Tuntunan Hidup Bernegara dalam Islam

Agama Islam sangat menekankan sekali ajaran ta’at kepada Ulil-Amri atau Pemerintah, terlepas dari Ulil-Amri tersebut zhalim apalagi adil. Agama Islam juga sangat menekankan ajaran untuk setia pada al-Jama’ah atau pemerintahan yang legal, terlepas dari apakah pemerintahan itu tidak adil kepada rakyatnya apalagi jika adil. Dua ajaran ini menjadi pilar ajaran hidup bernegara dalam Islam yang harus dipedomani oleh setiap muslim demi mewujudkan kehidupan bernegara yang bermartabat.

Asumsi bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) negara thaghut/kafir harus dibuang jauh-jauh karena beberapa fakta: Pertama, para pendiri negeri ini yang mayoritas muslim sudah merumuskan dasar negara Pancasila yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Thaghut itu selalu bertentangan dengan Islam, sementara Pancasila sesuai dengan Islam. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa sudah dijelaskan dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai “satu rangkaian kesatuan” dengan naskah awalnya yakni Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang berbunyi: “Negara berdasar Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Konstitusi seperti ini kemudian dijadikan landasan pembuatan Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya menjadi UU No. 1/PNPS/1965), dan dalam Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sila tentang kemanusiaan, dibatasi dengan “adil dan beradab” yang merupakan bahasa Islam dan tentunya sesuai dengan Islam. Sila Persatuan Indonesia sejalan dengan ajaran al-jama’ah untuk selalu mendahulukan persatuan rakyat dalam satu negara. Sila tentang demokrasi sudah disesuaikan dengan ajaran Islam sehingga berbunyi: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Sila tentang sosial demikian juga dibatasi dengan kata “keadilan” yang merupakan istilah khas Islam.

Kedua, syari’at Islam sudah menjadi hukum yang diakui dan ditegakkan di NKRI, meski belum kaffah. Mahkamah Konstitusi (MK) juga sudah membenarkannya. Dalam salah satu amar putusannya, MK menyatakan: “…hukum agama dalam hal ini syari’at Islam yang terkait dengan nikah, talak, rujuk, waris, hibah, wasiat, wakaf, ekonomi syari’ah, dan lain-lain telah menjadi hukum negara khususnya yang berlaku bagi pemeluk agama Islam (Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 alinea 3.34.8). Eksistensi syari’at Islam juga terlihat dari adanya Pengadilan Agama, lembaga fatwa Islam, lembaga pendidikan Islam, Rumah Sakit Islam, perbankan syari’ah, lembaga ekonomi Islam, partai politik Islam, ormas Islam, lembaga sosial dan budaya Islam, yang kesemuanya turut dibantu oleh keuangan Negara sebagai pertanda bahwa Negara hadir memberikan legalitas dan fasilitas untuk umat Islam. Meski harus diakui belum sesempurna sebagaimana tertuang dalam syari’at Islam seluruhnya. Maka menjadi tugas generasi sekarang dan masa mendatang untuk terus memperjuangkannya agar berlaku legal di NKRI ini.

QS. an-Nisa` [4] : 59 sudah tegas mewajibkan umat Islam menaati Ulil-Amri (yang berwenang mengatur urusan) di antara mereka. Ulil-Amri adalah yang berkuasa untuk mengatur semua urusan di wilayah kekuasaannya. Mereka adalah penguasa di suatu negara atau pemerintah di suatu wilayah pemerintahan yang dikuasainya. Dalam konteks Indonesia tidak ada lagi yang memiliki kekuasaan penuh untuk mengatur semua urusan selain Pemerintah NKRI. Partai politik atau organisasi masyarakat tidak berwenang penuh untuk mengatur urusan selain berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Pemerintah NKRI. Jelaslah bahwa Pemerintah NKRI adalah Ulil-Amri.

Ketaatan terhadap Ulil-Amri berlaku meskipun Ulil-Amri zhalim dan dibenci oleh umat. Maksudnya ketaatan untuk tetap menjadi umat mereka, tidak memberontak kepada mereka, tetapi tidak boleh sampai menaati dalam hal kemaksiatannya.

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ. فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Setiap muslim harus patuh dan taat pada hal yang ia sukai atau benci, selama ia tidak diperintah maksiat. Jika ia diperintah maksiat, maka jangan patuh dan taat (Shahih al-Bukhari al-ahkam bab as-sam’ wat-tha’ah lil-imam ma lam takun ma’shiyatan no. 6611).

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan ada para pemimpin yang kalian kenal tapi kalian mengingkari mereka. Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari, maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak, selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).

Ketaatan kepada Ulil-Amri ini berkaitan juga dengan ajaran untuk selalu menjaga kesatuan umat di satu pemerintahan atau al-jama’ah. Jangan sampai al-jama’ah retak karena nanti akan ada banyak kekacauan di tengah-tengah masyarakat dan menimbulkan korban. Korban yang meninggal bukan berstatus mati syahid karena memang tidak sedang berperang dengan kaum kafir, melainkan berstatus mati seperti jahiliyyah (berdosa besar) karena bentrok senjata dengan sesama saudaranya seislam.

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْراً فَمَاتَ، إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, maka bersabarlah. Karena sesungguhnya orang yang memecah belah al-jama’ah (khilafah/kesatuan Negara) sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah. (Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabiy saw satarauna ba’di umuran tunkirunaha no. 6531; Shahih Muslim bab wujub mulazamah jama’atil-muslimin no. 3438, 3439).

Dalam riwayat lain disebutkan jelas bahwa al-jama’ah itu adalah sulthan; penguasa/pemerintah (Shahih al-Bukhari no. 7053). Dalam riwayat lain disebutkan jelas khalifah (pemerintah yang sah):

فَإِنْ رَأَيْت خَلِيفَة فَالْزَمْهُ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرك فَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَلِيفَة فَالْهَرَب

Jika kamu menemukan khalifah, maka bergabunglah bersamanya, meski khalifah itu memukul punggungmu (zhalim). Tetapi jika tidak ada khalifah, maka larilah (Fathul-Bari kitab al-fitan bab kaifa al-amru idza lam takun jamaah wala imam).

قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ: دَعَانَا النَّبِيُّ ﷺ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ: فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بِوَاحاً، عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.

‘Ubadah ibn as-Shamit berkata: “Nabi saw memanggil kami lalu kami berbaiat kepadanya.” Ia melanjutkan: “Materi baiat yang beliau ambil dari kami adalah kami berbaiat untuk senantiasa patuh dan taat (kepada Pemerintah), dalam keadaan senang dan benci, dalam keadaan sulit dan mudah, wajib mendahulukannya daripada kami, dan agar kami tidak mencabut urusan pemerintahan (kudeta) dari yang berhaknya. Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, dan kalian punya pegangan yang jelas dari Allah mengenainya.” (Shahih al-Bukhari bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha no. 7056).

Kekufuran yang nyata sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an adalah keluar dari Islam/non-Islam sebagaimana disebutkan dalam QS. An-Nisa` [4] : 150-151; Al-Bayyinah [98] : 1; dan QS. Al-Hajj [22] : 17. Selama pemimpin masih muslim, maka ketaatan kepadanya tetap mutlak. Jika sudah kufur keluar dari Islam, baru boleh dikudeta.

Nabi saw juga mengajarkan untuk tetap setia, mengalah, dan berdamai dengan Pemerintah ketika Pemerintah tersebut nyatanya zhalim terhadap rakyatnya. Rakyat cukup bersabar saja dan memohon hak mereka hanya kepada Allah swt. Tidak perlu dengan melawan karena nanti lebih madlarat dengan banyaknya korban mati jahiliyyah.

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ بَعْدِى أَثَرَةً وَأُمُورًا تُنْكِرُونَهَا. قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ: أَدُّوا إِلَيْهِمْ حَقَّهُمْ وَسَلُوا اللَّهَ حَقَّكُمْ

Dari ‘Abdullah ibn Mas’ud, ia berkata: Rasulullah saw bersabda kepada kami: “Sesungguhnya kalian akan melihat sesudahku atsarah (ketamakan akan kekuasaan) dan hal-hal yang kalian ingkari (pada pemimpin kalian).” Shahabat bertanya: “Apa yang akan anda perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: “Tunaikanlah kepada mereka (para pemimpin) hak mereka (kepatuhan rakyat) dan mintalah kepada Allah hak kamu.” (Shahih al-Bukhari bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha no. 7052).

Tetapi itu bukan berarti harus diam sama sekali dan bersikap pasrah. Umat Islam tetap harus berusaha beramar ma’ruf nahyi munkar dan berjihad menghadapi pemimpin zhalim dengan cara yang tepat. Bukan dengan mengangkat senjata, melainkan dengan bersuara memperjuangkan keadilan dengan cara yang paling adil.

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Sebaik-baiknya jihad adalah kalimat yang adil/benar kepada pemerintah yang zhalim (Sunan Abi Dawud kitab al-malahim bab al-amr wan-nahy no. 4346).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *