Sahabat Nabi

Antara Hamzah dan ‘Abdullah ibn ‘Amr ra

Membicarakan shaum sunat tidak mungkin lepas dari hadits yang bersumber dari dua orang shahabat, yakni Hamzah ibn ‘Amr dan ‘Abdullah ibn ‘Amr M. Kepada ‘Abdullah ibn ‘Amr ra Nabi ﷺ hanya mengizinkan maksimal shaum Dawud, tetapi kepada Hamzah ibn ‘Amr ra Nabi ﷺ mengizinkannya shaum sampai setiap hari. Bagaimana para ulama menarik kesimpulan dari hadits yang berbeda kepada dua shahabat tersebut?

Hadits Hamzah ibn ‘Amr ra diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ حَمْزَةَ بْنَ عَمْرٍو الأَسْلَمِىَّ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى رَجُلٌ أَسْرُدُ الصَّوْمَ. أَفَأَصُومُ فِى السَّفَرِ قَالَ صُمْ إِنْ شِئْتَ وَأَفْطِرْ إِنْ شِئْتَ

Dari ‘Aisyah, bahwasanya Hamzah ibn ‘Amr al-Aslami bertanya kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, saya biasa shaum setiap hari. Apakah saya boleh shaum ketika safar?” Beliau menjawab: “Shaumlah jika mau. Bukalah jika mau.” (Shahih Muslim bab at-takhyir fis-shaum wal-fithr no. 2682; Shahih al-Bukhari bab as-shaum fis-safar wal-ifthar no. 1942-1943)

Dalam sanad lain dijelaskan:

عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَمْرٍو الأَسْلَمِىِّ  أَنَّهُ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَجِدُ بِى قُوَّةً عَلَى الصِّيَامِ فِى السَّفَرِ فَهَلْ عَلَىَّ جُنَاحٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ هِىَ رُخْصَةٌ مِنَ اللَّهِ فَمَنْ أَخَذَ بِهَا فَحَسَنٌ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَصُومَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ

Dari Hamzah ibn ‘Amr al-Aslami ra, ia bertanya: “Wahai Rasulullah, aku merasa kuat untuk shaum ketika safar. Apakah saya berdosa?” Rasulullah saw menjawab: “Itu adalah rukhshah dari Allah. Siapa yang mengambilnya maka baik. Siapa yang ingin shaum, maka tidak ada dosa baginya,” (Shahih Muslim bab at-takhyir fis-shaum wal-fithr no. 2683).

Dari hadits di atas diketahui bahwa shaum ketika safar hukumnya mubah. Perihal sabda Nabi saw: “Tidak baik shaum ketika safar,” itu ternyata ditujukan kepada seorang shahabat yang pingsan karena tetap shaum ketika safar meski ia sudah tidak kuat (Shahih Muslim bab jawazis-shaum wal-fithr fi syahri Ramadlan lil-musafir no. 2668). Demikian halnya sabda Nabi saw kepada yang shaum ketika safar: “Mereka itulah pelaku maksiat, mereka itulah pelaku maksiat,” ini ditujukan kepada orang-orang yang memaksakan diri shaum ketika Fathu Makkah, padahal kondisi fisik mereka sudah sangat payah akibat menempuh perjalanan yang sangat jauh (Shahih Muslim bab jawazis-shaum wal-fithr fi syahri Ramadlan lil-musafir no. 2666).

Sementara itu jika ketika safar tidak merasa berat untuk shaum, maka shaum diperbolehkan. Dalil lainnya yang dituliskan Imam Muslim dalam bab yang sama adalah hadits Abud-Darda` ra yang menyebutkan bahwa ketika safar yang cuacanya sedang sangat panas para shahabat tidak ada yang shaum selain Nabi saw dan ‘Abdullah ibn Rawahah ra (Shahih Muslim at-takhyir fis-shaum wal-fithr no. 2686-2687). Sementara itu Imam al-Bukhari menuliskan hadits Ibn Abi Aufa ra yang menyebutkan jelas Nabi saw shaum ketika safar dan meminta air untuk berbuka ketika tiba waktu maghrib (Shahih al-Bukhari bab as-shaum fis-safar wal-ifthar no. 1941).

Perihal pernyataan Hamzah ibn ‘Amr ra di atas “saya shaum setiap hari” dan Nabi saw tidak memberikan bantahan, Imam an-Nawawi menjelaskan:

وَفِيهِ دَلَالَة لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيّ وَمُوَافِقِيهِ أَنَّ صَوْم الدَّهْر وَسَرْدَهُ غَيْرُ مَكْرُوهٍ لِمَنْ لَا يَخَاف مِنْهُ ضَرَرًا، وَلَا يُفَوِّتُ بِهِ حَقًّا بِشَرْطِ فِطْر يَوْمَيْ الْعِيدَيْنِ وَالتَّشْرِيق؛ لِأَنَّهُ أَخْبَرَ بِسَرْدِهِ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ بَلْ أَقَرَّهُ عَلَيْهِ وَأَذِنَ لَهُ فِيهِ فِي السَّفَر فَفِي الْحَضَر أَوْلَى

Ini jadi dalil bagi madzhab Syafi’i dan yang sependapat bahwasanya shaum sepanjang tahun dan (atau) merutinkannya setiap hari tidak makruh bagi yang tidak dikhawatirkan akan madlarat dan tidak menelantarkan hak. Syaratnya tentu berbuka pada dua hari raya dan tasyriq. Karena shahabat ini memberitahukan bahwa ia biasa shaum setiap hari tetapi Nabi saw tidak mengingkari, bahkan membenarkannya dan mengizinkannya shaum ketika safar. Maka ketika tidak safar lebih utama lagi. (Syarah an-Nawawi bab at-takhyir fis-shaum wal-fithr).

Al-Hafizh Ibn Hajar sendiri menyatakan yang paling tepat bahwa hadits di atas sebatas dalil boleh shaum setiap hari—dan itu juga diamalkan Nabi saw—tetapi tidak sampai sepanjang tahun, sebab Nabi saw juga ada bukanya pada beberapa hari dari setiap bulannya.

وَتُعُقِّبَ بِأَنَّ سُؤَالَ حَمْزَةَ إِنَّمَا كَانَ عَنِ الصَّوْمِ فِي السَّفَرِ لَا عَنْ صَوْمِ الدَّهْرِ وَلَا يَلْزَمُ مِنْ سَرْدِ الصِّيَامِ صَوْمُ الدَّهْرِ فَقَدْ قَالَ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَسْرُدُ الصَّوْمَ فَيُقَالُ لَا يُفْطِرُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَمِنَ الْمَعْلُومِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمْ يَكُنْ يَصُومُ الدَّهْرَ فَلَا يَلْزَمُ مِنْ ذِكْرِ السَّرْدِ صِيَامُ الدَّهْرِ

Dan dibantah (pernyataan Imam an-Nawawi bahwa hadits di atas jadi dalil bolehnya shaum sepanjang tahun) dengan fakta bahwa pertanyaan Hamzah di atas itu sebatas tentang shaum ketika safar, bukan tentang shaum sepanjang tahun. Tidak otomatis orang yang shaum setiap hari pasti shaum sepanjang tahun. Sungguh Usamah ibn Zaid menyatakan bahwa Nabi saw shaum setiap hari sampai dikatakan tidak kunjung berbuka, diriwayatkan Ahmad. Akan tetapi sudah dimaklum bahwasanya Nabi saw tidak shaum sampai sepanjang tahun. Maka tidak otomatis orang yang shaum setiap hari pasti shaum sepanjang tahun (Fathul-Bari haqqul-ahli fis-shaum).

Perihal shaum setiap hari Nabi saw dijelaskan ‘Aisyah ra sebagai berikut:

كَانَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ صَامَ قَدْ صَامَ. وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ قَدْ أَفْطَرَ قَدْ أَفْطَرَ – قَالَتْ – وَمَا رَأَيْتُهُ صَامَ شَهْرًا كَامِلاً مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ رَمَضَانَ.

Beliau itu suka shaum, sehingga kami berkata: “Sungguh beliau shaum lagi, shaum lagi.” Tapi beliau juga ada bukanya (tidak shaum), sampai kami berkata: “Sungguh beliau tidak shaum lagi, tidak shaum lagi.” Aku tidak pernah melihatnya shaum satu bulan penuh sejak beliau datang ke Madinah kecuali pada bulan Ramadlan. (Shahih Muslim bab shiyamin-Nabi saw fi ghairi Ramadlan no. 2775).

Meski demikian, al-Hafizh Ibn Hajar memilih ijtihad yang sama dengan jumhur ulama sebagaimana dinyatakan Imam an-Nawawi bahwa shaum sepanjang tahun juga diperbolehkan asalkan tidak mengabaikan hak wajib atau sunat.

وَذَهَبَ آخَرُونَ إِلَى اِسْتِحْبَاب صِيَام الدَّهْر لِمَنْ قَوِيَ عَلَيْهِ وَلَمْ يُفَوِّتْ فِيهِ حَقًّا، وَإِلَى ذَلِكَ ذَهَبَ الْجُمْهُورُ، قَالَ السُّبْكِيُّ: أَطْلَقَ أَصْحَابُنَا كَرَاهَةَ صَوْمِ الدَّهْرِ لِمَنْ فَوَّتَ حَقًّا، وَلَمْ يُوَضِّحُوا هَلْ الْمُرَادُ الْحَقُّ الْوَاجِبُ أَوْ الْمَنْدُوب، وَيَتَّجِهُ أَنْ يُقَالَ إِنْ عَلِمَ أَنَّهُ يُفَوِّتُ حَقًّا وَاجِبًا حَرُمَ، وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهُ يُفَوِّتُ حَقًّا مَنْدُوبًا أَوْلَى مِنْ الصِّيَامِ كُرِهَ، وَإِنْ كَانَ يَقُوم مَقَامَهُ فَلَا

Ulama lainnya berpendapat bahwa shaum sepanjang masa itu dianjurkan bagi yang mampu dan tidak akan mengabaikan hak. Pendapat ini dipegang oleh jumhur. As-Subki menjelaskan: Ulama madzhab kami (Syafi’i) memberlakukan makruh shaum sepanjang masa bagi yang mengabaikan hak. Tetapi mereka tidak menjelaskan apakah yang dimaksud itu hak yang wajib atau sunat. Tetapi bisa diarahkan bahwa jika ia tahu akan mengabaikan hak yang wajib, maka haram. Jika ia tahu bahwa ia akan mengabaikan hak yang sunat yang lebih utama daripada shaum, maka jadi makruh. Jika ia mampu menempatkannya pada tempatnya, maka tidak haram/makruh (Fathul-Bari bab haqqul-ahli fis-shaum).

Perihal larangan Nabi saw kepada ‘Abdullah ibn ‘Amr ra untuk shaum lebih dari shaum Dawud, Imam an-Nawawi menjelaskan:

وَأَمَّا إِنْكَاره ﷺ عَلَى اِبْن عَمْرو بْن الْعَاصِ صَوْم الدَّهْر فَلِأَنَّهُ عَلِمَ ﷺ أَنَّهُ سَيَضْعُفُ عَنْهُ وَهَكَذَا جَرَى، فَإِنَّهُ ضَعُفَ فِي آخِر عُمُرِهِ وَكَانَ يَقُول: يَا لَيْتَنِي قَبِلْت رُخْصَةَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ

Adapun penolakan Nabi saw kepada Ibn ‘Amr ibn al-‘Ash untuk shaum sepanjang tahun karena beliau saw tahu bahwa ia akan tidak kuat dan demikianlah adanya, Ibn ‘Amr lemah di akhir umurnya sampai ia berkata: “Andaikan saja dahulu aku menerima rukhshah Rasulullah saw (untuk shaum minimal 3 hari setiap bulan) (Syarah an-Nawawi bab at-takhyir fis-shaum wal-fithr).

Buktinya Nabi saw mengizinkan kepada Hamzah ibn ‘Amr ra untuk shaum setiap hari:

فَأَقَرَّهُ ﷺ عَلَى سَرْد الصِّيَام، وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَمْ يُقِرَّهُ لَا سِيَّمَا فِي السَّفَر وَقَدْ ثَبَتَ عَنْ اِبْن عُمَر اِبْن الْخَطَّاب أَنَّهُ كَانَ يَسْرُد الصِّيَام وَكَذَلِكَ أَبُو طَلْحَة وَعَائِشَة وَخَلَائِق مِنْ السَّلَف

Maka Nabi saw membenarkannya shaum setiap hari. Seandainya makruh, Nabi saw tidak akan membenarkannya, apalagi ketika safar. Sugguh telah kuat riwayat dari Ibn ‘Umar ibn al-Khaththab bahwa ia shaum setiap hari, demikian juga Abu Thalhah, ‘Aisyah, dan beberapa orang dari generasi salaf (Syarah an-Nawawi bab an-nahy ‘an shaumid-dahr).

Dengan demikian pengamalan shaum sunat yang paling utama itu tergantung kepada kemampuan orangnya. Sebagaimana disimpulkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar:

وَعَلَى هَذَا فَيَخْتَلِف ذَلِكَ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاص وَالْأَحْوَال: فَمَنْ يَقْتَضِي حَاله الْإِكْثَار مِنْ الصَّوْم أَكْثَرَ مِنْهُ، وَمَنْ يَقْتَضِي حَاله الْإِكْثَار مِنْ الْإِفْطَار أَكْثَرَ مِنْهُ، وَمَنْ يَقْتَضِي حَاله الْمَزْج فَعَلَهُ، حَتَّى إِنَّ الشَّخْص الْوَاحِد قَدْ تَخْتَلِف عَلَيْهِ الْأَحْوَال فِي ذَلِكَ ، وَإِلَى ذَلِكَ أَشَارَ الْغَزَالِيّ أَخِيرًا. وَاَللَّه أَعْلَم بِالصَّوَابِ

Berdasarkan hal ini, kedudukannya berbeda-beda tergantung orangnya. Siapa yang keadaannya memungkinkannya memperbanyak shaum, maka silahkan ia memperbanyak shaum. Siapa yang keadaannya memungkinkannya memperbanyak buka, maka ia perbanyak buka. Dan siapa yang keadaannya memungkinkannya menyeimbangkannya, silahkan ia kerjakan. Jadi setiap orang sangat tergantung pada situasi dan kondisi dirinya. Untuk hal ini Imam al-Ghazali pun mengisyaratkannya dalam akhir pembahasannya. Wal-‘Llahu a’lam bis shawab (Fathul-Bari bab haqqul-ahli fis-shaum).

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button