Bismillah, Ustadz bagaimana hukumnya menjadi driver ojek online. Soalnya terkadang driver tidak tahu jenis kelamin yang akan menjadi penumpang. Jika ternyata bukan muhrim, apakah boleh diangkut? 08995499xxxx
Terkait mengangkut penumpang non muhrim, tentu hukumnya tidak terkait driver ojek online saja, melainkan juga semua driver kendaraan yang privat seperti ojek biasa/offline, taksi online atau offline, termasuk sopir pribadi. Menjadi haram seandainya terjadi khalwat (hanya berduaan) dan ada persentuhan badan kontak langsung. Nabi saw sudah mengingatkan:
لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ وَلَا تُسَافِرَنَّ امْرَأَةٌ إِلَّا وَمَعَهَا مَحْرَمٌ
Janganlah seorang lelaki berduaan dengan seorang perempuan dan jangan pula seorang perempuan safar sendirian kecuali disertai muhrimnya (Shahih al-Bukhari bab man uktutiba fi jaisy wa kharajat imra`utuhu hajjatan no. 3006).
Larangan persentuhan badan kontak langsung adalah dalil-dalil yang melarang untuk mendekati zina (QS. al-Isra` [17] : 32, al-An’am [6] : 151) yang kemudian ditegaskan dalam hadits, bentuknya: “Mata, zinanya melihat. Telinga, zinanya mendengar. Lisan, zinanya berbicara. Tangan, zinanya memegang. Kaki, zinanya melangkah (Shahih Muslim kitab al-qadr bab quddira ‘ala ibn Adam hazhzhahu minaz-zina no. 6925).
Meski demikian, Imam Muslim menyatakan dalam kitab Shahih Muslimnya:
جَوَازِ إِرْدَافِ الْمَرْأَةِ الأَجْنَبِيَّةِ إِذَا أَعْيَتْ فِى الطَّرِيقِ
Boleh membonceng perempuan ajnabiyyah (non muhrim) apabila ia kelelahan di jalan.
Haditsnya adalah tawaran Nabi saw untuk membonceng Asma` binti Abu Bakar yang saat itu sedang memikul kayu bakar di atas kepalanya, meski kemudian Asma` menolaknya (Shahih al-Bukhari bab al-ghirah no. 5224; Shahih Muslim bab jawaz irdafil-mar`ah al-ajnabiyyah no. 5821).
Terkait hal ini Imam an-Nawawi menyatakan: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membonceng seorang perempuan yang bukan mahram apabila ditemukan sedang kelelahan di jalan, terlebih lagi saat itu sedang berada rombongan orang-orang shalih. Tidak ragu lagi dibolehkannya hal tersebut.” (Syarah Shahih Muslim). Demikian halnya al-Hafizh Ibn Hajar, dengan mengutip pendapat al-Muhallab dan ia menyetujuinya, menyatakan: “Hadits ini menunjukkan bolehnya membonceng perempuan di belakang lelaki di kendaraan lelaki.” (Fathul-Bari bab al-ghirah).
Artinya dalam keadaan yang memang mendesak dan dibutuhkan, maka membonceng perempuan non muhrim itu jadi boleh. Tetapi tetap tentunya tidak melanggar larangan pokok yang sudah berlaku umum, yakni tidak khalwat dan tidak ada kontak persentuhan langsung. Dalam kasus Asma` di atas, tidak ada khalwat sebab saat itu Nabi saw sedang bersama rombongan para shahabat yang shalih. Demikian juga diyakini tidak akan persentuhan. Maka dari itu, al-Hafizh menjelaskan di paragraf sebelumnya bahwa sangat mungkin maksud Nabi saw memberi Asma` tumpangan sementara Nabi saw pindah kendaraan lain. Atau juga seperti diisyaratkan hadits lain dari seorang perempuan muda Bani Ghifar yang dibonceng Rasul saw di haqibah rahlihi; bagian belakang kendaraannya (Sunan Abi Dawud bab al-ightisal minal-haidl no. 313), dimana Imam al-‘Azhim Abadi memastikan tidak ada persentuhan langsung karena dibonceng di haqibah rahlihi itu tidak akan bersentuhan langsung (‘Aunul-Ma’bud). Meski hadits perempuan Bani Ghifar ini dinilai dla’if oleh Syaikh al-Albani dan Syu’aib al-Arnauth, tetapi sebagai pembantu keterangan bahwa maksud dibonceng itu tidak berarti bersentuhan langsung, bisa dibenarkan.
Dalam konteks terakhir ini berarti dibonceng motor ojek yang pasti bersentuhan langsung, hukumnya tetap haram. Terkecuali mobil atau taksi yang tidak ada persentuhan langsung, bisa dibenarkan. Itupun jika benar-benar dibutuhkan dan ada di keramaian atau tidak khalwat. Maka dari itu jika seorang driver ojek mendapatkan order penumpang yang ternyata bukan muhrim, berarti ia harus membatalkan order tersebut. Wal-‘Llahu a’lam.
One thought on “Hukum Driver Ojek Membonceng Perempuan”
Comments are closed.