Misi Dakwah Tauhid untuk Ahli Kitab
Dakwah tauhid sebagai ajaran utama dalam Islam seringkali dibenturkan dengan dogma pluralisme dan demokrasi sekuler. Dianggap sudah bukan zamannya lagi ada misi dakwah tauhid untuk seluruh manusia khususnya Ahli Kitab karena bertentangan dengan ajaran pluralisme dan demokrasi sekuler yang saat ini dijadikan ideologi dunia. Padahal dakwah tauhid jelas termaktub dalam al-Qur`an dan sunnah. Metodenya pun sudah dijelaskan dalam al-Qur`an dan sunnah. Menganggapnya harus diabaikan sama saja dengan melecehkan al-Qur`an dan sunnah.
Misi dakwah tauhid harus diemban oleh setiap muslim sebab sudah digariskan jelas dalam al-Qur`an dan sunnah, sekaligus merupakan misi utama diutusnya Rasul saw dengan dinul-haqq (agama yang benar).
هُوَ ٱلَّذِيٓ أَرۡسَلَ رَسُولَهُۥ بِٱلۡهُدَىٰ وَدِينِ ٱلۡحَقِّ لِيُظۡهِرَهُۥ عَلَى ٱلدِّينِ كُلِّهِۦ وَلَوۡ كَرِهَ ٱلۡمُشۡرِكُونَ ٣٣
Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai (QS. at-Taubah [9] : 33, al-Fath [48] : 28, as-Shaff [61] : 9).
Dalam ayat lain Allah swt tegas mengajarkan:
قُلۡ هَٰذِهِۦ سَبِيلِيٓ أَدۡعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا۠ وَمَنِ ٱتَّبَعَنِيۖ وَسُبۡحَٰنَ ٱللَّهِ وَمَآ أَنَا۠ مِنَ ٱلۡمُشۡرِكِينَ ١٠٨
Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik“. (QS. Yusuf [12] : 108)
ٱدۡعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِٱلۡحِكۡمَةِ وَٱلۡمَوۡعِظَةِ ٱلۡحَسَنَةِۖ وَجَٰدِلۡهُم بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُۚ
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. (QS. an-Nahl [16] : 125)
۞وَلَا تُجَٰدِلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلۡكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِي هِيَ أَحۡسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنۡهُمۡۖ …
Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka… (QS. al-‘Ankabut [29] : 46)
Tiga ayat di atas tegas menyatakan bahwa dakwah tauhid harus dijalankan oleh setiap muslim. Akan tetapi tentu caranya harus dengan yang terbaik, yakni ilmiah dan argumentatif (hikmah/bashirah), memakai bahasa nasihat yang baik (mau’izhah hasanah), dan kalau harus berdebat atau diskusi maka dengan cara yang lebih baik lagi tidak cukup dengan cara yang baik saja (mujadalah bil-lati hiya ahsan). Ayat dalam surat al-‘Ankabut di atas malah melarang perdebatan yang dilakukan dengan cara yang tidak baik. Jika ternyata tidak akan baik maka hindari perdebatan tersebut.
Dalam ayat yang dikutip Nabi saw pada surat untuk Kaisar Romawi (QS. Ali ‘Imran [3] : 64) jelas disebutkan bahwa umat Islam tidak boleh bergeser dari prinsip tauhid ini. Jika umat yang didakwahi menolak, jangan terbawa arus mereka, melainkan tetap tegas dalam ideologi Islam. Mereka yang harus ikut Islam bukan malah sebaliknya. Jika mereka enggan masuk Islam, maka umat Islam harus tetap teguh dengan Islam.
Dalam pesannya untuk Mu’adz ibn Jabal ra yang diutus berdakwah ke Yaman, Nabi saw tidak bergeser sedikit pun dari misi tauhid ini:
إِنَّكَ سَتَأْتِي قَوْمًا أَهْلَ كِتَابٍ فَإِذَا جِئْتَهُمْ فَادْعُهُمْ إِلَى أَنْ يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ خَمْسَ صَلَوَاتٍ فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَأَخْبِرْهُمْ أَنَّ اللَّهَ قَدْ فَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ فَإِنْ هُمْ أَطَاعُوا لَكَ بِذَلِكَ فَإِيَّاكَ وَكَرَائِمَ أَمْوَالِهِمْ وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Sungguh kamu akan datang kepada kaum Ahli Kitab. Apabila kamu telah datang kepada mereka, ajaklah mereka untuk bersaksi tiada tuhan selain Allah dan sungguh Muhammad Rasul Allah. Jika mereka taat kepadamu dalam hal itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam setiap hari dan malamnya. Jika mereka taat kepadamu dalam hal itu maka beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah mewajibkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya dan dibagikan kepada orang-orang faqir. Jika mereka taat kepadamu dalam hal itu maka jauhilah harta-harta mereka yang istimewa dan takutilah do’a orang yang dizhalimi karena tidak ada hijab di antara dia dan Allah (Shahih al-Bukhari bab akhdzis-shadaqah minal-aghniya no. 1496; Shahih Muslim bab ad-du’a ilas-syahadatain wa syarai’il-Islam no. 130).
Terkait penegasan Nabi saw kepada Mu’adz ra bahwa ia akan menghadapi kaum Ahli Kitab, tentu maksudnya penduduk mayoritasnya Ahli Kitab, bukan berarti semuanya Ahli Kitab. Disebut secara khusus Ahli Kitab karena ada keistimewaan khusus pada mereka yang tidak dimiliki pemeluk agama lain. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam hal ini menjelaskan:
هِيَ كَالتَّوْطِئَةِ لِلْوَصِيَّةِ لِتُسْتَجْمَعَ هِمَّتُهُ عَلَيْهَا لِكَوْنِ أَهْلَ الْكِتَابِ أَهْلَ عِلْمٍ فِي الْجُمْلَةِ فَلَا تَكُونُ الْعِنَايَةُ فِي مُخَاطَبَتِهِمْ كَمُخَاطَبَةِ الْجُهَّالِ مِنْ عَبْدَةِ الْأَوْثَانِ
Itu seperti penekanan khusus wasiat agar terkumpul perhatiannya padanya, karena Ahli Kitab itu secara umum kalangan berilmu, maka perhatian dalam berkomunikasi dengan mereka jangan seperti komunikasi dengan kalangan tidak berilmu dari para penyembah berhala (Fathul-Bari).
Artinya meskipun yang dihadapi Ahli Kitab; Yahudi dan Kristen, kalangan berilmu, kaum elitis, dan paham ajaran-ajaran kitab dan kenabian dari sejak sebelum Nabi saw diutus, tetap saja misi dakwah tauhid tidak boleh dibelokkan dari mereka. Ahli Kitab sama harus tetap diseru untuk bertauhid, meyakini Muhammad saw sebagai Nabi, dan memilih jalan Allah swt yakni Islam. Jangan kemudian dibelokkan menjadi seruan pada pluralisme ataupun demokrasi sekuler.
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, kondisi Ahli Kitab pada zaman Nabi saw itu sendiri ada yang sudah meyakini tauhid tetapi belum sampai meyakini risalah (kerasulan Muhammad saw), dan ada juga yang meyakini Allah memiliki anak yakni Uzair (Yahudi) atau al-Masih Isa (Kristen) serta belum meyakini risalah. Mereka semua dituntut oleh dakwah untuk bertauhid dan mengakui Muhammad saw sebagai Rasul terakhir. Tidak ada pilihan lain di luar itu.
قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِي يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ ٣١ قُلۡ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَٱلرَّسُولَۖ فَإِن تَوَلَّوۡاْ فَإِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلۡكَٰفِرِينَ ٣٢
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu“. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali ‘Imran [3] : 31-32).
Penyebutan shalat dan zakat saja dalam pesan misi dakwah Nabi saw di atas dengan mengenyampingkan rukun dan syari’at Islam lainnya, mengajarkan keberadaan rukun dakwah di samping rukun Islam. Penjelasannya, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, amal manusia itu terdiri dari tiga; i’tiqadi (keyakinan), badani (fisik), dan mali (harta). I’tiqadi terwakili dengan syahadat, badani terwakili dengan shalat, sementara mali terwakili dengan zakat. Jika tiga rukun dakwah ini sudah terpenuhi maka otomatis rukun dan syari’at Islam lainnya juga harus diterima dan diamalkan. Maka dari itu, dalam konteks dakwah, selalu cukup disebutkan tiga rukun saja; syahadat, shalat, dan zakat, tidak dengan rukun lainnya. Tentunya bukan berarti rukun dan syari’at Islam lainnya tidak penting, tetapi orang yang sudah syahadat, shalat, dan zakat konsekuensinya harus siap mengamalkan rukun dan syari’at Islam yang lainnya.
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَخَلُّواْ سَبِيلَهُمۡۚ
Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan (QS. at-Taubah [9] : 5).
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِي ٱلدِّينِۗ …
Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama (QS. at-Taubah [9] : 11).
أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ
Aku diperintah perang kepada umat manusia hingga (harus diakhiri ketika) mereka bersyahadat tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasul Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat (Shahih al-Bukhari bab fa in tabu wa aqamus-shalat no. 25)
Peringatan Nabi saw agar Mu’adz berhati-hati dengan harta-harta istimewa ketika menarik zakat mengajarkan bahwa zakat itu tidak boleh diambil dari harta yang istimewa seperti unta terbaik, sapi termahal, domba terbesar, atau kurma terbaik di kelasnya, melainkan cukup dengan harta yang pertengahan dan standar. Tetapi bukan berarti pembayar zakat leluasa untuk memilih yang terburuk dan paling tidak bernilai sebagaimana sudah dilarang dalam QS. al-Baqarah [2] : 267. Ketika petugas zakat malah sengaja memilih-milih harta terbaik untuk ditarik zakatnya, maka itu adalah satu perbuatan zhalim dari amil zakat terhadap muzakkinya. Jika sudah demikian, maka siapapun orangnya, jika dizhalimi maka ia berhak untuk berdo’a laknat bagi penzhalimnya. Do’a seperti ini pasti diijabah oleh Allah swt karena tidak ada hijab yang akan menghalanginya antara dirinya dan Allah swt.
Wal-‘Llahu a’lam.