Meski banyak hadits dla’if yang menjelaskan fadlilah/keutamaan membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, tidak bisa dinafikan ada juga hadits-hadits shahih yang menjelaskannya. Maka sikap yang tepat adalah mengamalkan hadits yang shahih dan meminggirkan hadits yang dla’if.
Hadits Dla’if Fadlilah Surat al-Kahfi
Di antara hadits-hadits dla’if yang menjelaskan fadlilah surat al-Kahfi adalah:
مَنْ قَرَأَ ثَلاَثَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ
Siapa yang membaca tiga ayat pertama surat al-Kahfi, akan terlindung dari fitnah Dajjal.
Hadits riwayat at-Tirmidzi ini statusnya syadz (bertentangan dengan yang lebih kuat), sebab riwayat lain yang lebih kuat menyebutkan 10 ayat, bukan tiga ayat. Kemungkinan kekeliruan berasal dari Syu’bah (as-Silsilah ad-Dla’ifah al-Albani no. 1336).
مَنْ قَرَأَ سُوْرَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَهُوَ مَعْصُوْمٌ إِلَى ثَمَانِيَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ فِتْنَةٍ تَكُوْنُ فَإِنْ خَرَجَ الدَّجَّالُ عُصِمَ مِنْهُ
Siapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, maka ia akan dilindungi selama delapan hari, dari setiap fitnah yang akan terjadi. Bahkan jika Dajjal keluar pun, ia akan terlindung dari kejahatannya.
Syaikh al-Albani menjelaskan bahwa hadits ini dituliskan oleh ad-Dliya dalam kitab al-Ahadits al-Mukhtarah 1 : 155. Tetapi dalam sanadnya ada rawi bernama ‘Abdullah ibn Mush’ab yang namanya tidak dikenal oleh seorang ulama hadits pun sebagai rawi. Di samping itu ada rawi bernama Ibrahim al-Makhrami yang divonis oleh ad-Daraquthni hadits-haditsnya bathil. Meski demikian ada hadits shahih terkait tema ini tanpa menyebutkan “selama delapan hari” (as-Silsilah ad-Dla’ifah no. 2013).
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِسُوْرَةٍ مَلَأَتْ عَظْمَتُهَا مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلِقَارِئِهَا مِنَ الْأَجْرِ مِثْلُ ذَلِكَ وَمَنْ قَرَأَهَا غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ؟ قاَلُوا : بَلَى قال: سُوْرَةُ الْكَهْفِ
“Maukah kalian aku beritahukan satu surat yang keagungannya memenuhi antara langit dan bumi. Bagi yang menghafalnya juga akan mendapatkan pahala seperti itu. Bagi yang membacanya akan diampuni dosa di antara hari itu dan Jum’at berikutnya ditambah tiga hari?” Shahabat menjawab: “Tentu.” Nabi saw bersabda: “Surat al-Kahfi.”
Hadits riwayat ad-Dailami ini berstatus dla’if jiddan; dla’if sekali disebabkan ada rawi bernama Hisyam al-Makhzumi. Menurut Ibn Hibban, ia selalu meriwayatkan hadits yang la ashla lahu; tidak ada dasarnya, dari Hisyam ibn ‘Urwah (as-Silsilah ad-Dla’ifah no. 2482).
سُوْرَةُ الْكَهْفِ تُدْعَى فِي التَّوْرَاةِ الْحَائِلَةُ؛ تَحُوْلُ بَيْنَ قَارِئِهَا وَبَيْنَ النَّارِ
Surat al-Kahfi itu disebut dalam Taurat dengan nama al-Ha`ilah (pemisah) yang akan memisahkan orang yang menghafalnya dari neraka.
Hadits riwayat al-Baihaqi ini statusnya dla’if jiddan karena ada rawi bernama Sulaiman ibn Mirqa’. Ia divonis oleh al-‘Uqaili sebagai munkarul-hadits. Juga ada Muhammad ibn ‘Abdirrahman al-Jad’ani yang dinilai matrukul-hadits (rawi pendusta) oleh al-Hafizh Ibn Hajar (as-Silsilah ad-Dla’ifah no. 3001).
Hadits Shahih Fadlilah Surat al-Kahfi
Sementara hadits shahih yang menerangkan fadlilah surat al-Kahfi ada dua kategori, yaitu: (1) yang menjelaskan fadlilahnya secara umum, dan (2) yang menjelaskan khusus fadlilah membaca al-Kahfi pada malam/hari Jum’at. Hadits yang secara umum menjelaskan fadlilah membaca surat al-Kahfi secara umum adalah:
مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ
Siapa yang hafal 10 ayat pertama surat al-Kahfi, maka ia akan terlindung dari fitnah Dajjal (Shahih Muslim kitab shalat al-musafirin bab fadlli surat al-Kahfi no. 1919).
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ كَانَ رَجُلٌ يَقْرَأُ سُورَةَ الْكَهْفِ وَإِلَى جَانِبِهِ حِصَانٌ مَرْبُوطٌ بِشَطَنَيْنِ فَتَغَشَّتْهُ سَحَابَةٌ فَجَعَلَتْ تَدْنُو وَتَدْنُو وَجَعَلَ فَرَسُهُ يَنْفِرُ فَلَمَّا أَصْبَحَ أَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ تِلْكَ السَّكِينَةُ تَنَزَّلَتْ بِالْقُرْآنِ
Dari al-Bara ibn ‘Azib, ia berkata: Ada seorang shahabat membaca surat al-Kahfi. Di dekatnya ada seekor kuda yang diikat dengan dua tali panjang. Lalu turun awan yang tebal. Awan itu terus mendekat dan mendekat, sehingga kuda itu pun lari. Keesokan harinya ia datang menemui Nabi saw dan menceritakannya. Nabi saw bersabda: “Itu adalah sakinah (arti asal: ketenteraman) yang turun karena bacaan al-Qur`an.” (Shahih al-Bukhari kitab fadla`il al-Qur`an bab fadlli surat al-Kahfi no. 5011)
Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, lelaki yang dimaksud oleh al-Bara` itu kemungkinan besar adalah Usaid ibn Hudlair yang haditsnya dituliskan oleh Imam al-Bukhari pada kitab yang sama bab nuzulis-sakinah wal-mala`ikah ‘inda qira`atil-Qur`an no. 5018, atau mungkin shahabat Tsabit ibn Qais. Kesimpulan ini didasarkan pada data bahwa hanya dua shahabat itu yang mengalami kejadian seperti yang diceritakan al-Bara`. Hanya, baik Usaid atau Tsabit, keduanya disebutkan membaca surat al-Baqarah. Menurut al-Hafizh, bisa jadi yang dibaca oleh kedua shahabat itu surat al-Baqarah dan al-Kahfi. Atau mungkin juga ini terjadi di dua waktu yang berbeda. Yang jelas, baik riwayat surat al-Kahfi atau al-Baqarah, kedua-duanya shahih. Disebutkan dalam berbagai riwayatnya bahwa Usaid membacanya ketika shalat malam. Kuda itu bergerak tiada henti, sampai terlepas dan kabur, disebabkan melihat malaikat di balik awan. Itupun sesudah keesokan harinya Nabi saw menjelaskan kepada Usaid, Tsabit dan diketahui al-Bara`. Sampai Nabi saw sabdakan, jika terus dibaca sampai shubuh pasti malaikat yang turun itu akan terlihat oleh manusia. Sehingga para ulama menyimpulkan bahwa sakinah itu wujudnya bisa ketenteraman dalam hati, bisa juga berupa awan yang menaungi dan turun ke bumi sehingga melahirkan suasana yang sejuk, bahkan bisa juga disertai malaikat. Untuk konteks awan dan malaikat ini tidak semua shahabat, bahkan Nabi saw sekalipun, yang mengalaminya. Jadi hanya dalam waktu-waktu tertentu yang dikehendaki Allah swt. Hanya yang jelas ini menunjukkan fadlilah surat al-Kahfi dan al-Baqarah ketika dibaca dalam shalat malam, malam apapun itu.
Sementara itu yang menjelaskan fadlilah membaca surat al-Kahfi secara khusus pada malam/hari Jum’at adalah:
مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنْ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ
Siapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, Allah akan meneranginya dengan cahaya di antara dua Jum’at tersebut.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam at-Talkhishul-Habir kitab al-jumu’ah menyebutkan bahwa hadits ini jadi dalil dari dianjurkannya membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at. Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Hakim dari Abu Sa’id secara marfu’ (bersumber langsung) dari Nabi saw. Sementara riwayat ad-Darami dan Sa’id ibn Manshur mauquf dari Abu Sa’id, bukan sabda Nabi saw langsung. Imam an-Nasa`i menyatakan bahwa yang paling shahih adalah yang mauquf dari Abu Sa’id al-Khudri bukan dari Nabi saw langsung. Terdapat syahid (riwayat lain yang menguatkan) dari Ibn ‘Umar yang terdapat dalam Tafsir Ibn Marduwaih. Data yang diuraikan oleh al-Hafizh Ibn Hajar ini diuraikan juga oleh al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya ketika menafsirkan surat al-Kahfi.
Tidak adanya penilaian dla’if dari Ibn Hajar menunjukkan bahwa beliau tidak mendla’ifkan hadits ini. Terlebih jelas beliau menulis di bagian awalnya bahwa hadits ini adalah dalil dari dianjurkannya membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at.
Setelah ditelusuri, diketahui bahwa Imam al-Baihaqi meriwayatkan hadits di atas dalam as-Sunanul-Kubra kitab al-jumu’ah bab ma yu`maru bihi fi lailatil-jumu’ah wa yaumiha no. 5996; Imam al-Hakim meriwayatkannya dalam al-Mustadrak kitab at-tafsir bab tafsir surat al-Kahfi no. 3392; dan Imam ad-Darami meriwayatkannya dalam kitab Sunannya kitab fadla`ilul-Qur`an bab fi fadlli surat al-Kahfi no. 3450.
Syaikh al-Albani dalam Irwa`ul-Ghalil no. 626 menilai hadits ini shahih. Meski rawi Nu’aim yang menerima dari Husyaim dinilai dzu manakir; terkadang meriwayatkan yang munkar, tetapi ia tidak sendiri. Ada rawi-rawi lain yang meriwayatkan hadits yang sama dari Husyaim, yaitu Yazid ibn Makhlad dan Sa’id ibn Manshur. Di samping itu, rawi Husyaimnya itu sendiri juga memiliki mutabi’ (rawi yang menguatkan) yaitu Sufyan at-Tsauri dan Syu’bah yang sama-sama meriwayatkan dari Abu Husyaim. Penilaian dzu manakir untuk Nu’aim itu sendiri berbeda jauh dengan munkar. Penilian dzu manakir masih di wilayah ketelitian (dlabth) rawi yang kurang, bukan aspek kredibilitas (‘adalah), sehingga masih bisa selamat dengan adanya syawahid dan mutabi’at.
Syaikh al-Albani menjelaskan lebih lanjut, seandainya hadits di atas jatuhnya pada status mauquf, tetap tidak masalah, sebab pernyataan shahabat (riwayat mauquf) selama shahih, bisa dijadikan rujukan. Terlebih masalah ini pasti bukan ijtihad shahabat. Tidak mungkin shahabat mengatakan hadits ini jika tidak bersumber dari Nabi saw. Meski demikian, Syaikh al-Albani sendiri lebih berat pada penilaian marfu’ dari Nabi saw,berdasarkan sanad al-Baihaqi dan al-Hakim yang kemudian dinilainya “shahih berdasarkan standar keshahihan Imam Muslim” dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi.
Dalam penelusuran penulis sendiri memang tiga Imam hadits yang meriwayatkan hadits Abu Sa’id al-Khudri di atas dalam sanadnya tidak mulus shahih 100%. Ada beberapa kekurangan pada rawinya, tetapi saling menguatkan sehingga statusnya jadi shahih. Dalam sanad ad-Darami misalnya, yang dikritik adalah rawi Abun-Nu’man yang meriwayatkan dari Husyaim, dimana ia divonis sebagai rawi yang rusak ingatannya di masa akhir hidupnya (ikhtilath). Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn al-Fadl as-Sadusi Abun-Nu’man. Akan tetapi perlu diketahui, rawi ini adalah rawi Shahih al-Bukhari. Riwayatnya dikutip oleh Imam al-Bukhari karena beliau menerima hadits darinya pada tahun 113 H. Sementara itu Abun-Nu’man mengalami ikhtilath sesudah tahun 122 H (Muqaddimah Fathul-Bari). Terkait riwayat Abun-Nu’man tentang al-Kahfi di atas itu sendiri tidak ada data yang memastikan bahwa ia meriwayatkan hadits tersebut sesudah ikhtilath. Persetujuan para ulama hadits akan keshahihan riwayat ini—semisal ad-Darami, al-Baihaqi, al-Hakim, Ibn Katsir, adz-Dzahabi, Ibn Hajar—lebih tepat untuk dijadikan pegangan daripada menilai dla’if padahal data dla’ifnya tidak ada. Terlebih sebagaimana dikemukakan di atas, nyatanya Abun-Nu’man tidak sendiri meriwayatkan dari Husyaim, ada rawi lain yang menguatkannya (mutabi’). Seandainya keukeuh mau dinilai dla’if, kadar dla’if rawi Shahih al-Bukhari itu tidak parah. Jika ada rawi lain yang menguatkannya pasti jadi saling menguatkan dan menjadi shahih.
Sementara itu dalam sanad al-Baihaqi dan al-Hakim terdapat rawi Nu’aim ibn Hammad yang menerima dari Husyaim sebagaimana halnya Abun-Nu’man. Ia dikritik karena cukup sering keliru dalam meriwayatkan hadits (yukhthi`u). Akan tetapi sebagaimana halnya Abun-Nu’man, Nu’aim ibn Hammad ini adalah rawi Shahih al-Bukhari juga. Imam Muslim juga merujuknya dalam muqaddimah Shahih Muslimnya. Artinya kedua Imam besar hadits tersebut mempercayai beberapa riwayatnya yang tidak keliru untuk dikategorikan hadits shahih. Ibn Hajar sendiri menilainya shaduq (jujur). Para ulama lainnya semisal Imam Ahmad dan al-‘Ijli dengan tegas menilainya tsiqah (Muqaddimah Fathul-Bari). Dalam konteks riwayatnya akan hadits al-Kahfi di atas juga tidak ada data yang memastikan bahwa riwayatnya tersebut ada kekeliruan. Dengan fakta bahwa ia adalah rawi Shahih al-Bukhari dan Muslim, di samping juga ada mutabi’ (rawi lain) yang menguatkannya, jelas saja status riwayatnya shahih.
Jadi ringkasnya hadits Abu Sa’id di atas yang khusus menyebut fadlilah membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, bisa diamalkan. Baik itu pada malam harinya, pagi, siang, atau sore hari Jum’atnya. Baik itu dibaca dalam shalat atau di luar shalat. Tentunya jangan kemudian amal membaca al-Qur`an hanya terfokus pada surat al-Kahfi saja. Sebab banyak dalil lain yang menjelaskan fadlilah surat-surat lainnya dan bahkan semua surat al-Qur`an secara keseluruhannya.
One thought on “Meraih Fadlilah Surat al-Kahfi”
Comments are closed.