Uang Pesangon Almarhum Termasuk Waris

Uang Pesangon Almarhum Termasuk Waris

Ayah saya meninggal dunia. Ia mendapatkan pesangon pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat meninggal dunia dari perusahaannya. Apakah itu termasuk waris yang harus dibagikan kepada ahli waris berdasarkan ketentuan faraidl. Soalnya kami berpikir bahwa uang tersebut sudah saja diberikan kepada ibu kami untuk membiayai hidup sehari-harinya? 08122110-xxx

Pesangon berdasarkan PP Nomor 35 Tahun 2021 (tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja) pasal 40 ayat 2-4 termasuk hak karyawan meninggal dunia di samping uang penghargaan dan uang penggantian hak. Maka dari itu termasuk tirkah (harta warisan) yang harus dibagikan kepada ahli waris berdasarkan ketentuan syari’at.

Hal ini tentunya berbeda dengan uang santunan kematian yang jelas ditujukan untuk keluarga yang masih hidup sehingga tidak termasuk harta Almarhum yang harus dibagikan sebagai warisan. Uang santunan kematian kedudukannya sama dengan uang ta’ziyah (duka cita) dari kerabat, tetangga, dan teman yang memang Nabi saw anjurkan untuk diberikan kepada keluarga Almarhum, sehingga tidak termasuk warisan.

Sementara dana pensiun ada dua; ada yang menjadi hak Almarhum yang biasanya sebesar gaji tiga bulan sesudah kematian dan ada juga yang menjadi hak keluarga yang ditinggal mati. Dana pensiun yang menjadi hak Almarhum statusnya sebagai warisan, sementara yang menjadi hak keluarga bukan sebagai warisan. Santunan lainnya jaminan hari tua dari BPJS Ketenagakerjaan termasuk harta Almarhum yang harus dibagikan sebagai warisan karena memang ditujukan untuknya.

Pertimbangan bahwa Ibu memerlukan biaya hidup untuk kehidupan sehari-harinya itu termasuk persoalan nafkah yang menjadi kewajiban anak-anaknya seandainya orang tua sudah tidak mampu menafkahi diri mereka sendiri. Allah swt menjelaskan dalam salah satu firman-Nya:

يَسۡأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَۖ قُلۡ مَآ أَنفَقۡتُم مِّنۡ خَيۡرٖ فَلِلۡوَٰلِدَيۡنِ وَٱلۡأَقۡرَبِينَ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينِ وَٱبۡنِ ٱلسَّبِيلِۗ وَمَا تَفۡعَلُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ  ٢١٥

Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: “Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan“. Dan apa saja kebaikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya (QS. al-Baqarah [2] : 215).

Syaikh as-Sa’di dalam kitab tafsirnya menjelaskan maksud ayat di atas:

فأولى الناس به وأحقهم بالتقديم، أعظمهم حقا عليك، وهم الوالدان الواجب برهما، والمحرم عقوقهما، ومن أعظم برهما، النفقة عليهما، ومن أعظم العقوق، ترك الإنفاق عليهما، ولهذا كانت النفقة عليهما واجبة، على الولد الموسر، ومن بعد الوالدين الأقربون، على اختلاف طبقاتهم، الأقرب فالأقرب، على حسب القرب والحاجة، فالإنفاق عليهم صدقة وصلة

Manusia paling utama, paling berhak didahulukan, dan paling besar haknya untuk kamu tunaikan adalah orang tua; yang wajib hukumnya berbakti kepada mereka dan haram hukumnya durhaka kepada mereka. Di antara bentuk berbakti yang paling istimewa adalah memberi nafkah kepada mereka. Dan di antara bentuk durhaka yang paling keji adalah tidak memberi nafkah kepada mereka. Oleh karena itu memberi nafkah kepada orang tua hukumnya wajib bagi anak yang memiliki keleluasaan harta.

Setelah orang tua baru kemudian kerabat dekat sesuai dengan perbedaan tingkatan mereka; mendahulukan yang paling dekat, lalu yang paling dekat berikutnya, berdasarkan pertimbangan kedekatan dan kebutuhan. Tetapi memberi nafkah kepada mereka statusnya hanya sebagai shadaqah dan shilaturahmi (Tafsir as-Sa’di).

Wal-‘Llahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *