Ramai-ramai Membela Sesajen

Masyarakat bodoh sebagai pertanda kiamat sudah tampak nyata di depan mata. Islam yang sangat tidak mungkin membenarkan sesajen jadi dinilai sebuah kesalahan oleh masyarakat bodoh, sementara kebenarannya adalah mempraktikkan sesajen itu sendiri atau minimalnya menghormati tradisi syirik yang dimaksud. Terlepas dari kesalahan sang penendang sesajen memilih cara dakwah, jika konsep kebenaran berdasarkan agama dipegang tentunya tidak akan kemudian ramai membela sesajen itu sendiri. Sang penendang sesajen cukup dinasihati dan tidak diposisikan sebagai seorang terpidana berat.


Dalih pembenaran bermunculan yang semuanya bermuara pada kebodohan; sesajen itu diperuntukkan bagi Allah swt bukan arwah penjaga Semeru, jadi tidak masuk kategori syirik; sesajen itu kekayaan budaya nasional yang harus dirawat dan sudah dilindungi oleh UU tentang kebudayaan; keragaman budaya merupakan jati diri bangsa dan itulah yang menjadi filosofi Pancasila; menendang sesajen bukan cara dakwah walisongo; Nabi Muhammad saw tidak pernah menghancurkan berhala; dan yang agak mendingnya jangan menghina dan mengganggu keyakinan agama lain di luar Islam.
Dalam hal ini aqidah rujukan konsep kebenaran menjadi sangat menentukan; apakah akan merujuk wahyu dan ajaran agama ataukah merujuk hawa nafsu manusia termasuk yang mengatasnamakan Pancasila dan kebudayaan. Pilihannya sangat nyata; apakah akan memilih konsep kebenaran akhirat ataukah konsep kebenaran dunia. Masyarakat yang bodoh tentu akan memilih yang kedua, tetapi masyarakat berilmu pasti akan memilih yang pertama karena itu sudah menjadi aqidah dalam hidupnya.
Sesajen adalah praktik syirik meskipun berdalih sebagai persembahan untuk Allah swt, karena Allah swt sendiri nyatanya menolak praktik sesajen. Jadi sebenarnya untuk siapa sesajen itu jika Allah swt sendiri menolaknya?

وَجَعَلُواْ لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ ٱلۡحَرۡثِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ نَصِيبٗا فَقَالُواْ هَٰذَا لِلَّهِ بِزَعۡمِهِمۡ وَهَٰذَا لِشُرَكَآئِنَاۖ فَمَا كَانَ لِشُرَكَآئِهِمۡ فَلَا يَصِلُ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَىٰ شُرَكَآئِهِمۡۗ سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ 

Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”. Maka saji-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan saji-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu (QS. al-An’am [6] : 136).

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ  ٥٦ مَآ أُرِيدُ مِنۡهُم مِّن رِّزۡقٖ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطۡعِمُونِ  ٥٧ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلۡقُوَّةِ ٱلۡمَتِينُ  ٥٨

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh (QS. adz-Dzariyat [51] : 56-58).

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمۡ لِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُحۡسِنِينَ  ٣٧

Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya (QS. al-Hajj [22] : 37).
Nabi saw memang tidak pernah menghancurkan berhala ketika di Makkah. Bahkan ketika di Makkah Nabi saw tidak pernah melawan penindasan kaum kafir Quraisy kepada para shahabat, sebatas hanya menyuruh bersabar saja. Lalu apakah ini akan menjadi dalil bahwa ketika dihina dan ditindas jangan melawan, cukup bersabar saja? Konteks di Makkah itu adalah ketika lemah dan tidak mungkin melawan. Sementara ketika Fathu Makkah, Nabi saw sendiri yang menghancurkan berhala dan mengintruksikan agar semua berhala dihancurkan. Termasuk di berbagai daerah di luar Makkah.
Imam al-Bukhari meriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ  قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ ﷺ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَحَوْلَ الْبَيْتِ سِتُّونَ وَثَلَاثُ مِائَةِ نُصُبٍ فَجَعَلَ يَطْعُنُهَا بِعُودٍ فِي يَدِهِ وَيَقُولُ {جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ} {جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ}

Dari ‘Abdullah ibn Mas’ud: bahwasanya ketika Nabi saw masuk ke Makkah dalam pembebasan Makkah (fath Makkah), di Ka’bah saat itu ada sekitar 360 patung. Nabi saw pun kemudian menghancurkan patung-patung itu satu persatu dengan tongkat yang dipegangnya sambil membaca: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” [QS. Al-Isra` [17] : 81] “Sekarang kebenaran telah datang dan kebatilan tak akan terulang dan kembali lagi.” [QS. Saba` [34] : 49]. (Shahih al-Bukhari kitab al-maghazi bab aina rakazan-Nabiy ar-rayah yaumal-fath no. 4287)
Shahabat ‘Ali ra pernah mendapatkan perintah dari Nabi saw:

أَنْ لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً إِلاَّ طَمَسْتَهُ وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ

“Kamu jangan menyisakan berhala melainkan kamu hancurkan, dan tidak juga kuburan yang tinggi melainkan kamu ratakan.” (Shahih Muslim bab al-amr bi taswiyatil-qabr no. 2287).
Meski cara yang dilakukan penendang sesajen salah karena provokatif dengan memvideokan dan sengaja menyebarkannya agar menjadi viral, tetapi permakluman atas kekeliruan itu harus tetap ada. Apa yang ia lakukan mungkin mengikuti cara Nabi Ibrahim as yang sengaja menghancurkan berhala dan kemudian membiarkan dirinya tertangkap agar ia bisa mengajak masyarakat umum berpikir. Meski dalam hal ini sang penendang sesajen juga ada kekeliruan yang lain, yakni malah meminta maaf karena merasa bersalah. Seyogianya ia seperti Nabi Ibrahim as siap dihukum dan menjadikannya kesempatan untuk beradu argumentasi juga dialog terbuka dengan masyarakat umum. Permintaan maaf darinya juga terkesan mubadzir karena tetap tidak akan menghentikan proses hukum. Jadi kalau ada jiwa pemberani seharusnya sekalian beradu argumentasi setidaknya di pengadilan, jangan malah mengaku salah karena berharap diringankan hukumannya. Nabi Ibrahim as pun tetap lantang bersuara meski hukuman bakar hidup-hidup mengintainya.
Terlebih fakta pemberitaan menyebutkan jelas bahwa sesajen itu dibuat oleh kaum muslimin di sana sesudah acara do’a bersama untuk tolak bala dan semacamnya. Maka dari itu dalih-dalih kebudayaan tidak bisa masuk. Orang-orang non-muslim tidak perlu ikut memperkeruh suasana karena ini urusan internal ajaran umat Islam.
Pancasila dan UUD 1945 dalam hal ini harus dijadikan landasan dalam hal sila-sila dan pasal-ayat yang tertuang di dalamnya, bukan jargon Bhinneka Tunggal Ika-nya. Jargon yang sering dijadikan landasan keberagaman tersebut tetap terikat dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan pasal 29 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jadi seyogianya mereka yang menuduh intoleran itu bersikap toleran terhadap keyakinan umat Islam yang mengajarkan haramnya sesajen dan syirik. Mereka yang mengaku pengawal kebhinnekaan seyogianya menghargai keragaman keyakinan bangsa termasuk umat Islam yang tidak menoleransi parktik sesajen.
Logika masyarakat bodoh adalah logika masyarakat awam (keumuman dan mayoritas). Logika ini dipandang al-Qur`an tidak akan berdasar ilmu. Jika umat Islam mengikuti arus masyarakat banyak khususnya netizen, apalagi itu adalah para pejabat negara yang notabene juga beragama Islam, al-Qur`an sudah menegaskan: Sesat! Yang Mahatahu dan sumber ilmu itu Allah swt, maka sudah seharusnya logika kebenaran itu mengikuti ajaran Allah swt.

وَإِن تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ  ١١٦ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعۡلَمُ مَن يَضِلُّ عَن سَبِيلِهِۦۖ وَهُوَ أَعۡلَمُ بِٱلۡمُهۡتَدِينَ  ١١٧

Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk (QS. al-An’am [6] : 116-117).
Dalil pejabat kementerian agama terkait larangan menghina sesembahan pemeluk agama lain memang benar adanya. Akan tetapi tidak tepat digunakan dalam konteks sesajen Semeru ini karena jelas yang menaruhnya adalah umat Islam. Dalil tersebut hanya berlaku untuk pemeluk agama di luar Islam, yakni bahwa umat Islam tidak boleh menghina sesembahan pemeluk agama lain karena nanti akan membalas menghina Allah swt, dan kondisi saling menghina ini tidak akan kondusif untuk kehidupan manusia.

وَلَا تَسُبُّواْ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّواْ ٱللَّهَ عَدۡوَۢا بِغَيۡرِ عِلۡمٖۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمۡ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرۡجِعُهُمۡ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ  ١٠٨

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan (QS. al-An’am [6] : 108).
Dakwah itu memang kuncinya mengajak, bukan mengejek. Dakwah itu mencari jelas, bukan mencari puas. Inilah mungkin yang dilupakan oleh penendang sesajen. Wal-‘Llahu a’lam.