Aqidah

Air Mata Buaya Syi’ah dalam ‘Asyura

Air Mata Buaya Syi’ah dalam ‘Asyura

‘Asyura (10 Muharram) merupakan hari sakral bagi penganut Syi’ah. Pada hari ini mereka memperingatinya dengan kesedihan yang didramatisir untuk mengenang syahidnya al-Husain ibn ‘Ali ibn Abi Thalib L dan keluarganya yang dibunuh dengan keji di Karbala, Irak, pada 61 H. Tetapi kesedihan yang ditampakkan oleh mereka itu hanyalah air mata buaya, karena sebenarnya merekalah yang mengundang paksa al-Husain ke Irak dan kemudian sengaja melakukan pembiaran tanpa pembelaan hingga al-Husain dan keluarga dibunuh pasukan bengis.

‘Asyura diperingati khusus oleh kalangan Syi’ah dengan kesedihan sebagai bentuk kecintaan mereka terhadap Ahlul-Bait (keluarga Nabi saw). Kaum Syi’ah (kelompok fanatik) artinya Syi’ah ‘Ali atau Syi’ah Ahlul-Bait Nabi saw. ‘Ali ra dan keturunannya (Ahlul-Bait) dalam sejarahnya selalu mendapatkan penindasan dari beberapa kekhalifahan yang takut kekuasaannya terganggu oleh pengaruh kuat Ahlul-Bait Nabi saw. Peringatan ‘Asyura adalah sebuah pertunjukan dari Syi’ah bahwa mereka ada di pihak pencinta ‘Ali ra dan keturunannya. Mereka sangat tidak ridla dengan penguasa-penguasa yang selalu menindas ‘Ali ra dan keturunannya. Yang paling dramatis dari semua penindasan terhadap Ahlul-Bait itu adalah terbunuhnya al-Husain ibn ‘Ali ra di Karbala, Irak, pada 10 Muharram 61 H. Umumnya Syi’ah memperingatinya dengan pertunjukkan drama, puisi, orasi, do’a bersama, dan beberapa di antaranya dengan demonstrasi melukai diri sendiri sebagai simbol merasakan sakit yang sama dengan al-Husain yang dianiaya di Karbala.

Peringatan kesedihan ‘Asyura yang dilakukan Syi’ah itu tentunya sangat berlebihan dan merupakan bid’ah yang nyata. Memperingati syahidnya seorang pahlawan Islam bukan dengan peringatan kesedihan yang didramatisir sedemikian rupa, melainkan dengan sabar dan melanjutkan perjuangan para syuhada. Maka dari itu Nabi saw menegur seorang ibu yang menangisi kematian putranya di atas pusaranya, karena kematian tidak boleh ditangisi dengan berlebihan. Cukup linangan air mata dan kesedihan hati semata. Tidak perlu dengan menangisi terus menerus bahkan sampai sesudah dikuburkan. Anas ibn Malik ra menjelaskan:

مَرَّ النَّبِيُّ ﷺ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ (عَلَى صَبِىٍّ لَهَا) فَقَالَ اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي وَلَمْ تَعْرِفْهُ فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِيُّ ﷺ فَأَتَتْ بَابَ النَّبِيِّ ﷺ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ فَقَالَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى

Nabi saw pernah lewat pada seorang perempuan yang sedang menangis di atas kuburan (riwayat Muslim: anaknya). Beliau lalu bersabda: “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah.” Perempuan itu langsung menimpali: “Menjauhlah kamu! Kamu tidak merasakan musibah seperti aku.” Perempuan itu tidak mengetahui bahwa yang berbicara adalah Nabi saw. Setelah dikatakan kepadanya bahwa itu Nabi saw, ia langsung datang menemuinya. Ketika tiba di pintu rumah Nabi saw, ia tidak menemukan para penjaga, maka ia langsung masuk dan berkata: “Aku tadi tidak tahu bahwa itu engkau.” Maka Nabi saw bersabda: “Sabar itu ketika kejadian yang awal.” (Shahih al-Bukhari kitab al-jana`iz bab ziyaratil-qubur no. 1283; Shahih Muslim bab fis-shabr ‘alal-mushibah ‘indas-shadmatil-ula no. 2179).

Maksudnya jika di awal peristiwa tidak mampu mengendalikan kesedihan hingga menangis histeris, maka itu pertanda tidak ada kesabaran dalam hati, dan itu pertanda kurangnya ketaqwaan. Semestinya dari awal peristiwa yang menyedihkan mampu bersabar menahan kesedihan tanpa menangisinya berlebihan hingga di atas pusaranya.

Letak bid’ah lainnya dalam hal membatasinya hanya pada al-Husain, sementara ‘Umar ibn al-Khaththab, ‘Utsman ibn ‘Affan, dan ‘Ali ibn Abi Thalib ra yang sama-sama dibunuh dengan keji tidak diperingati kesyahidan mereka. Termasuk ‘Abdullah ibnuz-Zubair ra yang dibunuh keji oleh al-Hajjaj—yang juga membunuh al-Husain—bahkan dengan cara yang lebih keji di Masjidil-Haram lalu jasadnya dipasung selama tiga hari di sebuah pohon di Makkah. Termasuk mayoritas syuhada lainnya dari kalangan para shahabat dari sejak perang Badar sampai perang pembebasan Persia (Irak-Iran hari ini).

Terlebih faktanya, sebagaimana ditegaskan Ibn ‘Umar ra, dan disetujui para shahabat lainnya, bahwa pembunuh al-Husain adalah bangsa Irak itu sendiri. Bangsa Irak yang dimaksud adalah mereka yang mengaku sebagai pendukung ‘Ali ra dan meminta al-Husain dari Madinah untuk bergabung dengan mereka ke Irak. Bangsa Irak ini yang di masa kemudian dikenal dengan sebutan Syi’ah. Irak pada zaman shahabat Nabi saw mencakup Irak-Iran hari ini. Sampai hari ini basis penganut Syi’ah adalah Irak dan Iran. Merekalah sebenarnya pembunuh atau penyebab utama pembunuhan al-Husain ra di Karbala.

عَنْ ابْنِ أَبِي نُعْمٍ قَالَ كُنْتُ شَاهِدًا لِابْنِ عُمَرَ وَسَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ دَمِ الْبَعُوضِ فَقَالَ مِمَّنْ أَنْتَ فَقَالَ مِنْ أَهْلِ الْعِرَاقِ قَالَ انْظُرُوا إِلَى هَذَا يَسْأَلُنِي عَنْ دَمِ الْبَعُوضِ وَقَدْ قَتَلُوا ابْنَ النَّبِيِّ ﷺ وَسَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنْ الدُّنْيَا

Dari Ibn Abi Nu’m, ia berkata: Aku hadir dan menyaksikan Ibn ‘Umar ra ketika ditanya oleh seseorang tentang darah nyamuk. Ibn ‘Umar ra balik bertanya: “Anda berasal dari mana?” Ia menjawab: “Dari penduduk Irak.” Ibn ‘Umar berkata: “Lihatlah oleh kalian orang ini. Ia bertanya kepadaku tentang darah nyamuk, padahal mereka telah membunuh putra (cucu) Nabi saw. Aku mendengar Nabi saw bersabda: ‘Mereka berdua (Hasan dan Husain) adalah wewangianku di dunia.’ (Shahih al-Bukhari kitab al-adab bab rahmatil-walad wa taqbilihi wa mu’anaqatihi no. 5994).

Dengan sanad yang berbeda, Imam al-Bukhari juga meriwayatkan:

قال ابْنُ أَبِي نُعْمٍ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ وَسَأَلَهُ عَنْ الْمُحْرِمِ قَالَ شُعْبَةُ أَحْسِبُهُ يَقْتُلُ الذُّبَابَ فَقَالَ أَهْلُ الْعِرَاقِ يَسْأَلُونَ عَنْ الذُّبَابِ وَقَدْ قَتَلُوا ابْنَ ابْنَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنْ الدُّنْيَا

Ibn Abi Nu’m berkata: Aku mendengar Ibn ‘Umar ra ketika ditanya oleh seseorang tentang orang yang ihram. Syu’bah (salah seorang rawi) berkata: Aku mengiranya tentang orang yang ihram membunuh lalat. Maka Ibn ‘Umar berkata: “Orang Irak bertanya tentang lalat, padahal mereka telah membunuh anak dari putri Rasulullah saw. Dan Nabi saw sendiri bersabda: ‘Mereka berdua (Hasan dan Husain) adalah wewangianku di dunia.’ (Shahih al-Bukhari kitab al-manaqib bab manaqib al-Hasan wal-Husain no. 3753).

Dalam riwayat at-Tirmidzi, disebutkan lebih jelas lagi tentang maksud darah nyamuk yang ditanyakan dan siapa yang dimaksud ‘mereka berdua wewangianku’ tersebut.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي نُعْمٍ، أَنَّ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ العِرَاقِ سَأَلَ ابْنَ عُمَرَ عَنْ دَمِ البَعُوضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ، فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: انْظُرُوا إِلَى هَذَا يَسْأَلُ عَنْ دَمِ البَعُوضِ وَقَدْ قَتَلُوا ابْنَ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: إِنَّ الحَسَنَ وَالحُسَيْنَ هُمَا رَيْحَانَتَايَ مِنَ الدُّنْيَا

Dari ‘Abdurrahman ibn Abi Nu’m, bahwasanya ada seseorang dari Irak bertanya kepada Ibn ‘Umar tentang darah nyamuk yang kena pada baju. Maka Ibn ‘Umar berkata: “Lihatlah oleh kalian orang ini. Ia bertanya kepadaku tentang darah nyamuk, padahal mereka telah membunuh putra (cucu) Rasulullah saw. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Sesungguhnya Hasan dan Husain adalah wewangianku di dunia.” (Sunan at-Tirmidzi bab manaqib Abi Muhammad al-Hasan ibn ‘Ali no. 3770).

Ketiga jalur periwayatan di atas masing-masingnya saling menjelaskan. Yang dimaksud “putra Rasulullah” adalah “cucu” Rasulullah saw, dan bangsa Arab biasa menyebutkan “cucu” sebagai “anak”. Yang disebutkan di salah satu riwayatnya antara al-Hasan dan al-Husain. Tentunya al-Husain karena al-Hasan tidak wafat dibunuh bangsa Irak.

Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa kemungkinannya ada dua. Mungkin hadits di atas menceritakan dua kejadian dari dua pertanyaan yang berbeda, yakni dalam satu kesempatan ada yang bertanya tentang darah nyamuk dan dalam kesempatan lainnya ada yang bertanya tentang darah lalat. Mungkin juga kejadiannya satu, yakni bertanya tentang darah nyamuk atau lalat, sebab sebagaimana dijelaskan al-Jahizh, orang Arab biasa menyebut nyamuk, lebah, dan sebagainya dengan sebutan dzubab juga. Kedua darah dari kedua hewan tersebut termasuk yang dimaafkan; tidak menjadi najis atau haram karena tidak termasuk darah yang mengalir (daman masfuhan) sehingga tidak perlu dipersoalkan, dan hal ini masyarakat umum sudah mengetahuinya. Maka dari itu aneh kalau masih ada yang mempertanyakannya. Ketika ternyata yang bertanya dari bangsa Irak, maka Ibn ‘Umar ra balik mengkritiknya dengan pernyataan darah nyamuk/lalat dipertanyakan, sementara darah cucu Rasulullah saw diabaikan begitu saja. Ibn ‘Umar ra di hadapan para shahabat dan tabi’in tegas menyatakan bahwa bangsa Iraklah sebenarnya pembunuh al-Husain itu sendiri karena mereka sudah menjebak al-Husain datang ke Irak lalu membiarkannya dibunuh pasukan bengis pimpinan al-Hajjaj.

Orang Syi’ah pasti akan berdalih bahwa hadits di atas itu hanya pendapat Ibn ‘Umar ra yang diriwayatkan Imam al-Bukhari, bukan sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh rawi-rawi Syi’ah. Padahal pernyataan shahabat yang diriwayatkan al-Bukhari terbukti shahihnya dan itu artinya disetujui kebenarannya oleh para shahabat dan tabi’in lainnya. Itu berarti sebuah ijma’ (kesepakatan bulat) tentang fakta pembunuhan al-Husain ra berdasarkan kesaksian dari generasi yang sezaman dan seperjuangan dengannya. Penolakan mereka atas fakta ini hanya menegaskan bahwa mereka memilih jalan yang berlainan dari sunnah dan ijma’ shahabat. Sebuah fakta yang menegaskan bahwa mereka tidak memilih jalan Islam. Jalan Islam itu sudah Nabi saw tegaskan: “Ma ana ‘alaihi wa ashhabi; apa yang aku dan para shahabatku ada padanya.” Memilih jalan lain di luar jalan itu hanya menegaskan status mereka sebagai kelompok sesat yang keluar dari Islam alias Ahlul-Bid’ah. Sampai kapan pun jika sunnah mereka tolak dengan dalih bukan riwayat orang-orang Syi’ah susah untuk disimpulkan bahwa mereka bagian dari Islam, sebab Islam pilihannya pasti harus al-Qur`an dan sunnah, bukan malah membuat jalan lain di luar sunnah. Wal-‘Llahu a’lam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button