Pembagian Hak Kontrakan Warisan

Ada asset warisan tapi berupa bangunan yang disewakan. Tidak dibagikan kepada ahli waris karena letaknya strategis dan lebih menguntungkan secara ekonomi untuk disewakan. Apakah uang sewa asset warisan tersebut harus dibagikan sesuai pembagian waris, dimana laki-laki dan perempuan 2 : 1? 0878-0875-xxxx
Harta peninggalan orang yang sudah meninggal dunia statusnya adalah harta waris yang harus dibagikan kepada yang berhaknya. Allah swt menyebutnya nashiban mafrudlan; bagian yang sudah diwajibkan/ditentukan.
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مَّفۡرُوضٗا ٧
Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan (QS. An-Nisa` [4] : 7).
Ketentuan nashiban mafrudlan yang disebutkan dalam ayat di atas dijelaskan dalam ayat-ayat berikutnya siapa-siapa saja yang berhaknya dengan bagian-bagian haknya, sebagaimana sudah diketahui dalam fiqih waris.
Maka asset yang anda tanyakan di atas, karena statusnya jelas sebagai warisan, otomatis sudah berpindah kepemilikan secara syari’at kepada ahli-ahli warisnya. Kalau kemudian disepakati akan tetap disewakan karena lebih bermanfaat, maka berarti uang sewanya menjadi hak ahli-ahli warisnya. Pembagiannya tentu sesuai kadar bagian warisnya dari asset yang disewakan tersebut. Musyawarah tentu menjadi pilihan utama untuk menyelesaikan masalah ini dengan tetap berpatokan pada hukum waris yang sudah diatur syari’at.
Jika asset waris masih tetap dipegang oleh orang-orang tertentu dan tidak diberikan kepada yang berhaknya, maka ini salah satu bentuk khianat atas amanah. Padahal Allah swt sudah tegas menitahkan agar amanah diberikan kepada yang berhaknya.
إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya… (QS. an-Nisa` [4] : 58).
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَخُونُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَ وَتَخُونُوٓاْ أَمَٰنَٰتِكُمۡ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ ٢٧
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (QS. al-Anfal [8] : 27).
Kebolehan menunda pembagian waris hanya karena ada alasan yang dibenarkan syari’at yakni membayar utang-utang mayit, sebagaimana pernah dilakukan oleh ‘Abdullah ibnuz-Zubair yang tidak dulu membagikan waris dari ayahnya, az-Zubair ibnul-‘Awwam, karena hendak melunasi dahulu utang-utangnya. Ia kemudian memperniagakan aset-aset warisnya untuk melunasi utang-utang ayahnya, setelah itu menunggu sampai empat tahun untuk memberi tempo kepada para pemberi utang atau pemberi pinjaman mengajukan tagihan utang atau pengambilan pinjamannya.
وَاللَّهِ لَا أَقْسِمُ بَيْنَكُمْ حَتَّى أُنَادِيَ بِالْمَوْسِمِ أَرْبَعَ سِنِينَ أَلَا مَنْ كَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فَلْنَقْضِهِ قَالَ فَجَعَلَ كُلَّ سَنَةٍ يُنَادِي بِالْمَوْسِمِ فَلَمَّا مَضَى أَرْبَعُ سِنِينَ قَسَمَ بَيْنَهُمْ
“Demi Allah, aku tidak akan membagikannya dahulu kepada kalian hingga aku mengumumkan pada musim haji selama 4 tahun: ‘Wahai siapa saja yang mempunyai piutang kepada az-Zubair silahkan datang kepada kami, akan kami lunasi!” Kata Hisyam: ‘Abdullah mengumumkan setiap tahun pada musim haji. Setelah lewat empat tahun barulah ia membagikan harta warisan itu (Shahih al-Bukhari bab barakatil-ghazi fi malihi hayyan wa mayyitan ma’an-Nabiy ﷺ wa wulatil-umur no. 1982).