
Al-Qur`an mengabadikan kisah kolosal pembantaian Ashhabul-Ukhdud kepada kaum mu`minin dalam surat al-Buruj. Di balik pembantaian tersebut ada peran seorang anak muda (ghulam) yang seorang staf kerajaan tetapi memilih untuk tetap kritis kepada kerajaan, meski kemudian harus melepaskan statusnya sebagai staf kerajaan dan bahkan berakhir dengan kematian di tiang dengan tembakan panah dari Sang Raja.
Ada ragam penafsiran terkait siapa mereka Ashhabul-Ukhdud tersebut. Ashhabul-Ukhdud artinya para pembuat parit yang akan mereka gunakan untuk membakar orang-orang beriman. Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya menginventarisir beberapa pendapat mufassir yang menjelaskannya:
Pertama, ada yang menyebutkan bahwa mereka adalah penguasa Persia (sekarang Irak-Iran) yang hendak menghalalkan pernikahan haram lalu ditentang oleh para ulama mereka. Mereka yang menentang kemudian dibakar di parit-parit yang sudah dinyalakan kobaran api besar.
Kedua, pendapat lain menyebutkan bahwa mereka adalah kaum mu`minin Yaman yang berperang dengan kaum kafir lalu kalah. Jasad mereka kemudian dibakar oleh kaum kafir di ukhdud.
Ketiga, pendapat lain menyebutkan bahwa mereka adalah penduduk Habasyah yang dibakar hidup-hidup oleh penguasa zhalim mereka.
Keempat, pendapat yang menyebutkan bahwa mereka adalah kaum Bani Israil yang kejam yang dipimpin oleh Daniel. Mereka membakar siapa saja yang enggan mengikuti agama mereka.
Kelima, riwayat yang menyebutkan bahwa mereka adalah penganut agama Nabi ‘Isa as di bawah bimbingan ‘Abdullah ibnuts-Tsamir di wilayah Najran yang dibakar oleh penguasa zhalim mereka.
Keenam, riwayat dari Ibn Ishaq dalam kitab Sirahnya yang menyebutkan bahwa Raja yang memerintahkan hukuman bakar itu Dzu Nuwas, seorang Raja Yahudi yang memaksa penduduk di Najran untuk memeluk Yahudi. Ada seorang yang berhasil lolos bernama Daus, melarikan diri dengan berkuda ke Syam. Kaisar di Syam kemudian meminta Najasyi Habasyah mengirimkan tentara ke Najran. Lalu dikirimlah tentara yang dipimpin oleh Abrahah dan kemudian berhasil menumpas Ashhabul-Ukhdud. Raja Dzu Nuwas melarikan diri ke laut dan mati tenggelam di laut.
Ketujuh, penjelasan dari Muqatil, mufassir salaf, bahwa pembakaran manusia di parit-parit itu terjadi di Syam, Irak, dan Yaman. Raja di Syam yang memerintahkan hukuman bakar adalah Raja Romawi, Antonanus. Raja di Irak adalah Bakhtanshir. Sementara raja di Yaman adalah Yusuf Dzu Nuwas.
Al-Hafizh Ibn Katsir tidak memastikan mana yang lebih tepat karena al-Qur`an dan Nabi saw sendiri tidak mengkonfirmasi dengan jelas siapa mereka Ashhabul-Ukhdud tersebut. Yang jelas mereka adalah para pelaku pembakaran kepada kaum mu`minin di wilayah kekuasaan mereka. Nabi saw sendiri menjelaskan dalam hadits tanpa menyebutkan nama Rajanya, nama kaum yang dibakarnya, dan tempat pembakaran itu di mana. Imam Muslim dalam kitab Shahihnya meriwayatkan dari Shuhaib ra sebagai berikut:
عَنْ صُهَيْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: كَانَ مَلِكٌ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ فَلَمَّا كَبِرَ قَالَ لِلْمَلِكِ إِنِّى قَدْ كَبِرْتُ فَابْعَثْ إِلَىَّ غُلاَمًا أُعَلِّمْهُ السِّحْرَ. فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلاَمًا يُعَلِّمُهُ فَكَانَ فِى طَرِيقِهِ إِذَا سَلَكَ رَاهِبٌ فَقَعَدَ إِلَيْهِ وَسَمِعَ كَلاَمَهُ فَأَعْجَبَهُ فَكَانَ إِذَا أَتَى السَّاحِرَ مَرَّ بِالرَّاهِبِ وَقَعَدَ إِلَيْهِ فَإِذَا أَتَى السَّاحِرَ ضَرَبَهُ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى الرَّاهِبِ فَقَالَ إِذَا خَشِيتَ السَّاحِرَ فَقُلْ حَبَسَنِى أَهْلِى. وَإِذَا خَشِيتَ أَهْلَكَ فَقُلْ حَبَسَنِى السَّاحِرُ…
Dari Shuhaib ra, sungguh Rasulullah saw bersabda: Ada seorang raja pada zaman dahulu yang memiliki ahli sihir. Ketika sudah tua ia meminta kepada raja: “Saya sudah tua, kirimkanlah kepadaku seorang anak muda terbaik untuk aku ajari sihir.” Raja kemudian mengirim seorang anak muda untuk diajari sihir. Di perjalanan setiap kali hendak belajar ia bertemu seorang rahib (ahli agama Nashrani), ia kemudian duduk, menyimak ajarannya dan tertarik. Setiap kali datang ke ahli sihir ia singgah dahulu di rahib untuk belajar. Tetapi ketika datang ke ahli sihir ia dihukum dera. Anak muda itu mengadu ke rahib. Rahib menyarankan: “Jika kamu takut ahli sihir, katakan saja ada keperluan keluarga dahulu. Jika kamu takut oleh keluarga katakan saja ada keperluan dengan ahli sihir dahulu…
Tampak jelas bahwa meskipun anak muda (ghulam) tersebut sudah terseleksi Istana untuk menjadi kader penyihir Istana, tetapi kemudian ia tidak menutup diri dengan dunia luar. Ketika mendengar ajaran lain dari rahib yang mengharamkan sihir ia menyimaknya dan ternyata tertarik. Tetapi pada tahap awal ia masih galau antara melawan Istana ataukah tetap menjadi pemuda Istana. Sampai kemudian ketika di satu perjalanan ia menemukan seekor unta yang mengganggu masyarakat, ia tidak menggunakan sihirnya, melainkan mengambil batu dan melemparkannya ke unta yang sedang mengganggu itu hingga mati. Ia berkata dalam dirinya bahwa sekarang ia bertambah yakin bahwa ajaran rahib yang benar. Rahib mengajarkan agar mengatasi segala sesuatu dengan cara-cara alamiah, bukan dengan sihir. Anak muda itu pun meninggalkan Istana Raja dan memilih menjadi rakyat biasa mempelajari cara-cara alamiah untuk mengatasi setiap persoalan keamsyarakatan.
وَكَانَ الْغُلاَمُ يُبْرِئُ الأَكْمَهَ وَالأَبْرَصَ وَيُدَاوِى النَّاسَ مِنْ سَائِرِ الأَدْوَاءِ فَسَمِعَ جَلِيسٌ لِلْمَلِكِ كَانَ قَدْ عَمِىَ فَأَتَاهُ بِهَدَايَا كَثِيرَةٍ فَقَالَ مَا هَا هُنَا لَكَ أَجْمَعُ إِنْ أَنْتَ شَفَيْتَنِى فَقَالَ إِنِّى لاَ أَشْفِى أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِى اللَّهُ فَإِنْ أَنْتَ آمَنْتَ بِاللَّهِ دَعَوْتُ اللَّهَ فَشَفَاكَ. فَآمَنَ بِاللَّهِ فَشَفَاهُ اللَّهُ فَأَتَى الْمَلِكَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ كَمَا كَانَ يَجْلِسُ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَنْ رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ قَالَ رَبِّى. قَالَ وَلَكَ رَبٌّ غَيْرِى قَالَ رَبِّى وَرَبُّكَ اللَّهُ…
Anak muda itu kemudian ahli mengobati orang buta sejak lahir dan yang berpenyakit sopak, juga penyakit-penyakit lainnya. Salah seorang staf raja ada yang mendengar hal itu dan ia buta, ia lalu memberinya banyak hadiah, lalu berkata: “Semua ini aku kumpulkan untukmu jika kamu bisa menyembuhkanku.” Anak muda itu menjawab: “Aku tidak bisa menyembuhkan siapapun, yang bisa menyembuhkan hanya Allah. Jika anda beriman kepada Allah, aku akan berdo’a kepada Allah dan Dia akan menyembuhkan anda.” Ia pun beriman kepada Allah dan Allah menyembuhkannya. Ia lalu datang dan bermajelis dengan raja sebagaimana biasanya. Raja pun bertanya kepadanya: “Siapa yang mengembalikan penglihatanmu?” Ia menjawab: “Rabbku.” Raja protes: “Kamu punya Rabb selain aku!?” Ia menjawab: “Rabbku dan Rabbmu Allah.”…
Raja kemudian menginterogasi stafnya dari mana ia mendapatkan ajaran tersebut. Kemudian mengarahlah kepada anak muda dan rahib. Raja kemudian memutuskan agar mereka semua dihukum mati. Rahib dan staf Raja berhasil dihukum mati dengan cara digergaji. Tetapi setiap kali tiba giliran eksekusi untuk anak muda itu selalu gagal; baik itu dijatuhkan ke jurang atau ditenggelamkan ke lautan. Anak muda itu pun kemudian berkata kepada Raja:
إِنَّكَ لَسْتَ بِقَاتِلِي حَتَّى تَفْعَلَ مَا آمُرُكَ بِهِ، فَإِنْ أَنْتَ فَعَلْتَ مَا آمُرُكَ بِهِ قَتَلْتَنِي، وَإِلَّا فَإِنَّكَ لَا تَسْتَطِيعُ قَتْلِي. قَالَ: وَمَا هُوَ؟ قَالَ: تَجْمَعُ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ ثُمَّ تَصْلُبُنِي عَلَى جِذْعٍ، وتأخذ سهمًا من كنانتي ثم قل: “بسم اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ”، فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ قَتَلْتَنِي
“Kamu tidak akan bisa membunuhku hingga melakukan apa yang aku perintahkan kepadamu. Jika kamu melakukannya kamu bisa membunuhku, tetapi jika tidak kamu tidak akan pernah bisa membunuhku.” Raja bertanya: “Apa itu?” Anak muda itu menjawab: “Kamu kumpulkan masyarakat di satu lapangan, kemudian kamu ikat aku di batang pohon, lalu ambil anak panah dari kantungku dan ucapkanlah: ‘Bismil-‘Llah Rabb anak muda ini’. Jika kamu melakukan itu kamu pasti bisa membunuhku.”
فَجَمَعَ النَّاسَ فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَصَلَبَهُ عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ أَخَذَ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِهِ ثُمَّ وَضَعَ السَّهْمَ فِى كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلاَمِ. ثُمَّ رَمَاهُ فَوَقَعَ السَّهْمُ فِى صُدْغِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ فِى صُدْغِهِ فِى مَوْضِعِ السَّهْمِ فَمَاتَ فَقَالَ النَّاسُ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ
Raja kemudian mengumpulkan masyarakat di satu lapangan dan mengikat pemuda di satu batang pohon. Raja mengambil anak panah lalu meletakkannya di busur panah dan berkata: “Bismil-‘Llah Rabb pemuda itu.” Ia menembaknya hingga anak panah mengenai pelipisnya. Pemuda itu memegang anak panah itu lalu meninggal dunia. Orang-orang berkata: “Kami beriman kepada Rabb pemuda itu. Kami beriman kepada Rabb pemuda itu….
Setelah peristiwa itu, masyarakat melihat sendiri bahwa ajaran anak muda itu benar adanya. Mereka pun kemudian beriman semuanya kepada ajaran anak muda tersebut. Raja yang marah kemudian memerintahkan pasukannya untuk membakar mereka semua yang beriman dalam parit-parit.
فَأَمَرَ بِالأُخْدُودِ فِى أَفْوَاهِ السِّكَكِ فَخُدَّتْ وَأَضْرَمَ النِّيرَانَ وَقَالَ مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ فَأَحْمُوهُ فِيهَا. أَوْ قِيلَ لَهُ اقْتَحِمْ. فَفَعَلُوا حَتَّى جَاءَتِ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا صَبِىٌّ لَهَا فَتَقَاعَسَتْ أَنْ تَقَعَ فِيهَا فَقَالَ لَهَا الْغُلاَمُ يَا أُمَّهِ اصْبِرِى فَإِنَّكِ عَلَى الْحَقِّ
Raja kemudian memerintah membuat parit-parit besar di mulut jalan. Lalu dibuatlah parit, dinyalakan api, dan Raja berkata: “Siapa yang enggan kembali dari agamanya, bakar hidup-hidup.” Hingga ada seorang ibu menggendong putranya, ia berhenti dan takut. Tetapi anaknya berkata: “Sabar saja Ibu, sesungguhnya Ibu ada dalam kebenaran.” (Shahih Muslim bab qishshah ashhabil-ukhdud no. 7703).
Sebuah teladan mulia dari seorang anak muda pemberani. Meskipun ia berada di lingkaran kekuasaan Raja, tetapi mata hatinya tidak tertutup dari ajaran-ajaran mulia. Ia masih bisa membedakan mana yang baik dan buruk, kemudian berani memilih yang baik meskipun harus mengorbankan segala fasilitas istimewa dari Istana Raja, bahkan meskipun harus dengan mengorbankan nyawanya sekalipun. Wal-‘Llahul-Musta’an.