Pendidikan

Bahaya Nyata Sekularisasi Ilmu

Bahayanya sungguh nyata, tetapi banyak umat Islam yang susah sadar akan bahayanya. Sekularisasi ilmu telah menjadikan ilmu-ilmu syari’ah yang semestinya memandu ilmu-ilmu non-syari’ah malah dipinggirkan atau tidak diajarkan sama sekali. Ilmu-ilmu syari’ah pun disekularisasi dengan metodologi keilmuan yang diadopsi dari Barat sehingga melahirkan kader-kader ulama cendekia yang sekuler meski bidang keilmuannya ilmu syari’ah.

Sekularisasi di dunia pendidikan Islam berlangsung sejak era kolonialisme Barat atas dunia Timur. Bermula dari orientalisme (kajian dunia Timur khususnya Islam yang dilakukan oleh Barat dan dalam perspektif Barat) dan terus berlanjut hingga era kemerdekaan dari kolonialisme. Meski secara pemerintahan, negara-negara berpenduduk mayoritas Islam sudah bebas dari cengkeraman penjajah Barat, tetapi secara pendidikan tetap saja berkiblat ke Barat.

Sekularisme berasal dari bahasa Inggris secular. Asal kata secular itu sendiri dari bahasa latin saeculum yang berarti ruang dan waktu. Secular dalam pengertian ruang bermakna ‘dunia’ atau ‘duniawi’, sedang secular dalam pengertian waktu bermakna ‘sekarang’ atau ‘kini’. Jadi secular/saeculum bermakna ‘zaman kini’ atau ‘masa kini’, dan itu merujuk pada ‘peristiwa di dunia ini’, sehingga makna lengkapnya ‘peristiwa-peristiwa masa kini’ (Syed M. Naquib Al-Attas, Islam and Secularism).

Dalam ideologi sekularisme yang diakui sebagai kebenaran adalah yang nyata pada saat “kini” (waktu) dan “di sini” (ruang). Patokannya adalah kesepakatan manusia bahwa sesuatu itu nyata secara “kekinian” dan “kedisinian”. Sesuatu tersebut bisa diulang-ulang kenyataannya kapan pun dan di mana pun. Air itu mengalir dari atas ke bawah, matahari terbit dari timur ke barat, satu tambah satu pasti dua, gula rasanya manis sementara garam asin, adalah di antara sederet contoh nyata kebenaran yang terbukti nyata pada saat “kini” dan “di sini”. Bisa dibuktikan secara berulang-ulang oleh seluruh manusia di mana pun dan kapan pun.

Konsekuensinya, sesuatu yang tidak nyata pada saat “kini” dan “di sini”, tidak dapat diakui sebagai sebuah fakta kebenaran. Maka dari itu ajaran-ajaran agama, termasuk ajaran wahyu, tidak bisa dikategorikan sebagai suatu kebenaran sebab bukan sesuatu yang disepakati kebenarannya ada pada saat “kini” dan “di sini”. Statusnya disamakan dengan sihir, klenik, perdukunan, dan mitos karena sama-sama tidak nyata dan tidak bisa diulang-ulang secara pasti keberadaannya di mana pun dan kapan pun.

Bisa dipastikan sekularisme masuk melalui jalur ilmu pengetahuan dan pendidikan karena ideloginya berkaitan dengan kebenaran yang diajarkan untuk umat manusia. Secara lebih kasar sekularisme mendudukkan dirinya sebagai sesuatu yang ilmiah, sementara lawan sekularisme tidak ilmiah. Kaum sekuler adalah mereka yang terdidik, sementara kaum anti-sekuler adalah kalangan yang tidak terdidik dan terbelakang. Kalangan ilmuwan yang sepenuhnya mengadopsi keilmuan Barat adalah ilmuwan terdidik dan tercerahkan, sementara para ulama yang sepenuhnya mengadopsi keilmuan berbasis wahyu adalah kaum yang tidak terdidik dan sangat terbelakang. Kerangka keilmuan berbasis wahyu atau ‘ulmud-din (ushul fiqh, ‘ulumul-Qur`an, ‘ulumul-hadits) dikategorikan sebagai dogma dan tidak ilmiah karena basisnya bukan kebenaran yang disepakati oleh seluruh manusia. Maka para ulama yang berkutat dalam keilmuan berbasis wahyu tersebut selalu didudukkan sebagai kalangan agamawan yang dogmatis dan terbelakang.

Maka dunia pendidikan hari ini tidak menempatkan ilmu-ilmu syari’ah (al-Qur`an, hadits, dan fiqih) pada tempat yang semestinya sebagai basis keilmuan dari seluruh keilmuan yang ada khususnya untuk ilmu-ilmu non-syari’ah. Mata pelajaran pendidikan agama Islam hanya diajarkan sebatas tataran etika dan adab dan hanya dua jam pelajaran dari 48 jam pelajaran dalam satu pekan. Untuk dunia pendidikan Madrasah sedikit lebih banyak sampai 10 jam dari 48 jam pelajaran dalam satu pekan. Tetapi itu pun meyoritasnya baru sebatas tuntunan adab dan etika, bukan sebagai basis keilmuan untuk mengislamisasi mata pelajaran non-syari’ah yang sudah rentan sekularisasi. Mayoritas lulusan Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah tetap saja bodoh dari ilmu-ilmu agama sehingga tidak cakap untuk membendung pengaruh sekularisasi ilmu dalam mata pelajaran non-syari’ah.

Mata pelajaran keilmuan non-syari’ah sudah barang tentu tidak mengenalkan sama sekali nilai-nilai wahyu sebagaimana selalu menjadi basis keilmuan di sepanjang sejarah pendidikan Islam. Harapan agar siswa atau mahasiswa memahami ilmu-ilmu sains, sosial, dan budaya dalam kerangka Islam hanya harapan kosong yang tidak mungkin menjadi kenyataan jika hanya mengandalkan dunia pendidikan formal semata.

Dunia keilmuan syari’ah sebagaimana tampak di dunia Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (UIN/IAIN/IAI/STAI dan semacamnya) juga tergerus arus sekularisasi ilmu. Kerangka keilmuan agama hanya didudukkan sebagai partner untuk metodologi kelimuan sains, sosial, dan budaya, sehingga dampaknya standar kebenaran menjadi tidak ada yang mutlak benar. Yang mutlak salah dan sesat menurut timbangan keilmuan agama seperti ideologi Ahmadiyah dan Syi’ah, jadi tidak dinilai salah dan sesat jika timbangannya sosiologi agama. Yang mutlak haram menurut timbangan keilmuan syari’ah seperti praktik-praktik bid’ah dan syirik, bisa jadi halal jika secara budaya benar dan tidak menyimpang. Yang jelas haram seperti riba, bisa dinyatakan sebuah realita kebenaran ketika faktanya hidup di tengah-tengah masyarakat muslim yang mereka dipaksa tidak bisa menghindarinya. Seharusnya metodologi keilmuan agama Islam menjadi dasar bagi metodologi keilmuan sains, sosial, dan budaya. Apa yang dianggap benar menurut sains, sosial, dan budaya harus dinilai benar juga oleh syari’ah. Jika syari’ah menilainya salah maka kesimpulan akhirnya harus salah, meski secara sains, sosial, dan budaya dianggap benar.

Sekularisasi ilmu sebagaimana diuraikan di atas sudah pasti bertentangan dengan tauhid la ilaha illal-‘Llah dan Muhammad Rasulullah. Allah swt sudah pasti benar. Apa yang diajarkan Nabi Muhammad saw melalui wahyu juga sudah pasti benar. Apa yang menurut Allah dan Rasul-Nya benar maka pasti benar. Apa yang menurut Allah dan Rasul-Nya salah maka pasti salah. Apa yang menurut Allah dan Rasul-Nya benar maka pasti sesuai dengan fithrah manusia yang condong pada kebenaran. Kalaupun akal manusia menilainya salah, maka sangat mungkin itu disebabkan akal yang belum mampu menjangkaunya. Apalagi jika yang menilai salah itu kehidupan sosial masyarakat dan budayanya. Maka yang salahnya berarti masyarakat dan budayanya, bukan Allah dan Rasul-Nya.

Ajaran kebenaran yang mutlak dari Allah banyak difirmankan dalam al-Qur`an:

ٱلۡحَقُّ مِن رَّبِّكَ فَلَا تَكُونَنَّ مِنَ ٱلۡمُمۡتَرِينَ 

Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu (QS. al-Baqarah [2] : 147. Ayat semakna terdapat juga dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 60 dan Yunus [10] : 94).

Nilai-nilai kebenaran ini tidak boleh hanya diukurkan pada kesepakatan manusia. Justru harusnya sebaliknya, kesepakatan manusia mengikuti ajaran kebenaran dari Allah dan Rasul-Nya. Jika kebenaran harus selalu diukurkan pada kesepakatan manusia, maka akan banyak kerusakan di dunia dan alam semesta.

وَلَوِ ٱتَّبَعَ ٱلۡحَقُّ أَهۡوَآءَهُمۡ لَفَسَدَتِ ٱلسَّمَٰوَٰتُ وَٱلۡأَرۡضُ وَمَن فِيهِنَّۚ بَلۡ أَتَيۡنَٰهُم بِذِكۡرِهِمۡ فَهُمۡ عَن ذِكۡرِهِم مُّعۡرِضُونَ 

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu (QS. al-Mu`minun [23] : 71).

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ 

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) (QS. al-An’am [6] : 116).

Menyamakan kebenaran wahyu dengan syair, karya sastra yang fiktif, sihir, perdukunan, dan gejala kejiwaan yang gila, hanya karena tidak disepakati oleh manusia hanya merupakan satu bentuk kebodohan nyata meski dibungkus dengan kemasan ilmiah.

…وَأَسَرُّواْ ٱلنَّجۡوَى ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ هَلۡ هَٰذَآ إِلَّا بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡۖ أَفَتَأۡتُونَ ٱلسِّحۡرَ وَأَنتُمۡ تُبۡصِرُونَ  ٣ قَالَ رَبِّي يَعۡلَمُ ٱلۡقَوۡلَ فِي ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ  ٤ بَلۡ قَالُوٓاْ أَضۡغَٰثُ أَحۡلَٰمِۢ بَلِ ٱفۡتَرَىٰهُ بَلۡ هُوَ شَاعِرٞ فَلۡيَأۡتِنَا بِآيَةٖ كَمَآ أُرۡسِلَ ٱلۡأَوَّلُونَ  ٥

Dan mereka yang zalim itu merahasiakan pembicaraan mereka: “Orang ini tidak lain hanyalah seorang manusia (jua) seperti kamu, maka apakah kamu menerima sihir itu, padahal kamu menyaksikannya?” Berkatalah Muhammad (kepada mereka): “Tuhanku mengetahui semua perkataan di langit dan di bumi dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Bahkan mereka berkata (pula): “(Al Quran itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan dia sendiri seorang penyair, maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mukjizat, sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu diutus” (QS. al-Anbiya` [21] : 3-5).

إِنَّهُۥ لَقَوۡلُ رَسُولٖ كَرِيمٖ  ٤٠ وَمَا هُوَ بِقَوۡلِ شَاعِرٖۚ قَلِيلٗا مَّا تُؤۡمِنُونَ  ٤١ وَلَا بِقَوۡلِ كَاهِنٖۚ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ  ٤٢ تَنزِيلٞ مِّن رَّبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  ٤٣

Sesungguhnya Al Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia, dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya. Dan bukan pula perkataan tukang tenung/dukun. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam (QS. al-Haqqah [69] : 40-43).

Kebodohan yang nyata karena benar-benar tidak bisa membedakan mana teks wahyu yang kandungannya mengandung kebenaran yang bernilai tinggi dan mana teks buatan manusia yang penuh dengan kepalsuan dan kebohongan.

Solusi dari sekularisasi ilmu adalah dengan memberikan keilmuan Islam yang cukup dan bersih dari sekularisasi kepada siswa, santri, mahasiswa, mahasantri, atau masyarakat secara umum. Dalam jenjang pendidikan formal adalah memprioritaskan lembaga-lembaga pendidikan yang bervisi islamisasi untuk anak-anak kita. Jika lembaga pendidikan formal yang sudah dimasuki tidak bisa diharapkan, maka harus dengan mendorong anak-anak kita aktif belajar Islam di lembaga-lembaga pendidikan non-formal dan informal yang memberikan pengajaran keilmuan Islam yang cukup.

Segenap pemangku kepentingan pendidikan formal dengan sendirinya juga harus melek dan sadar bahwa sekularisasi ilmu ini sebuah bahaya nyata yang tidak cukup disikapi dengan diam dan waspada. Melainkan harus ada aksi konkrit dengan mereview kurikulum yang diajarkan agar jangan lagi rentan dengan sekularisasi, melainkan harus mengarah pada islamisasi. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button