Makanan dan Minuman

Adab Makan Yang Sering Terlupakan

Selain membaca basmalah dan menggunakan tangan kanan, adab-adab lain terkait makan seringkali terlupakan. Adab-adab tersebut bermuara pada ajaran agar makan seorang muslim tidak ditemani setan. Keterkaitan antara makan dengan setan sungguh lekat sampai Allah swt mengingatkan “jangan mengikuti langkah setan” setelah perintah makan yang halal (QS. 2 : 168 dan 6 : 142)

Salah satu di antaranya ketika lupa membaca basmalah di awalnya, Nabi saw memerintahkan agar seorang muslim membaca bismil-‘Llah awwalahu wa akhirahu (dengan nama Allah di awalnya dan akhirnya) agar setan yang ikut makan ketika seseorang tidak membaca basmalah memuntahkan lagi apa yang ia makan.

عَنْ أُمَيَّةَ بْنِ مَخْشِىٍّ  قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ جَالِسًا وَرَجُلٌ يَأْكُلُ فَلَمْ يُسَمِّ حَتَّى لَمْ يَبْقَ مِنْ طَعَامِهِ إِلاَّ لُقْمَةٌ فَلَمَّا رَفَعَهَا إِلَى فِيهِ قَالَ بِسْمِ اللَّهِ أَوَّلَهُ وَآخِرَهُ فَضَحِكَ النَّبِىُّ ﷺ ثُمَّ قَالَ مَا زَالَ الشَّيْطَانُ يَأْكُلُ مَعَهُ فَلَمَّا ذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ اسْتَقَاءَ مَا فِى بَطْنِهِ

Dari Umayyah ibn Makhsyi ra ia berkata: Rasulullah saw duduk dan ada seorang lelaki yang makan dengan tidak membaca basmalah. Ketika tidak tersisa kecuali satu suap saja dan ia menyuapkannya ke mulutnya sambil membaca bismil-‘Llah awwalahu wa akhirahu, Nabi saw tersenyum lalu bersabda: “Dari tadi setan ikut makan bersamanya. Ketika ia menyebut nama Allah ‘azza wa jalla maka setan memuntahkan semua yang ada di perutnya.” (Sunan Abi Dawud bab at-tasmiyah ‘alat-tha’am no. 3770. Pada hadits no. 3769 diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra bahwa membaca bismil-‘Llah awwalahu wa akhirahu bagi yang lupas basmalah di awalnya adalah perintah Nabi saw).
Setan juga suka mengincar makanan yang disisakan oleh setiap orang yang makan. Jika lengah dan ada makanan yang tersisa di piring, meja, berjatuhan di sekitarnya, atau di tissue dan sapu tangan, berarti seseorang telah menjadi teman setan karena ia telah sengaja memberi makan kepada setan.

إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ أَحَدَكُمْ عِنْدَ كُلِّ شَىْءٍ مِنْ شَأْنِهِ حَتَّى يَحْضُرَهُ عِنْدَ طَعَامِهِ فَإِذَا سَقَطَتْ مِنْ أَحَدِكُمُ اللُّقْمَةُ فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى ثُمَّ لْيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ فَإِذَا فَرَغَ فَلْيَلْعَقْ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فِى أَىِّ طَعَامِهِ تَكُونُ الْبَرَكَةُ

Sesungguhnya setan hadir di tengah-tengah kalian dalam setiap aktivitas hingga ketika makan. Maka jika jatuh sebagian makanan kalian, bersihkanlah yang kotornya kemudian makanlah, dan jangan membiarkannya untuk setan. Jika selesai makan, maka jilatilah jari-jari karena seseorang tidak tahu makanan yang mana yang ada barakahnya (Shahih Muslim bab istihbab la’qil-ashabi’ wal-qash’ah no. 5423).
Tidak perlu merasa risih membersihkan sisa makanan dengan menjilati tangan sebab ini sunnah. Malah yang harus risih adalah dengan membersihkan tangan atau piring menggunakan lap, sapu tangan, tissue, atau yang sejenisnya. Yang terakhir ini berarti sudah berkawan dengan setan.

إِذَا وَقَعَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ فَلْيَأْخُذْهَا فَلْيُمِطْ مَا كَانَ بِهَا مِنْ أَذًى وَلْيَأْكُلْهَا وَلاَ يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ وَلاَ يَمْسَحْ يَدَهُ بِالْمِنْدِيلِ حَتَّى يَلْعَقَ أَصَابِعَهُ فَإِنَّهُ لاَ يَدْرِى فِى أَىِّ طَعَامِهِ الْبَرَكَةُ

Apabila terjatuh sedikit makanan salah seorang di antaramu maka ambillah lalu bersihkanlah kotoran yang menempelnya lalu makanlah, jangan menyisakannya untuk setan. Jangan pula membasuh tangannya dengan kain (atau sejenisnya) sehingga ia menjilati jari-jarinya terlebih dahulu sebab ia tidak tahu pada makanan mana yang ada barakahnya (tidak mustahil pada yang tersisa di jari tersebut—pen) (Shahih Muslim bab istihbab la’qil-ashabi’ wal-qash’ah no. 5421).
Dalam riwayat lain, Anas ra menyebutkan jelas bahwa Nabi saw memerintahkan untuk membersihkan piring alas makan:

وَأَمَرَنَا أَنْ نَسْلُتَ الْقَصْعَةَ قَالَ فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْرُونَ فِى أَىِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ

Beliau memerintah kami membersihkan piring. Beliau bersabda: “Sungguh kalian tidak tahu makanan mana yang ada barakahnya.” (Shahih Muslim bab istihbab la’qil-ashabi’ wal-qash’ah no. 5426)
Tampak jelas bahwa Nabi saw menuntut setiap muslim untuk memperhatikan setan yang selalu mengintai ketika makan sekaligus meraih barakah dari setiap makan. Barakah itu sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi:

وَأَصْل الْبَرَكَة الزِّيَادَة وَثُبُوت الْخَيْر وَالْإِمْتَاع بِهِ ، وَالْمُرَاد هُنَا – وَاللَّهُ أَعْلَم – مَا يَحْصُل بِهِ التَّغْذِيَة وَتَسْلَم عَاقِبَته مِنْ أَذًى ، وَيُقَوِّي عَلَى طَاعَة اللَّه تَعَالَى وَغَيْر ذَلِكَ

Asal makna barakah adalah bertambah dan tetapnya kebaikan sekaligus menikmatinya. Yang dimaksud di sini wal-‘Llahu a’lam adalah yang menghasilkan gizi, sesudahnya tidak ada dampak negatif, dan menguatkan badan untuk taat kepada Allah ta’ala, dan lainnya (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab istihbab la’qil-ashabi’ wal-qash’ah).
Sangat tidak mustahil rutinitas makan dan semangatnya yang tidak sebanding dengan semangat ibadah disebabkan setan selalu menjadi teman ketika makan. Atau bahkan makan yang semakin menambah penyakit, bukannya menambah gizi, juga disebabkan barakah yang tidak pernah diraih ketika makan. Sangat mudah terlihat dalam setiap acara jamuan makan baik itu pernikahan, silaturahmi, syukuran, atau bahkan pengajian, sampah sisa makanan selalu banyak dan itu pertanda setan menjadi teman orang-orang yang makan selama makan.
Terkait barakah ini pula, Nabi saw mengajarkan adab mengambil makanan agar barakah makanan tidak hilang.

البَرَكَةُ تَنْزِلُ وَسَطَ الطَّعَامِ، فَكُلُوا مِنْ حَافَتَيْهِ، وَلَا تَأْكُلُوا مِنْ وَسَطِهِ

Barakah itu turun ke tengah makanan. Maka makanlah dari kedua pinggirnya dan jangan makan dari tengahnya (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi karahiyatil-akl min wasathit-tha’am no. 1805).

كُلُوا مِنْ حَوَالَيْهَا وَدَعُوا ذِرْوَتَهَا يُبَارَكْ فِيهَا

Makanlah dari kedua pinggirnya dan biarkan dahulu bagian tengah yang paling tingginya agar senantiasa diberkahi padanya (Sunan Abi Dawud bab ma ja`a fil-akl min a’las-shafhah no. 3775).
Hal lain yang Nabi saw tekankan agar makan tidak hilang barakahnya adalah tidak makan sebagaimana orang-orang yang tidak beradab:

عن أَبي جُحَيْفَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لَا آكُلُ مُتَّكِئًا

Dari Abu Juhaifah, Rasulullah saw bersabda: “Aku tidak makan sambil duduk bersandar/condong ke samping/beralaskan alas mewah.” (Shahih al-Bukhari bab al-akl muttaki`an no. 5398)
Maksudnya, sebagaimana dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, tidak makan dengan mewah dan berniat berpuas-puas makan, melainkan secukupnya dan seadanya (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab istihbab tawadlu’il-akl). Akhlaq selalu ingin makan enak, puas, dan mewah adalah akhlaq orang-orang kafir yang menjadikan makan sebagai kesenangan hidupnya (QS. al-Hijr [15] : 3; Muhammad [47] : 12; dan al-Mursalat [77] : 46). Kaum muslimin tidak selayaknya mengikuti gaya hidup mereka. Kepuasan dan kesenangan setiap muslim ada pada ibadahnya kepada Allah swt. Sementara makan jangan diseriuskan, yang penting ada makanan yang halal, cukup, dan menyehatkan. Jika nafsu makan selalu dijadikan target kepuasan, maka seseorang hanya akan menjadi budak-budak nafsu yang tidak pernah bisa merasakan kenikmatan ibadah. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.

Related Articles

Back to top button