Sosial Politik

Suara Kebenaran vs Kepentingan Duniawi

Suara Kebenaran vs Kepentingan Duniawi

Sepanjang sejarah manusia, sebagaimana ditegaskan al-Qur`an, suara kebenaran akan selalu berlawanan dengan kepentingan duniawi. Mereka yang bebas dari kepentingan duniawi akan selalu lantang menyuarakan kebenaran. Sebaliknya mereka yang terpenjara kepentingan duniawi selalu tidak berani menyuarakan kebenaran. Umat Islam akan memilih yang mana; mengikuti suara kebenaran atau terpenjara dalam kepentingan duniawi dengan tidak ikut menyuarakan kebenaran?

Berapa pun besarnya keuntungan duniawi yang diperoleh, al-Qur`an selalu menyatakannya sebagai tsamanan qalilan (harga yang sangat murah) jika pilihannya harus dengan menyembunyikan kebenaran ataupun sengaja tidak memilih kebenaran. Baik itu jabatan Menteri, Wakil Menteri, anggota DPR/DPRD, pejabat eselon I-V, komisaris, staf ahli, saham perusahaan, hibah bantuan Negara, atau yang benar-benar murah sekali sekedar seratus dua ratus ribu, semuanya itu terhitung murahan menurut al-Qur`an karena harus mengorbankan nilai-nilai yang tinggi yaitu nilai-nilai kebenaran. Nilai kebenaran terlalu luhur untuk dipertukarkan dengan nilai duniawi karena kemanfaatannya berlaku sepanjang masa bahkan sampai kehidupan akhirat, sementara keuntungan duniawi hanya berlaku lima tahun, 10 tahun, atau maksimalnya sepanjang hidup seseorang di dunia, tidak akan bertahan lama sampai akhir masa kehidupan manusia di dunia, apalagi sampai masa pasca-dunia.

Setidaknya ada sembilan ayat al-Qur`an yang tegas menyebutkan semua keuntungan duniawi yang mengorbankan kebenaran itu tsamanan qalilan, yaitu: QS. al-Baqarah [2] : 41, 79, 174; Ali ‘Imran [3] : 77, 187, 199; al-Ma`idah [5] : 44; at-Taubah [9] : 9; dan an-Nahl [16] : 95. Mayoritas ayat-ayat di atas ditujukan kepada Yahudi dan Kristen yang mengorbankan nilai-nilai kebenaran yang diajarkan dalam kitab mereka karena ingin mendapatkan keuntungan duniawi dari umat mereka dan penguasa di zaman itu. Meski tentu saja tidak semuanya demikian, QS. Ali ‘Imran [3] : 199 menyebutkan sekelompok orang Kristen ada yang berani mengorbankan keuntungan duniawi demi memilih kebenaran dengan beriman secara benar. Sementara QS. at-Taubah [9] : 9 ditujukan kepada kaum musyrikin Arab dan kaum munafiq yang berani melanggar perjanjian gencatan senjata hanya karena menginginkan keuntungan duniawi. Dan QS. An-Nahl [16] : 95 ditujukan juga kepada umat Islam agar jangan mengorbankan janji dan komitmen demi keuntungan duniawi. Semua keuntungan duniawi yang dipilih dengan mengorbankan nilai kebenaran menurut al-Qur`an hanya tsamanan qalilan; nilai yang sangat murah.

Sorotan banyak ditujukan kepada Yahudi dan Kristen sebagai kaum yang mudah terbeli oleh kepentingan duniawi ini kemudian ditegaskan dalam berbagai ayat menjadi laknat bagi mereka.

لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ  ٧٨ كَانُواْ لَا يَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرٖ فَعَلُوهُۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ  ٧٩ تَرَىٰ كَثِيرٗا مِّنۡهُمۡ يَتَوَلَّوۡنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْۚ لَبِئۡسَ مَا قَدَّمَتۡ لَهُمۡ أَنفُسُهُمۡ أَن سَخِطَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِمۡ وَفِي ٱلۡعَذَابِ هُمۡ خَٰلِدُونَ  ٨٠

Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka sediakan untuk diri mereka, yaitu kemurkaan Allah kepada mereka; dan mereka akan kekal dalam siksaan. (QS. al-Ma`idah [5] : 78-80).

Sebuah teladan buruk dari Yahudi-Kristen yang sekaligus menjadi ancaman yang sama bagi umat Islam jika meneladani mereka. Ketika tidak berani nahyi munkar karena sudah tersandera kepentingan duniawi, malah dengan sadar memilih bergabung dengan orang-orang yang bejat, maka laknat yang sama akan berlaku juga bagi umat Islam.

Apa yang terjadi akhir-akhir ini di gelanggang perpolitikan nasional sungguh merupakan wujud nyata dari ajaran-ajaran al-Qur`an di atas. Ketika kemunkaran penguasa nyata terlihat, sebagian menjadi para pembela, penganjur untuk ikut bergabung, menjadi partisan dan simpatisan mereka, atau minimalnya diam menyikapi kemunkaran tersebut akibat tersandera kepentingan duniawi. Sebagiannya lagi tetap bersuara lantang menyerukan kebenaran dan menyatakan penolakan terhadap kemunkaran karena bebas dari kepentingan duniawi, bukan sebagai partisan kelompok mereka atau kelompok mana pun.

Suara kebenaran itu pertama kali dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas diloloskannya syarat capres cawapres di bawah 40 tahun. Proses pengambilan keputusan MK dinilai tidak wajar karena melibatkan intervensi kekuasaan melalui Ketua MK, Anwar Usman, yang merupakan paman dari cawapres yang akan diloloskan pencalonannya. Setelah melalui sidang yang seksama, pada tanggal 7 November 2023, Majelis memutuskan:

  1. Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama, Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan;
  2. Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor;

 

Putusan ini masih lebih ringan dibandingkan dengan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari hakim anggota Bintan R. Saragih yang mengharuskan pemberhentian dengan tidak hormat dari Mahkamah Konstitusi untuk Anwar Usman.

Keputusan MKMK ini di kemudian hari dikuatkan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dengan teradu Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang meloloskan pencalonan Gibran. Setelah melalui sidang yang seksama, pada tanggal 5 Februari 2024 Dewan memutuskan: “Menjatuhkan Sanksi Peringatan Keras” kepada seluruh Anggota KPU, dan khusus untuk Ketua KPU “Menjatuhkan Sanksi Peringatan Keras Terakhir” karena “terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu”. Meski kemudian proses tahapan Pemilu tidak bisa diundur apalagi dibatalkan, minimalnya suara kebenaran masih ada dan semoga didengar oleh rakyat yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran.

Setelah nyata pencalonan anak Presiden bermasalah secara etik, keberpihakan Presiden Jokowi dan beberapa Menterinya terhadap pasangan calon presiden tersebut memang terlalu vulgar dan telanjang. Hal ini tentunya bertentangan dengan nilai-nilai dan etika kenegarawanan, di mana semua pejabat dan ASN dilarang untuk memihak dan memberikan dukungan secara terbuka kepada salah satu capres atau caleg. Kehadiran Menteri-menteri dari sejak pendaftaran Capres, kemudian pada acara-acara Debat Capres Cawapres, kampanye, dan pernyataan-pernyataan terbuka di berbagai media membuat masyarakat sangsi akankah Pemilu dapat berjalan dengan jujur dan adil. Mengingat dari awal pencalonan sampai prosesnya pun terlihat ketidakadilan dari Pemerintah dalam penyelenggaraan Pemilu ini. Puncaknya pada pernyataan Presiden akhir Januari 2024 bahwa Presiden boleh berkampanye dan memihak dalam ajang Pilpres dan Pileg 2024 untuk paslon yang telah divonis melanggar etika oleh MKMK dan DKPP.

Para pejuang kebenaran tentu saja tidak tinggal diam, berbeda jauh dengan para pemuja kepentingan duniawi yang malah selalu membela dan membenarkan kesalahan penguasa, atau minimalnya terdiam seribu bahasa. Majelis Hukum dan HAM PP. Muhammadiyah pada 28 Januari 2024 menyampaikan peringatan:

  1. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak.
  2. Meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara. Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.

 

Suara kebenaran ini kemudian disampaikan juga oleh para Guru Besar dari berbagai Perguruan Tinggi. Dimulai dari Petisi Indonesia Darurat Kenegarawanan yang disampaikan Sivitas Akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 1/2/2024. Berturut-turut kemudian para Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta melalui Petisi Bulaksumur pada 3/2/2024; Guru Besar dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta melalui Genderang Universitas Indonesia Bertalu Kembali pada 3/2/2024; dan Petisi Seruan Padjadjaran yang disampaikan para Guru Besar Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung pada 3/2/2024. Setelah itu kemudian semakin banyak Perguruan Tinggi yang menyerukan suara kebenaran yang sama, bahwa Pemerintahan Jokowi sedang membawa Negara ini pada jalan yang salah. Para Guru Besar itu bebas menyuarakan kebenaran pastinya karena mereka tidak terpenjara oleh kepentingan duniawi dan kekuasaan sebagaimana halnya para Guru Besar dan tokoh politik yang selalu membela dan membenarkan penguasa serta pasangan calon presiden yang mereka dukung.

Semua fakta ini seharusnya menjadi pertimbangan yang jelas bagi setiap muslim untuk memilih bergabung ke mana; mengikuti para penganjur kebenaran ataukah tetap menjadi partisan dan simpatisan kubu yang jelas-jelas menyimpang dari kebenaran. Ataukah akan ikut menyuarakan kebenaran atau justru masih akan terdiam seribu bahasa karena tersandera kepentingan duniawi?

Nasta’in bil-‘Llah wa Huwal-Musta’an.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button