Hukum Kredit ke Bank Syari’ah

Bismillah. Bagaimana hukumnya mengkredit ke bank syari’ah atau konvensional untuk membeli tanah atau toko untuk usaha? Terima kasih 0818771xxx
Kredit itu akadnya pasti meminjam. Jika itu ke bank konvensional, maka kredit itu diberlakukan sebagai kredit pinjaman. Kemudian anda diharuskan membayar pinjaman tersebut dengan cara diangsur dengan ada kelebihannya atau bunga. Bunga yang seperti ini jelas termasuk riba. Hukumnya haram. Jangan terlalu mudah beralasan darurat, sebab dari sejak zaman Nabi saw juga tidak ada yang meminjam tidak darurat. Semua yang meminjam pasti statusnya darurat atau mendesak. Jika tidak mendesak tidak mungkin memaksakan diri meminjam. Meski demikian hukumnya tetap saja haram.
Sementara jika anda meminjamnya ke bank syari’ah, maka akad yang diberlakukan tidak mungkin kredit, melainkan ‘pembiayaan’ (financing). Akad yang biasa diberlakukan adalah mudlarabah, musyarakah, murabahah, atau bai’ istishna’. Meski demikian anda harus cermat, sebab terkadang pihak bank syari’ah tidak menempuh akad pembiayaan secara benar.
Akad mudlarabah atau musyarakah (kerja sama permodalan) diberlakukan oleh bank syari’ah kepada seseorang yang butuh modal usaha. Jika modal usaha itu sepenuhnya dari bank, akadnya mudlarabah. Jika sebagiannya saja, akadnya musyarakah. Nanti bank syari’ah mendapatkan pembayaran uang yang digunakan untuk modal oleh nasabah dan bagian dari bagi hasil usaha. Biasanya misalkan nisbahnya 60 : 40 untuk nasabah : bank. Jadi kalau anda butuh modal 100.000.000,- dan hasil keuntungan yang diprediksi 20.000.000,- maka nanti anda setor ke bank syari’ah 100.000.000,- + 8.000.000,- (40% dari hasil usaha). Biasanya pembayarannya diangsur dua tahun, jadi 108.000 : 24 = 4.500.000 per bulan. Catatannya, jika kemudian usaha anda rugi, maka anda tidak ada kewajiban menyetorkan bagian hasil usaha. Hanya wajib menyetorkan uang pinjaman modal 100.000.000,-. Di beberapa bank syari’ah tertentu, kejadian kerugian usaha ini seringkali tidak diperhitungkan. Maka anda harus hati-hati, sebab jika tidak diperhitungkan kejadian kerugian usaha, berarti itu riba, bukan mudlarabah/musyarakah, sebab memaksakan adanya kelebihan/bunga meski yang meminjam tidak mendapatkan untung.
Murabahah (jual beli kredit) biasanya diberlakukan pada seseorang yang membutuhkan barang yang mahal seperti kendaraan atau rumah. Jika anda butuh rumah atau mobil, maka bank bertindak sebagai penjual, dan anda pembelinya. Rumah/mobil yang anda butuhkan akan dibeli terlebih dahulu oleh bank, lalu bank menjualnya kepada anda dengan cara diangsur. Kesalahan biasanya dilakukan oleh bank dengan menyerahkan kepada nasabah akad jual beli dengan developer rumah atau penjual mobilnya. Lalu nasabah tersebut datang ke bank dan memohon dana untuk transaksi jual beli dengan developer/penjual mobil. Yang seperti ini berarti akad pinjaman, bukan pembiayaan/jual beli. Jika kemudian anda membayar angsuran ke bank, maka itu angsuran pinjaman yang kelebihannya adalah riba. Hukumnya haram.
Bai’ istishna’ (jual beli pembuatan barang) mekanismenya tidak jauh berbeda dengan murabahah, dimana akad yang diberlakukan jual beli. Biasanya diberlakukan di bidang manufaktur, contohnya dalam renovasi rumah. Jika seorang nasabah butuh dana 100.000.000,- untuk renovasi rumah, maka akadnya nasabah membeli kepada bank jasa renovasi rumah sebesar 120.000.000,-. Jadi nasabah membayar kepada bank secara diangsur sebesar 120.000.000,- meski bank mengeluarkan dana untuk renovasi sebesar 100.000.000,-. Tetapi nasabah harus tidak tahu menahu tentang pembiayaan renovasi itu. Murni bank yang mengatur pembiayaan renovasi itu dengan menunjuk rekanan toko matrial/pemborong tertentu dalam mengerjakan renovasi tersebut. Jika yang terjadi uang 100.000.000,- itu diberikan cash kepada nasabah dan nasabah yang mengatur pembiayaan renovasi, berarti ketika nasabah membayar angsuran kepada bank sebesar 120.000.000,- itu akadnya pinjaman berbunga. Hukumnya haram. Wal-‘Llahu a’lam.
One Comment