Menghafal al-Qur`an Sambil Mengamalkan Bid’ah

Bismillah, maaf bertanya. Saya mengajar tajwid dan tahfizh di majelis pengajian ibu-ibu. Sebagian jam’ahnya masih ada yang merayakan maulid Nabi saw. Apakah saya harus menasihatinya atau membiarkan mereka sesuai fiqih mereka? Bagaimana juga status amal menghafal al-Qur`an mereka yang di saat bersamaan suka mengamalkan bid’ah perayaan maulid Nabi saw? 0821-2936-xxxx
Para ulama membagi bid’ah pada haqiqiyyah dan idlafiyyah. Bid’ah haqiqiyyah adalah bid’ah yang sebenarnya, yakni bid’ah yang sama sekali tidak ada dasar dalilnya dan teladannya. Contohnya seperti ritual-ritual ibadah di kalangan Syi’ah atau tradisi dan adat leluhur seperti tolak bala, sedekah bumi, sedekah laut, padusan, siraman, midodareni, dan semacamnya. Sementara bid’ah idlafiyyah adalah bid’ah turunannya saja, karena dasarnya ada dalil atau teladan dari Nabi saw, seperti tradisi maulid yang dasarnya hadits-hadits tentang mencintai Nabi saw; praktik-praktik bid’ah tahlilan, shalawat, wirid, istighatsah, dan semacamnya yang ada dasar dalilnya seputar dzikir dan shalawat. Hadits-hadits Nabi saw tentang mencintai Nabi saw benar adanya, tetapi tidak sampai harus memperingati maulid Nabi saw. Hadits-hadits tentang dzikir dan shalawat benar adanya tetapi tidak sampai mengamalkan tahlilan, shalawatan, wiridan, dan istighatsahan sebagaimana hari ini diamalkan oleh masyarakat banyak dengan berbagai variasinya karena tidak diajarkan Nabi saw.
Macam lainnya ada bid’ah ijtihadiyyah (istilah dari Syaikh al-Albani dalam risalahnya tentang shalat Tarawih) yakni karena perbedaan ijtihad saja, seperti qunut shubuh, talaffuzh bin-niyyat, tarawih lebih dari 11 raka’at, musik, isbal, dan semacamnya yang merupakan perbedaan fiqih semata. Untuk jenis bid’ah yang ini sebetulnya bukan bid’ah karena hanya perbedaan ijtihad semata, tetapi di sebagian komunitas kaum muslimin yang tidak menyetujuinya faktanya seringkali disebut bid’ah.
Bid’ah juga dibagi pada bid’ah mukaffirah (yang mengkafirkan pengamalnya) dan ghair mukaffirah (tidak mengkafirkan pengamalnya). Bid’ah mukaffirah adalah bid’ah yang sampai khuruj minal-millah (keluar dari Islam) seperti Ahmadiyah karena meyakini ada Nabi sesudah Nabi Muhammad saw dan Syi’ah karena meyakini ada kewenangan membuat syari’at pada imam-imam Syi’ah, ada kitab selain al-Qur`an, ada hadits-hadits baru di luar jalur para shahabat, dan mengkafirkan para shahabat. Sebagian besar bid’ah tidak sampai mukaffirah. Hanya sebatas dinyatakan fa huwa raddun; akan ditolak amal-amal bid’ahnya, tidak akan diterima, tetapi tidak sampai menghancurkan amal-amal shalih lainnya karena tidak sampai kafir.
Peringatan maulid Nabi saw tentu tidak masuk kategori bid’ah mukaffirah. Amal membaca dan menghafal al-Qur`an seseorang tidak akan hancur dan hilang disebabkan merayakan maulid Nabi saw. Sebatas ditolak saja segala amal yang terkait perayaan maulid Nabi saw-nya saja, sebagaimana Nabi saw sabdakan:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Siapa yang mengamalkan satu amal yang tidak ada padanya perintah kami maka amal itu pasti ditolak/tidak akan diterima (Hadits ‘Aisyah ra dalam Shahih Muslim bab naqdlil-ahkam al-bathilah no. 4590).
Setiap muslim diwajibkan untuk tawashau bil-haq wa tawashau bis-shabr. Diwajibkan juga untuk selalu berdakwah dan beramar ma’ruf nahyi munkar. Akan tetapi caranya harus dengan hikmah (berdasarkan ilmu sampai jelas, bukan nafsu emosi), mau’izhah hasanah (memberikan nasihat dengan cara terbaik), dan kalau hendak berdiskusi atau berdebat harus dengan cara bil-lati hiya ahsan (yang lebih baik lagi) sebagaimana diarahkan Allah swt dalam QS. An-Nahl [16] : 125).
Hemat kami anda cukup jangan pernah terlibat dalam perayaan maulid saja. Nanti jama’ah pun pasti akan bertanya mengapa anda tidak pernah mau terlibat dalam perayaan maulid. Pada saat itu anda bisa leluasa menjelaskannya. Kalau anda langsung melarang dan menggurui biasanya tidak akan hasanah. Wal-‘Llahu a’lam.