Hukum Memberi Nama dengan Nama Allah swt

Bagaimana hukumnya memberi nama dengan al-asma`ul-husna seperti Latif, Al Aziz, dan semacamnya? Jika sudah terlanjur apakah harus diganti atau cukup niat baik saja untuk tidak dimaksudkan menyamai Allah swt sehingga tidak perlu diganti. 0812-1496-xxxx
Nabi saw menyebutkan bahwa nama yang paling hina pada hari kiamat adalah nama yang menandingi kemahabesaran Allah swt:
أَغْيَظُ رَجُلٍ عَلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَخْبَثُهُ وَأَغْيَظُهُ عَلَيْهِ رَجُلٌ كَانَ يُسَمَّى مَلِكَ الأَمْلاَكِ لاَ مَلِكَ إِلاَّ اللَّهُ
Orang yang paling dimurkai Allah pada hari kiamat, paling kotor, dan paling dimurkai oleh-Nya adalah seseorang yang diberi nama: “Raja semua raja”. Tidak ada raja semua raja melainkan Allah (Shahih Muslim bab tahrimit-tasammi bi malikil-amlak no. 5735. Dalam riwayat Muslim lainnya: akhna’ [paling hina]. Dalam riwayat al-Bukhari: akhna [paling nista, binasa]-Shahih al-Bukhari bab abghadlul-asma` ilal-‘Llah no. 6205).
Terkait hadits di atas Imam an-Nawawi menjelaskan:
وَأَعْلَم أَنَّ التَّسَمِّي بِهَذَا الِاسْم حَرَام. وَكَذَلِكَ التَّسَمِّي بِأَسْمَاءِ اللَّه تَعَالَى الْمُخْتَصَّة بِهِ كَالرَّحْمَنِ وَالْقُدُّوس وَالْمُهَيْمِن وَخَالِق الْخَلْق وَنَحْوهَا
Ketahuilah sesungguhnya memberi nama dengan nama ini hukumnya haram. Demikian juga memberi nama dengan nama-nama Allah ta’ala yang khusus bagi-Nya seperti ar-Rahman, al-Quddus, al-Muhaimin, Pencipta makhluk, dan semacamnya (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab tahrimit-tasammi bi malikil-amlak).
Malikul-amlak hanya milik Allah swt, meski malik (raja) gelar yang dibenarkan untuk manusia yang memilki kedudukannya. Akan tetapi jika malikul-amlak ini hanya milik Allah swt saja, tidak mungkin untuk selain-Nya. Maka dari itu fiqihnya, sebagaimana Imam an-Nawawi singgung di atas, berlaku juga untuk nama-nama khusus bagi Allah swt lainnya.
Nama-nama khusus untuk Allah swt dikenal dengan al-asma`ul-husna yang sebagaimana difirmankan-Nya dalam QS. Al-A’raf [7] : 180 hanya milik Dia saja dan jangan sampai disimpangkan lafazhnya atau untuk selain-Nya terutama berhala. Meski demikian, dari al-asma`ul-husna tersebut ada yang digunakan nama manusia dalam al-Qur`an, di antaranya untuk menyifati Nabi saw: ‘aziz (merasakan berat penderitaan umat), ra`uf (belas kasihan), rahim (penyayang) dalam QS. At-Taubah [9] : 128, atau sami’ (bisa mendengar) dan bashir (bisa melihat) untuk menyifati manusia yang diciptakan Allah swt dalam QS. Al-Insan [76] : 2.
Dengan demikian, jika al-asma`ul-husna yang dijadikan nama itu adalah sifat yang juga dimiliki manusia atau layak dan diharapkan dimiliki oleh manusia yang baik, maka tentu diperbolehkan. Jika yang tidak layak dimiliki seperti Khaliq (pencipta), Fathir (pencipta), Mutakabbir (sombong), dan semacamnya maka ini tidak boleh diberikan kepada manusia, karena sama dengan malikul-amlak yang Nabi saw larang dalam hadits di atas.
Hal lain yang membedakannya adalah penulisan nama tersebut. Jika dikenakan untuk manusia, maka yang seperti al-asma`ul-husna tersebut tidak ditulis dengan memakai alif lam ta’rif (memaknai sesuatu yang khusus), tetapi dengan tanwin nakirah di akhir (memaknai apa saja yang tercakup maknanya). Jadi jika lathif saja dengan harapan orang tersebut menjadi orang yang lembut dan senang memberi, maka tidak jadi masalah. Tetapi jika al-Lathif ini maknanya khusus untuk Allah swt.
Adapun al-‘Aziz, al-Qur`an menyebutkannya juga sebagai gelar raja seperti halnya al-malik (QS. Yusuf [2] : 30, 51, 78, 88). Dalam konteks ini jika diniatkan agar menjadi seorang raja/penguasa/pejabat maka bisa diperbolehkan. Yang diharamkan itu kalau namanya a’azzul-‘aziz (yang paling gagah/berkuasa dari semua yang gagah/berkuasa) sebagaimana malikul-amlak. Jika masih ada kekhawatiran menyerupai nama Allah swt: al-‘Aziz, maka tentu yang meragukan harus dihindari dengan menambahnya menjadi Abdulaziz atau Aziz saja. Wal-‘Llahu a’lam.