Hukum Bom Bunuh Diri

Menjelang Ramadlan 1439 H ini umat Islam Indonesia dikejutkan dengan aksi bom bunuh diri di beberapa gereja di Surabaya dan di beberapa tempat di Sidoarjo. Menurut ajaran Islam apakah bom bunuh diri seperti itu dibenarkan dan termasuk jihad? 08191019xxxx
Perlu dibedakan terlebih dahulu “bunuh diri” sebagai intihar (bunuh diri konyol) dan mughammarah bin-nafs (mengorbankan diri). “Bunuh diri konyol” adalah bunuh diri karena tidak menerima taqdir Allah swt dan tidak ada kaitannya dengan melawan musuh Allah swt, sementara “mengorbankan diri” diniatkan meraih keridlaan Allah swt dan dalam rangka melawan musuh Allah swt. Bunuh diri konyol (intihar) sudah jelas haramnya, sementara aksi mengorbankan diri hukumnya tergantung model dan cara yang dilakukannya.
Shahabat Anas ibn an-Nadlr adalah di antara shahabat Rasul saw yang mughammarah bin-nafs pada perang Uhud, dimana ia menerjang langsung ke tengah-tengah pasukan musuh, sampai ketika ia wafat ditemukan 80 lebih luka sayatan dan tusukan. Sampai-sampai jenazahnya tidak dikenali kecuali oleh adiknya dari giginya. Dalam kaitan ini, Allah swt menurunkan ayat: “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Maka di antara mereka ada yang gugur, dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak mengubah (janjinya)” (QS. al-Ahzab [33] : 23. Rujuk Tafsir Ibn Katsir).
Pada perang penaklukan Konstantinopel ada seorang pasukan yang berani langsung menerjang ke tengah-tengah pasukan musuh dan gugur. Beberapa pasukan muslim mengomentarinya sebagai bunuh diri dan melanggar firman Allah swt: “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. al-Baqarah [2] : 195). Maka shahabat Abu Ayyub membantahnya. Maksud kebinasaan dalam ayat al-Baqarah itu adalah meninggalkan jihad. Sementara yang dilakukan oleh tabi’in tersebut itu justru jihad dan mengorbankan diri sehingga menjadi syahid (Tafsir Ibn Katsir).
Akan tetapi memang pengorbanan diri itu menjadi sah dan dikategorikan syahid jika dilakukan dalam peperangan yang sah, legal, dan dibenarkan syari’at. Peperangan yang dimaksud adalah peperangan melawan orang-orang kafir yang sah untuk diperangi. Sementara jika dilakukan bukan dalam peperangan, dan yang jadi sasarannya otomatis orang kafir yang tidak sah untuk diperangi, apalagi juga termasuk orang Islam yang jadi korbannya, maka ini termasuk pengorbanan diri yang konyol dan hukumnya haram.
Al-Qur`an sudah mengingatkan bahwa orang kafir yang sepakat untuk hidup bersama dengan damai (kafir mu’ahad) tidak boleh diperangi (QS. at-Taubah [9] : 4). Sehingga Nabi saw pun mengingatkan:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
Siapa yang membunuh mu’ahad (orang kafir yang terikat perjanjian untuk hidup bersama secara damai), ia tidak akan mencium wangi surga. Padahal sungguh wanginya tercium dari jarak perjalanan 40 tahun (Shahih al-Bukhari kitab al-jizyah bab itsmi man qatala mu’ahadan bi ghairi jurmin no. 3166).
Apalagi jika itu ditujukan kepada sesama muslim, meski ia berstatus polisi atau tentara, sebab Allah swt sudah melarang siapa saja yang bersyahadat, shalat, dan zakat untuk diperlakukan sebagai orang kafir yang halal darahnya (QS. at-Taubah [9] : 5 dan 11). Nabi saw juga menegaskan: “Aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad rasul Allah, menegakkan shalat, dan mengeluarkan zakat. Jika mereka melakukannya, maka mereka telah melindungi darah dan harta mereka/tidak akan diperangi (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab fa in tabu wa aqamus-shalat no. 25).
Apalagi jika itu kemudian melibatkan anak kecil dan perempuan. Nabi saw tidak pernah mengizinkan kaum perempuan terjun ke medan perang dan membatasi jihad mereka pada haji semata (Shahih al-Bukhari bab jihadun-nisa` no. 2875). Nabi saw juga melarang mengorbankan anak-anak (Shahih Muslim kitab al-jihad was-siyar bab ta`miril-imam al-umara ‘alal-bu’uts no. 4619). Wal-‘Llahu a’lam.