Meskipun pengukuhan khalifah ‘Abdul-Malik ibn Marwan tidak terlepas dari pertumpahan darah yang dilakukan panglima kejamnya, al-Hajjaj, shahabat mulia ‘Abdullah ibn ‘Umar ra tetap menyatakan berbai’at kepadanya berdasarkan tuntutan sunnah Nabi ﷺ . Meskipun banyak melanggar etika dan hukum, tetapi karena ‘Abdul-Malik saat itu satu-satunya Khalifah pemenang, maka sesuai tuntunan sunnah, umat Islam menyatakan berbai’at kepadanya.
Shahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar ra (10 SH-73 H/613-692 M) di masa konflik politik ‘Abdul-Malik ibn Marwan (26-86 H) dengan ‘Abdullah ibnuz-Zubair ra (1-73 H), termasuk shahabat senior yang usianya 83 tahun ketika konflik berakhir dengan dibunuhnya ‘Abdullah ibnuz-Zubair oleh al-Hajjaj ibn Yusuf ats-Tsaqafi (40-95 H). Meski semula bersimpati kepada ‘Abdullah ibnuz-Zubair ra dan pada saat itu juga berada di ujung usianya, ‘Abdullah ibn ‘Umar ra tetap menyempatkan mengirimkan surat kepada khalifah ‘Abdul-Malik ibn Marwan untuk menyatakan bai’at kepadanya. Surat ‘Abdullah ibn ‘Umar ra tersebut didokumentasikan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih al-Bukhari sebagai berikut:
قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ شَهِدْتُ ابْنَ عُمَرَ حَيْثُ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَى عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ كَتَبَ إِنِّي أُقِرُّ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِعَبْدِ اللَّهِ عَبْدِ الْمَلِكِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى سُنَّةِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ مَا اسْتَطَعْتُ وَإِنَّ بَنِيَّ قَدْ أَقَرُّوا بِمِثْلِ ذَلِكَ
‘Abdullah ibn Dinar berkata: Aku menyaksikan Ibn ‘Umar ketika rakyat bersatu di bawah ‘Abdul-Malik, ia berkata dalam suratnya: “Aku berikrar tunduk dan patuh kepada hamba Allah ‘Abdul-Malik pemimpin kaum mukminin berdasarkan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya selama aku mampu. Dan sungguh putra-putraku berikrar hal yang sama.” (Shahih al-Bukhari kitab al-ahkam bab kaifa yubayi’ul-imamun-nas no. 7203).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa surat di atas ditulis oleh Ibn ‘Umar ra ketika beliau masih di Makkah selepas ibadah haji tahun 72 H dan setelah ‘Abdullah ibnuz-Zubair ra dibunuh al-Hajjaj pada Jumadil-Ula 73 H. Pada tahun 72 H di awal pengepungan al-Hajjaj atas tanah Makkah untuk mempersempit ruang gerak ‘Abdullah ibnuz-Zubair ra dan pasukannya, Ibn ‘Umar ra bersikukuh ingin melaksanakan ibadah haji meski saat itu disarankan untuk tidak berangkat oleh putra-putranya mengingat situasi konflik politik yang sedang genting (Shahih al-Bukhari bab thawaf al-qarin no. 1640 dan bab at-tahjir bir-rawah yaum ‘Arafah no. 1660). Pada saat ibadah haji itu, ‘Abdullah ibn ‘Umar ra terkena tombak beracun yang dipasang oleh pasukan al-Hajjaj sehingga ia jatuh sakit dan tidak pulang ke Madinah hingga wafatnya di Makkah (Shahih al-Bukhari bab ma yukrahu min hamlis-silah fil-‘id wal-haram no. 966 dan Fathul-Bari bab kaifa yubayi’ul-imamun-nas). Menjelang wafatnya itulah ‘Abdullah ibn ‘Umar ra masih menyempatkan diri untuk menyatakan bai’atnya kepada ‘Abdul-Malik ibn Marwan ra melalui secarik surat yang kemudian dikirimkan ke Damaskus, Suriah.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ حِينَ أَصَابَهُ سِنَانُ الرُّمْحِ فِي أَخْمَصِ قَدَمِهِ فَلَزِقَتْ قَدَمُهُ بِالرِّكَابِ فَنَزَلْتُ فَنَزَعْتُهَا وَذَلِكَ بِمِنًى فَبَلَغَ الْحَجَّاجَ فَجَعَلَ يَعُودُهُ فَقَالَ الْحَجَّاجُ لَوْ نَعْلَمُ مَنْ أَصَابَكَ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ أَنْتَ أَصَبْتَنِي قَالَ وَكَيْفَ قَالَ حَمَلْتَ السِّلَاحَ فِي يَوْمٍ لَمْ يَكُنْ يُحْمَلُ فِيهِ وَأَدْخَلْتَ السِّلَاحَ الْحَرَمَ وَلَمْ يَكُنْ السِّلَاحُ يُدْخَلُ الْحَرَمَ
Dari Sa’id ibn Jubair, ia berkata: Aku bersama Ibn ‘Umar ketika ia terkena mata tombak pada lekukan telapak kakinya sehingga kakinya melekat di kendaraannya. Aku turun dan mencabutnya, saat itu sedang berada di Mina. Lalu sampai berita ini kepada al-Hajjaj dan ia pun menjenguk Ibn ‘Umar. Al-Hajjaj berkata: “Seandainya saja kami tahu siapa yang melukai anda.” Ibn ‘Umar ra menjawab: “Anda yang telah melukai saya.” Al-Hajjaj bertanya: “Bagaimana bisa?” Ibn ‘Umar berkata: “Anda telah membawa senjata pada hari tidak boleh dibawa senjata, dan anda yang membawa senjata masuk ke tanah Haram padahal senjata tidak boleh dibawa masuk ke tanah Haram.” (Shahih al-Bukhari bab ma yukrahu min hamlis-silah fil-‘id wal-haram no. 966)
Penekanan Ibn ‘Umar ra bahwa bai’at itu didasarkan pada sunnah merujuk fakta yang disebutkan ‘Abdullah ibn Dinar di atas:
حَيْثُ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَى عَبْدِ الْمَلِكِ
“…ketika rakyat bersatu di bawah ‘Abdul-Malik…”
Sebelumnya, Ibn ‘Umar ra pernah diminta berbai’at kepada ‘Abdullah ibnuz-Zubair ra, tetapi ia menolaknya dengan berkata:
وَاللهِ مَا كُنْتُ لِأُعْطِيَ بَيْعَتِي فِي فُرْقَةٍ وَلَا أَمْنَعَهَا مِنْ جَمَاعَةٍ
“Demi Allah, saya tidak mungkin memberikan bai’atku dalam situasi perpecahan umat (menentukan khalifah), tetapi saya tidak akan menolaknya dalam situasi rakyat sudah bersatu (mengikuti seorang khalifah).” (Fathul-Bari bab kaifa yubayi’ul-imamun-nas).
Langkah yang diambil Ibn ‘Umar ra tersebut sesuai dengan sunnah yang Nabi saw ajarkan bahwa khalifah yang dibai’at itu harus satu dan tidak boleh ada dua khalifah atau lebih. Sunnah mengajarkan ketika ada dua khalifah yang dibai’at, maka yang sah itu khalifah yang pertama, sementara khalifah yang baru statusnya tidak sah.
وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Akan ada para khalifah dan jumlah mereka banyak.” Para shahabat bertanya: “Apa yang akan engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: “Sempurnakanlah bai’at yang pertama dan permulaan. Berikanlah kepada mereka (pemimpin yang dibai’at) hak mereka. Karena sungguh Allah akan meminta pertanggungjawaban kepemimpinan mereka.” (Shahih al-Bukhari kitab ahaditsil-anbiya bab ma dzukira ‘an Bani Isra`il no. 3455).
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الآخَرَ مِنْهُمَا
“Apabila dua khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang terakhir dari mereka.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab idza buyi’a li khalifataini no. 4905).
Tetapi dalam situasi konflik di mana tidak bisa ditentukan mana khalifah yang pertama dan kedua, maka umat harus berlepas diri dari semua kelompok pendukung khalifah yang sedang berkonflik tersebut hingga kemudian jelas siapa yang disepakati berhak menjadi khalifah.
قَالَ: تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ. قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ، حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ.
“Pertahankan jama’ah umat Islam dan imamnya.” Aku bertanya: “Kalau tidak ada jama’ah dan imamnya?” Beliau menjawab: “Tinggalkan semua kelompok yang sesat itu, walau kamu harus menggigit akar pohon sampai datangnya kematian kepadamu, kamu tetap dalam keadaan seperti itu.” (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab kaifa al-amru idza lam takun jama’ah wala imam no. 6557).
Dalam riwayat at-Thabrani, nasihat dari Nabi saw kepada Hudzaifah itu redaksinya:
فَإِنْ رَأَيْت خَلِيفَة فَالْزَمْهُ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرك فَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَلِيفَة فَالْهَرَب
Jika kamu menemukan khalifah, maka bergabunglah bersamanya, meski khalifah itu memukul punggungmu (zhalim). Tetapi jika tidak ada khalifah, maka larilah (Fathul-Bari kitab al-fitan bab kaifa al-amru idza lam takun jama’ah wala imam).
Jadi bagaimanapun khalifahnya, meski ia zhalim dan banyak melanggar hukum atau etika, umat Islam tetap harus luzum (setia) mengikutinya dan berbai’at kepadanya. Sesuai dengan tuntunan Nabi saw dalam hadits lain yang juga diriwayatkan dari Ibn ‘Umar ra:
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa yang melepaskan tangan (kesetiaan) dari taat (kepada khalifah) ia akan bertemu Allah pada hari kiamat dengan tidak bisa membela diri. Siapa yang mati dengan tidak ada bai’at di lehernya maka matinya seperti Jahiliyyah (Shahih Muslim bab al-amr bi luzumil-jama’ah no. 4899)
Dari pernyataan bai’at Ibn ‘Umar ra kepada ‘Abdul-Malik ibn Marwan di atas diketahui bahwa sunnah Nabi saw tidak memedulikan apakah khalifah yang disepakati itu menjadi khalifah lewat musyawarah sebagaimana zaman Nabi saw dan shahabat ataukah lewat konflik bersenjata sebagaimana terjadi di masa-masa berikutnya. Atau dengan kata lain, tidak peduli apakah khalifah yang diangkat itu terpilih melalui proses yang benar ataukah melalui proses yang tidak benar dan banyak melanggar etika serta hukum. Yang jelas, ketika seseorang dipaksakan menjadi khalifah—atau Presiden dalam konteks Indonesia hari ini—dan ia menjadi pemenang, maka ia absah untuk menjadi seorang pemimpin rakyat dan berhak diakui kepemimpinannya berdasarkan sunnah Nabi saw ini. Wal-‘Llahu a’lam.