Kontemporer

Balada “Generasi Anjing” dalam al-Qur`an

Al-Qur`an menyebutkan satu generasi yang lebih berat memilih dunia dengan mencampakkan kitab Allah ibarat anjing. Diberi atau tidak diberi tetap saja menjulurkan lidahnya. Padahal mereka mewarisi kitab Allah dari para Nabi, tetapi mereka selalu saja mengorbankan nilai-nilai yang diajarkan kitab Allah tersebut hanya untuk kepentingan duniawi sesaat. Ironinya mereka rajin beristighfar, tetapi sesudah beristighfar itu mereka mengorbankan lagi kitab Allah demi dunia, dan demikian seterusnya berulang-ulang.

Perumpamaan “kasar” dari Allah swt yang menyamakan manusia dengan anjing tertuang dalam surat al-A’raf. Manusia yang disamakan dengan anjing itu adalah seseorang yang memahami ayat-ayat Allah atau dengan kata lain seorang ulama cendekia tetapi ia meninggalkan ajaran mulia dari ayat-ayat Allah karena lebih berat memilih kepentingan dunia. 

وَٱتۡلُ عَلَيۡهِمۡ نَبَأَ ٱلَّذِيٓ ءَاتَيۡنَٰهُ ءَايَٰتِنَا فَٱنسَلَخَ مِنۡهَا فَأَتۡبَعَهُ ٱلشَّيۡطَٰنُ فَكَانَ مِنَ ٱلۡغَاوِينَ  ١٧٥ وَلَوۡ شِئۡنَا لَرَفَعۡنَٰهُ بِهَا وَلَٰكِنَّهُۥٓ أَخۡلَدَ إِلَى ٱلۡأَرۡضِ وَٱتَّبَعَ هَوَىٰهُۚ فَمَثَلُهُۥ كَمَثَلِ ٱلۡكَلۡبِ إِن تَحۡمِلۡ عَلَيۡهِ يَلۡهَثۡ أَوۡ تَتۡرُكۡهُ يَلۡهَثۚ ذَّٰلِكَ مَثَلُ ٱلۡقَوۡمِ ٱلَّذِينَ كَذَّبُواْ بِ‍َٔايَٰتِنَاۚ فَٱقۡصُصِ ٱلۡقَصَصَ لَعَلَّهُمۡ يَتَفَكَّرُونَ  ١٧٦

Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir (QS. al-A’raf [7] : 175-176).

Al-Hafizh Ibn Katsir mengutip penjelasan dari shahabat Ibn Mas’ud ra menyebutkan bahwa orang yang dimaksud oleh ayat itu adalah Bal’am ibn Ba’ura, seorang ulama dari Bani Israil. Sementara Ibn ‘Abbas menyebutkan namanya Shaifi ibn ar-Rahib. Menurut Malik ibn Dinar, orang yang dimaksud Ibn Mas’ud dan Ibn ‘Abbas tersebut adalah seorang ulama Bani Israil yang diutus oleh Nabi Musa as untuk berdakwah kepada Raja Madyan. Akan tetapi ketika ditawari harta dan kedudukan oleh Raja Madyan, ia malah murtad meninggalkan agama Nabi Musa as dan mengikuti agama yang dianut Raja Madyan dan pengikutnya.

Sementara itu ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash menyebutkan bahwa orang yang dimaksud ayat itu adalah Umayyah ibn Abis-Shalt. Profil Umayyah ibn Abis-Shalt sendiri sudah dibahas dalam edisi “Umayyah Beriman dalam Kekafiran” (https://attaubah-institute.com/umayyah-beriman-dalam-kekafiran/). Umayyah ibn Abis-Shalt adalah seorang tokoh dari bani Tsaqif, Tha`if, salah satu kota besar di Arab, yang kebesaran kotanya menyamai Makkah saat itu. Ia semula orang baik yang aktif meneliti agama yang benar sebagaimana halnya Waraqah ibn Naufal dan Zaid ibn ‘Amr ibn Nufail. Jika Zaid ibn ‘Amr memilih agama hanif Ibrahim as, maka Waraqah dan Umayyah ini memilih beragama Nashrani. Ia juga aktif mengajarkan kepada umatnya akan diutusnya seorang Nabi terakhir dari bangsa Arab, dan ia berharap semoga Nabi itu adalah dirinya sendiri. Itu karena ia merasa pantas untuk menjadi Nabi dan Tha`if pun mendukung untuk dijadikan sebagai pusat ajaran kenabian.

Setelah Nabi Muhammad saw diutus, Umayyah tidak pernah mau beriman kepada Nabi saw. Ketika pernah ditanya oleh Abu Sufyan kenapa ia tidak beriman kepada Nabi saw padahal ia sendiri sering mengajarkan akan datang Nabi terakhir: “Hai Umayyah, sungguh telah diutus Nabi yang dari dulu kamu tunggu.” Ia menjawab: “Sungguh benar ia seorang Nabi, maka ikutilah ia.” Aku bertanya: “Lalu apa yang menghalangimu dari mengikutinya?” Ia menjawab: “Tidak ada yang menghalangiku dari mengikutinya kecuali rasa malu dari kaum ibu-ibu Tsaqif. Dahulu aku memberitahu mereka bahwa akulah yang akan jadi Nabi itu, tetapi kemudian mereka melihatku menjadi pengikut seorang anak muda dari Bani ‘Abdi Manaf!?” (al-Mu’jamul-Kabir at-Thabrani bab as-shad Shakhr ibn Harb no. 7262).

Padahal Umayyah ibn Abis-Shalt terkenal sebagai penggubah sya’ir dan ada banyak sya’ir yang telah dibuatnya berisi tentang tauhid dan keimanan pada hari kiamat. Nabi saw sendiri pernah mengomentari tentang syair-syairnya:

فَلَقَدْ كَادَ يُسْلِمُ فِى شِعْرِهِ

“Sungguh hampir saja ia masuk Islam dengan sya’irnya.” (Shahih Muslim kitab as-syi’r no. 6024).

Tetapi sampai kematiannya pada tahun 9 H ia tidak pernah mengucapkan syahadat. Bahkan ketika lewat makam kaum musyrik korban perang Badar ia meratapi kematian mereka dan berkabung atas mereka. Sebuah pertanda yang jelas bahwa ia memilih kufur. Ilmunya tidak menuntunnya pada iman karena terhalang oleh kepentingan dunia.

Orang-orang yang seperti dijelaskan di atas adalah orang-orang yang menguasai ilmu-ilmu kitab Allah tetapi tidak beriman hanya karena lebih memilih pragmatisme dunia. Mereka diibaratkan dengan anjing karena, sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Katsir, sama saja bagi mereka apakah diingatkan atau tidak diingatkan mereka akan tetap dalam kekufuran. 

Atau maknanya juga mungkin disamakan dalam hal tidak pernah ada kepuasan dalam nafsu duniawi. Sudah diberi apalagi belum diberi, terus saja menjulurkan lidahnya karena nafsu yang tidak ada hentinya.

Profil Bal’am atau Shofi sebagai ulama Bani Israil yang disamakan dengan anjing seperti di atas adalah gambaran umum dari generasi ulama Bani Israil itu sendiri. Dalam ayat-ayat sebelumnya, Allah swt menyinggung keberadaan mereka sebagai berikut:

فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٞ وَرِثُواْ ٱلۡكِتَٰبَ يَأۡخُذُونَ عَرَضَ هَٰذَا ٱلۡأَدۡنَىٰ وَيَقُولُونَ سَيُغۡفَرُ لَنَا وَإِن يَأۡتِهِمۡ عَرَضٞ مِّثۡلُهُۥ يَأۡخُذُوهُۚ أَلَمۡ يُؤۡخَذۡ عَلَيۡهِم مِّيثَٰقُ ٱلۡكِتَٰبِ أَن لَّا يَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ إِلَّا ٱلۡحَقَّ وَدَرَسُواْ مَا فِيهِۗ وَٱلدَّارُ ٱلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَۚ أَفَلَا تَعۡقِلُونَ  ١٦٩

Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diberi ampun”. Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertaqwa. Maka apakah kamu sekalian tidak mengerti? (QS. al-A’raf [7] : 169).

Menurut al-Hafizh Ibn Katsir, ayat di atas semakna dengan ayat berikut:

فَخَلَفَ مِنۢ بَعۡدِهِمۡ خَلۡفٌ أَضَاعُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَٱتَّبَعُواْ ٱلشَّهَوَٰتِۖ فَسَوۡفَ يَلۡقَوۡنَ غَيًّا  

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan (QS. Maryam [19] : 59).

Maksud dari “sesudah mereka” adalah sesudah para Nabi di setiap masanya, sebagaimana difirmankan Allah swt dalam ayat sebelumnya:

أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ أَنۡعَمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ مِن ذُرِّيَّةِ ءَادَمَ وَمِمَّنۡ حَمَلۡنَا مَعَ نُوحٖ وَمِن ذُرِّيَّةِ إِبۡرَٰهِيمَ وَإِسۡرَٰٓءِيلَ وَمِمَّنۡ هَدَيۡنَا وَٱجۡتَبَيۡنَآۚ إِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُ ٱلرَّحۡمَٰنِ خَرُّواْۤ سُجَّدٗاۤ وَبُكِيّٗا۩  ٥٨

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israel, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis (QS. Maryam [19] : 58).

Sepantasnya generasi pelanjut para Nabi itu melanjutkan ajaran-ajaran mulia dari para Nabi, yang terjadi malah sebaliknya, mereka silau dengan gemerlap dunia sehingga berani meninggalkan ajaran kitab mereka, melalaikan shalat, dan memilih jalan kesesatan. Biadabnya mereka, menganggap ringan dosa mereka dan merasa yakin akan diampuni dengan memperbanyak istighfar. Tetapi akhlaq mereka tetap saja terjebak oleh nafsu dunia selepas mereka beristighfar itu, sehingga tetap memilih jalan yang tidak diajarkan Nabi.

Perilaku buruk mereka banyak dikritik dalam al-Qur`an sebagai perbuatan bodoh berani melepaskan ayat-ayat Allah untuk diganti dengan “harga yang murah”. Sebesar apapun bagian dunia yang mereka peroleh, dalam kacamata Allah tetap saja sebagai sesuatu yang bernilai murah (QS. al-Baqarah [2] : 174, Ali ‘Imran [3] : 77, 187, 199, al-Ma`idah [5] : 44, at-Taubah [9] : 9, dan an-Nahl [16] : 95).

Terhadap “generasi anjing” itu Allah swt kemudian memutuskan adzab untuk mereka:

وَإِذۡ تَأَذَّنَ رَبُّكَ لَيَبۡعَثَنَّ عَلَيۡهِمۡ إِلَىٰ يَوۡمِ ٱلۡقِيَٰمَةِ مَن يَسُومُهُمۡ سُوٓءَ ٱلۡعَذَابِۗ إِنَّ رَبَّكَ لَسَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٞ رَّحِيمٞ  ١٦٧

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu memberitahukan, bahwa sesungguhnya Dia akan mengirim kepada mereka (orang-orang Yahudi) sampai hari kiamat orang-orang yang akan menimpakan kepada mereka azab yang seburuk-buruknya. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya, dan sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. al-A’raf [7] : 167)

Di bagian awal surat al-Isra` [17], Allah swt juga sudah memaklumatkan akibat rusaknya generasi Bani Israil maka mereka akan dihancurkan oleh kaum lain bahkan sampai Masjidil-Aqsha pun ikut hancur. Laknat Allah swt ini terus berlaku untuk Bani Israil sampai hari ini akibat generasi yang lahir sesudahnya menjadi “generasi anjing”.

Peringatan Allah swt ini tentunya berlaku juga untuk umat Islam (QS. Yusuf [12] : 111) agar mereka tidak memilih jalan “generasi anjing”. Nabi saw juga sudah mengingatkan bahwa ketika mayoritas umat Islam terkena penyakit wahn (gila dunia anti akhirat) maka umat Islam akan terjajah dan mudah dihancurkan oleh musuh-musuhnya. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button