Sabar Tanpa Berobat
Saya tidak paham dengan pembahasan Bulletin At-Taubah edisi 21 Juli 2023 tentang Masuk Surga Tanpa Dihisab yang menyinggung tawakkal tanpa berobat. Bukankah berobat itu hukumnya wajib? 0851-0257-xxxx
Hadits tentang perintah berobat merupakan jawaban dari pertanyaan “bolehkah berobat?”. Maka perintah dalam hadits tersebut maknanya “silahkan berobatlah”. Jadi bukan perintah wajib, sebatas perintah mubah; silahkan.
Hadits yang anda maksud hadits Usamah ibn Syarik ra riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi sebagai berikut:
عَنْ أُسَامَةَ بْنِ شَرِيكٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِىَّ ﷺ وَأَصْحَابُهُ كَأَنَّمَا عَلَى رُءُوسِهِمُ الطَّيْرُ فَسَلَّمْتُ ثُمَّ قَعَدْتُ فَجَاءَ الأَعْرَابُ مِنْ هَا هُنَا وَهَا هُنَا فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَتَدَاوَى فَقَالَ تَدَاوَوْا فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
Dari Usamah ibn Syarik ra, ia berkata: Aku datang kepada Nabi saw dan saat itu ada para shahabat yang seolah-olah di atas kepala mereka ada burung. Aku lalu salam kemudian ikut duduk. Tiba-tiba datang orang-orang Arab dari pedusunan dari arah sana dan sana. Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, bolehkah kami berobat?” Beliau menjawab: “Silahkan berobat, karena sungguh Allah ‘azza wa jalla tidak membuat penyakit melainkan membuat obatnya, kecuali satu penyakit yaitu usia tua.” (Sunan Abi Dawud bab fir-rajul yatadawa no. 3857; Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fid-dawa` wal-hatstsi ‘alaih no. 2038)
Terkait hadits di atas Imam al-‘Azhim Abadi (w. 1329) menjelaskan:
قَالَ فِي فَتْح الْوَدُود: الظَّاهِر أَنَّ الْأَمْر لِلْإِبَاحَةِ وَالرُّخْصَة وَهُوَ الَّذِي يَقْتَضِيه الْمَقَام فَإِنَّ السُّؤَال كَانَ عَنْ الْإِبَاحَة قَطْعًا، فَالْمُتَبَادِر فِي جَوَابه أَنَّهُ بَيَان لِلْإِبَاحَةِ. وَيُفْهَم مِنْ كَلَام بَعْضهمْ أَنَّ الْأَمْر لِلنَّدْبِ وَهُوَ بَعِيدٌ، فَقَدْ وَرَدَ مَدْح مَنْ تَرَكَ الدَّوَاء وَالِاسْتِرْقَاء تَوَكُّلًا عَلَى اللَّه. نَعَمْ قَدْ تَدَاوَى رَسُول اللَّه ﷺ بَيَانًا لِلْجَوَازِ فَمَنْ نَوَى مُوَافَقَته ﷺ يُؤْجَر عَلَى ذَلِكَ
Dijelaskan dalam kitab Fathul-Wadud (oleh Imam as-Sindi [w. 1138 H]): Zhahirnya perintah di sini bermakna mubah dan rukhshah dan itu yang sesuai dengan keadaan, karena pertanyaannya pastinya tentang kebolehan, maka yang mudah dipahami jawabannya menjelaskan kebolehan. Dipahami dari pendapat sebagian ulama bahwa perintah di sana menunjukkan sunat, tetapi itu terlalu jauh, karena sungguh sudah ada riwayat yang memuji orang yang meninggalkan berobat dan minta diruqyah karena tawakkal kepada Allah. Ya, sungguh Rasulullah saw juga pernah berobat itu untuk menjelaskan kebolehan. Siapa yang berniat mengikuti beliau saw maka ia akan diberi pahala atas hal itu (‘Aunul-Ma’bud bab fir-rajul yatadawa).
Riwayat yang dimaksud yang memuji orang yang tidak berobat karena tawakkal adalah hadits Ibn ‘Abbas ra yang sudah dibahas pada edisi “Masuk Surga Tanpa Dihisab”.
Penjelasan yang tidak jauh berbeda diungkapkan oleh Imam al-Mubarakfuri (w. 1353 H) dalam syarah Sunan at-Tirmidzi:
فِيهِ إِثْبَاتُ الطِّبِّ وَالْعِلَاجِ، وَأَنَّ التَّدَاوِي مُبَاحٌ غَيْرُ مَكْرُوهٍ. كَمَا ذَهَبَ إِلَيْهِ بَعْضُ النَّاسِ، قَالَهُ الْخَطَّابِيُّ. وَقَالَ الْعَيْنِيُّ : فِيهِ إِبَاحَةُ التَّدَاوِي وَجَوَازُ الطِّبِّ وَهُوَ رَدٌّ عَلَى الصُّوفِيَّةِ : أَنَّ الْوِلَايَةَ لَا تَتِمُّ إِلَّا إِذَا رَضِيَ بِجَمِيعِ مَا نَزَلَ بِهِ مِنْ الْبَلَاءِ ، وَلَا يَجُوزُ لَهُ مُدَاوَاتُهُ . وَهُوَ خِلَافُ مَا أَبَاحَهُ الشَّارِعُ اِنْتَهَى
Hadits ini mengukuhkan pengobatan dan penyembuhan dan bahwasanya berobat itu mubah, tidak makruh, sebagaimana diyakini sebagian orang, demikian al-Khaththabi (w. 338 H) menjelaskannya. Sementara Imam al-‘Aini (w. 855 H) menjelaskan: Hadits ini menjelaskan bolehnya berobat dan bolehnya mengobati, dan ini merupakan bantahan untuk kaum Sufi yang berkeyakinan bahwa kewalian itu tidak akan sempurna melainkan jika sudah sampai ridla dengan semua cobaan yang turun sehingga tidak boleh berobat. Hal seperti itu tentunya bertentangan dengan yang dibolehkan oleh pembuat syari’at. Demikianlah.
Wal-‘Llahu a’lam.