebut keliru menempatkan ayat-ayat yang ditujukan untuk orang kafir dengan memberlakukannya kepada umat Islam.


Kaum teroris yang dimaksud dalam tulisan ini adalah mereka yang menyerang dengan senjata kepada orang-orang kafir yang hidup damai bersama umat Islam atau orang-orang Islam yang sudah dinilai kafir karena mendukung pemerintahan thaghut, seperti polisi, tentara, atau lainnya, dengan dalih jihad. Pada masa-masa awal Islam, tepatnya zaman shahabat, kelompok ekstrem seperti ini dikenal dengan nama Khawarij (dari kata khuruj yang artinya separatis atau berontak) atau Haruriyyah (dari kata Harura yang merupakan tempat sentral mereka di Irak).
Sebagaimana dijelaskan Abu Bakar Ibnul-‘Arabi, identitas utama dari Khawarij itu ada dua: (a) Menilai siapa yang menyerahkan urusan hukum kepada manusia (tahkim) sebagai kafir. (b) Menilai siapa yang melakukan dosa besar sebagai orang kafir dan akan kekal di neraka (Fathul-Bari 14 : 287-289 kitab istitabah al-murtaddin bab qatlil-khawarij wal-mulhidin ba’da iqamah al-hujjah ‘alaihim).
Ideologi Khawarij ini mirip sekali dengan ideologi “kaum teroris” yang dimaksud tulisan ini. Mereka menilai NKRI sebagai negara thaghut, pemerintahnya pemerintah thaghut, dan semua pendukungnya juga pendukung thaghut hanya karena alasan tidak menyerahkan hukum kepada Allah, melainkan kepada manusia atau demokrasi. Konsekuensinya mudah ditebak, demokrasi dinilai sebagai sistem kafir, dan siapa saja yang mendukung demokrasi termasuk kafir. Mendukung demokrasi dan segenap hukum yang dinilai bukan hukum Allah swt termasuk dosa besar, dan pelaku dosa besar juga dinilai kafir. Konsekuensi berikutnya, orang kafir harus diperangi dengan segenap cara meski dengan mengorbankan diri alias bom bunuh diri.
Ketika Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib mewakilkan kepada Abu Musa al-Asy’ari untuk menetapkan hukum bersama perwakilan Mu’awiyah, kaum Khawarij menilai ‘Ali melanggar firman Allah swt: Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS. Al-An’am [6] : 57 dan Yusuf [12] : 40). ‘Ali saat itu geram dan mengatakan: “Kalimah haq yuradu biha bathil; (pernyataan Khawarij itu adalah) kalimat yang haq, tetapi maksudnya bathil”. Ibn ‘Abbas yang diutus ‘Ali untuk mengingatkan Khawarij menjelaskan bahwa mewakilkan hukum kepada manusia tidak salah sepanjang yang diputuskan bersesuaian dengan hukum Allah. Dalilnya firman Allah swt dalam QS. An-Nisa` [4] : 35. Akan tetapi kaum Khawarij tetap keras kepala dan mereka malah banyak melakukan teror di tengah-tengah umat Islam.
Fenomena ekstremisme Khawarij/Haruriyyah itu kemudian ditanyakan oleh umat Islam kepada para ulama di zaman itu, yakni para shahabat. Para shahabat kemudian menjawabnya dengan hadits-hadits Nabi saw yang sudah mengingatkan dari sejak awal akan adanya kelompok ekstrem di tengah-tengah umat Islam karena tidak memahami al-Qur`an dengan benar:

عَنْ أَبِي سَلَمَةَ وَعَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ أَنَّهُمَا أَتَيَا أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ فَسَأَلَاهُ عَنْ الْحَرُورِيَّةِ أَسَمِعْتَ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ لَا أَدْرِي مَا الْحَرُورِيَّةُ سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ يَخْرُجُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ وَلَمْ يَقُلْ مِنْهَا قَوْمٌ تَحْقِرُونَ صَلَاتَكُمْ مَعَ صَلَاتِهِمْ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ حُلُوقَهُمْ أَوْ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنْ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ فَيَنْظُرُ الرَّامِي إِلَى سَهْمِهِ إِلَى نَصْلِهِ إِلَى رِصَافِهِ فَيَتَمَارَى فِي الْفُوقَةِ هَلْ عَلِقَ بِهَا مِنْ الدَّمِ شَيْءٌ

Dari Abu Salamah dan ‘Atha’ ibn Yasar, keduanya pernah mendatangi Abu Sa’id Al-Khudri dan menanyainya tentang Haruriyyah: “Apakah engkau mendengar riwayat dari Nabi saw?” Ia mengatakan: “Saya tidak tahu menahu tentang Haruriyyah. Hanyasaja aku mendengar Nabi saw bersabda: ‘Akan muncul di kalangan umat ini—dan ia tidak mengatakan dari umat ini—suatu kaum yang kalian akan meremehkan shalat kalian bila dibandingkan dengan shalat mereka, mereka membaca al-Qur`an namun tidak melewati kerongkongan atau tenggorokan mereka, tetapi mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah keluar dari busurnya, lantas sang pelempar melihat anak panahnya, mata panahnya hingga kain panahnya, hingga seolah-olah anak panah itu keluar dalam tempat senar, apakah ada darah yang menempel?” (Shahih al-Bukhari kitab istitabah al-murtaddin bab qatlil-khawarij wal-mulhidin no. 6931).
Jawaban yang sama dengan Abu Sa’id di atas dikemukakan juga oleh shahabat Ibn ‘Umar:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ وَذَكَرَ الْحَرُورِيَّةَ فَقَالَ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ يَمْرُقُونَ مِنْ الْإِسْلَامِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنْ الرَّمِيَّةِ

Dari Abdullah ibn Umar ketika ia menceritakan tentang Haruriyyah (Khawarij), ia menyatakan: “Nabi saw bersabda:Mereka keluar dari Islam, sebagaimana anak panah keluar dari busurnya.  (Shahih al-Bukhari kitab istitabah al-murtaddin bab qatlil-khawarij wal-mulhidin no. 6932).
Dalam kesempatan lain Ibn ‘Umar mengomentari dengan pedas dan menjelaskan penyebabnya, sebagaimana ditulis oleh Imam al-Bukhari:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَرَاهُمْ شِرَارَ خَلْقِ اللَّهِ وَقَالَ إِنَّهُمْ انْطَلَقُوا إِلَى آيَاتٍ نَزَلَتْ فِي الْكُفَّارِ فَجَعَلُوهَا عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

Ibn ‘Umar menilai mereka sebagai makhluk Allah yang jahat. Ia berkata: “Sesungguhnya mereka menggunakan ayat-ayat yang ditujukan untuk orang kafir dengan memberlakukannya kepada orang-orang beriman.” (Shahih al-Bukhari kitab istitabatil-murtaddin wal-mu’anidin wa qitalihim bab qatlil-khawarij wal-mulhidin).
Penjelasan para shahabat di atas menegaskan sebuah kesalahan fatal jika ada sekelompok muslim dangkal dalam memahami ayat-ayat al-Qur`an. Nabi saw mengancam mereka bisa menjadi kafir hanya karena memahami sebagian ayat dan melupakan ayat-ayat lainnya. Jika mereka, sebagaimana dijelaskan ‘Ali, menggunakan ayat-ayat al-Qur`an yang haq dalam cara yang bathil. Yakni mereka, sebagaimana dijelaskan Ibn ‘Umar, memberlakukan ayat-ayat untuk orang kafir kepada orang-orang Islam sehingga mudah mengkafirkan orang Islam.
Terlalu banyak ayat-ayat al-Qur`an yang menjelaskan bahwa ukuran kekafiran itu bukan semata-mata urusan “hukum Allah”. Kalaupun yang tidak menetapkan hukum Allah swt, kafir (QS. al-Ma`idah [5] : 44), tetapi kafirnya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn ‘Abbas, bukan sampai kafir ‘aqidah, hanya kafir ‘amal (Tafsir Ibn Katsir). Status mereka tetap muslim yang haram darahnya. Sebab ayat-ayat lain menegaskan bahwa muslim yang bersyahadat, shalat, dan zakat, meski mereka pendosa besar, mereka tidak boleh diperangi melainkan harus diperlakukan sebagai saudara seagama (QS. at-Taubah [9] : 5 dan 11). Jadi standar boleh tidaknya diperangi itu bukan “hukum Allah” melainkan syahadat, shalat, dan zakat.
Pemerintah thaghut atau pemerintah kafir itu sendiri adalah yang jelas-jelas dipimpin oleh orang kafir. Selama para pemimpin suatu negara masih shalat, maka mereka bukan pemerintah thaghut/kafir. Nabi saw mengingatkan:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tapi kalian mengingkari mereka. Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari, maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita boleh memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak boleh, selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).
Jihad kepada pemerintah yang masih shalat, meski banyak penyimpangannya, bukan dengan senjata, tetapi dengan dakwah, amar ma’ruf, dan nahyi munkar.

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Sebaik-baiknya jihad adalah kalimat yang benar yang disampaikan kepada pemerintah yang zhalim (Sunan Abi Dawud kitab al-malahim bab al-amr wan-nahy no. 4346).
Syari’at perang melawan orang kafir pun tidak bisa diberlakukan kepada orang-orang kafir yang sepakat hidup bersama secara damai. Al-Qur`an sudah mengecualikan orang-orang kafir tersebut dari peperangan (QS. at-Taubah [9] : 4). Konsekuensinya, ayat-ayat jihad/perang tidak bisa diberlakukan kepada orang-orang kafir di wilayah NKRI, termasuk kepada pemerintah NKRI dan segenap aparatnya. Wal-‘Llahul-Musta’an.