Gelisah karena Perbedaan Fiqih Shalat

Saya seringkali merasa gelisah melihat perbedaan fiqih shalat di antara kita. Ada yang menggerak-gerakkan telunjuk ketika duduk tasyahhud, ada yang tidak. Ada yang mengangkat tangan ketika berdo’a selepas shalat, ada yang tidak. Mana sebetulnya yang benar? Bukankah kita harus beribadah mencontoh Rasulullah saw, harus benar sama persis dengan beliau? Jama’ah Pasirkoja, Bandung
Perasaan gelisah yang anda tanyakan tentunya berlebihan karena perbedaan fiqih dalam shalat tidak sampai masuk wilayah berdosa; tidak termasuk pada wilayah benar dan sesat, sebab sebatas perbedaan ijtihad dari para ulama yang sama-sama mencurahkan segenap ilmu dan kemampuannya untuk memahami teks-teks dalil agama dan menyimpulkannya agar bisa dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat.
Nabi saw sendiri sudah menjelaskan bahwa upaya ijtihad (usaha keras untuk meneliti, menganalisa, dan menyimpulkan hukum) membawa konsekuensi adanya perbedaan kesimpulan hukum dari ahli-ahli hukum. Perbedaan itu sebatas pada tepat (shawab) dan khatha` (keliru), bukan pada benar (haqq) dan sesat (dlalal/bathil). Jadi tidak ada yang akan terjerumus pada wilayah dosa. Nabi saw menegaskan bahwa baik yang shawab ataupun yang khatha` kedua-duanya akan mendapatkan pahala, tidak ada yang akan mendapatkan dosa. Hanya yang shawab pahalanya dua, sementara yang khatha` pahalanya satu. Artinya harus tetap diupayakan mencari kesimpulan yang shawab, meski tanpa harus melecehkan yang khatha`.
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Apabila seorang ahli hukum menetapkan satu hukum dan ia berijtihad, maka jika ia tepat akan mendapatkan dua pahala, dan jika ia keliru akan mendapatkan satu pahala (Sunan at-Tirmidzi kitab al-ahkam bab al-qadli yushibu wa yukhthi`u no. 1326).
Perihal menggerak-gerakkan telunjuk dalam duduk tasyahhud sudah dibahas dalam tulisan sebelumnya (https://attaubah-institute.com/tidak-menggerak-gerakkan-telunjuk-ketika-tasyahhud/) bahwa baik menggerak-gerakkan telunjuk atau tidak, kedua-duanya ada dalil pengamalannya dari Nabi saw. Maka dari itu para ulama dari sejak era salaf sampai era Tuan A. Hassan (dalam Pengajaran Shalat) dan Ustadz Aceng Zakaria (dalam al-Hidayah) sama-sama menyimpulkan bahwa kedua-duanya boleh diamalkan. Hadits Wa`il ibn Hujr ra jelas menyebutkan Nabi saw menggerak-gerakkan telunjuk ketika duduk tasyahhud, sementara hadits ‘Abdullah ibnuz-Zubair ra jelas menyebutkan Nabi saw tidak menggerak-gerakkan telunjuk ketika duduk tasyahhud. Sementara hadits-hadits lainnya tidak ada satu pun yang menginformasikan apakah Nabi saw menggerak-gerakkan telunjuknya ataukah tidak, melainkan hanya sebatas menginformasikan berisyarat dengan telunjuk. Berdasarkan pertimbangan jika memang sering diamalkan oleh Nabi saw pastinya banyak shahabat yang meriwayatkan hadits duduk tasyahhud akan meriwayatkan praktik menggerak-gerakkan telunjuk ini, maka tidak heran jika mayoritas ulama lebih banyak yang memilih tidak menggerak-gerakkan telunjuk.
Demikian halnya persoalan mengangkat tangan ketika berdo’a, sudah dibahas pada tulisan sebelumnya (https://attaubah-institute.com/takhrij-hadits-berdoa-sambil-mengangkat-tangan/) bahwa hukumnya mubah. Meski ada hadits Salman ra yang berstatus hasan bahwa Allah swt segan untuk tidak mengijabah orang yang berdo’a sambil mengangkat tangan, tidak berarti bahwa setiap berdo’a harus mengangkat tangan, sebab Nabi saw tidak selalu mencontohkan demikian. Termasuk dalam hal berdo’a selepas shalat wajib atau ketika wirid ba’da shalat, kami belum menemukan satu keterangan pun bahwa Nabi saw pernah mengangkat tangan ketika berdo’a selepas shalat wajib. Dengan merujuk hadits Salman yang bersifat umum, memang tidak bisa dipersalahkan jika ada orang yang kemudian berdo’a pada waktu itu sambil mengangkat tangan. Tetapi mengingat Nabi saw tidak pernah mengamalkannya, berarti yang lebih tepat berdo’a selepas shalat itu tidak dengan mengangkat tangan.
Yang pantas membuat kita semua gelisah adalah jika ada yang menggugat keabsahan syari’at shalat; banyak yang shalat tetapi banyak juga yang korupsi; shalat diamalkan tetapi zakat ditinggalkan; atau aliran sesat seperti Syi’ah yang mengubah sifat shalat secara sporadis tanpa merujuk pada sunnah sama sekali. Yang dirinci terakhir ini sudah masuk wilayah sesat dan berdosa, karena sudah di luar wilayah ijtihad.