Para mahasiswa dan dosen di Universitas-universitas Amerika berdemonstrasi terus menerus memprotes keras kebijakan Universitas mereka yang bekerja sama dengan Israel. Para aktivis kemanusiaan di Eropa, Jepang, Korea, dan belahan dunia lainnya menyerukan boikot produk-produk yang mendukung genosida Israel. Iran yang notabene negara Syi’ah beserta kelompok-kelompok militan binaannya di Yaman, Lebanon, Suriah, dan Irak berani menyerang Israel. Lalu mengapa umat dan negara-negara Islam masih setengah hati melawan Israel? Apakah mereka lebih hina daripada orang-orang kafir?
Ilan Pappe, sejarawan berkewarganegaraan Israel, pada tahun 2006 silam menulis buku The Ethnic Cleansing of Palestine (pembersihan etnis di Palestina). Ilan Pappe secara jujur mengakui bahwa dirinya dan bangsa Israel pada umumnya—bahkan termasuk masyarakat Barat secara lebih luas—adalah korban dari kesalahan pengajaran sejarah seputar peristiwa Nakba tahun 1948. Dalam pengajaran sejarah versi Israel, tanggal 14 Mei 1948 adalah hari bersejarah bagi negara Israel, karena pada hari itu mereka berhasil melepaskan dirinya dari penjajahan bangsa Arab dan memenangi perang Arab-Israel sekaligus memenuhi janji suci dari ajaran Yahudi untuk mendiami Eretz Israel (Tanah Israel) dengan memproklamasikan berdirinya negara Israel. Padahal kenyataannya, terang Pappe, yang terjadi adalah pembersihan etnis Palestina; penjajahan, pembantaian, perampasan, dan pengusiran sekitar 800.000 rakyat Palestina dari tanah air mereka. Sebuah peristiwa yang kemudian dikenang sebagai nakbah (bencana, malapetaka, kemalangan) oleh bangsa Palestina dan diperingati pada tanggal 15 Mei setiap tahunnya. Sejarah yang berdarah-darah dari Israel ini selalu ditutup-tutupi oleh narasi resmi Israel kepada warga dunia.
Menurut Ulil Abshar Abdalla dalam cuitannya di Twitter/X akhir April silam, keberanian Pappe membongkar sejarah berdirinya negara Israel ini menyebabkannya terusir dari negaranya sendiri. Pappe kehilangan pekerjaannya di Israel dan kini tinggal di Inggris mengajar di Universitas Exeter. Ia sendiri meraih gelar Ph.D dari Universitas Oxford di bawah bimbingan pakar sejarah Arab dari Lebanon, Prof. Albert Hourani. Pappe mengakui bahwa Prof. Hourani telah mengajaknya berpikir lurus dan jujur tentang sejarah Arab dan Israel.
Pappe dalam berbagai kesempatan sering menyampaikan optimismenya bahwa kelak akan banyak lahir generasi baru dari Israel dan Barat yang tersadarkan akan sejarah sebenarnya dari Israel, sehingga mereka bisa bersikap jujur tentang bagaimana memberikan hak-hak hidup yang layak bagi bangsa Palestina yang merupakan penduduk asli di bumi Palestina.
Pappe mencontohkan kasus Afrika Selatan yang selama berpuluh-puluh tahun menerapkan sistem apharteid; memberikan hak istimewa kepada warga berkulit putih yang minoritas dalam hal politik, ekonomi, dan sosial sehingga mereka selalu menjadi penguasanya, dengan tidak memberikan hak yang sama kepada warga asli Afrika berkulit hitam. Sistem apharteid di Afrika Selatan berlangsung dari tahun 1948 (pasca Perang Dunia II) sampai 1991. Sistem apharteid mirip dengan zinoisme yang dibangun Israel. Dibangun di atas indoktrinasi bahwa warga berkulit putih penduduk sah Afrika Selatan dan berhak menguasai politik, ekonomi, dan sosial karena mereka memiliki sumber daya manusia dan alam di Afrika. Sementara warga berkulit hitam tidak memiliki hak yang sama karena mereka masyarakat terbelakang dan tidak memiliki sumber daya manusia dan alam. Pemimpin gerakan protes apharteid, Nelson Mandela, bahkan harus mendekam di penjara dari tahun 1962 sampai 11 Februari 1990. Dengan perjuangan gigih bangsa Afrika untuk menyadarkan masyarakat Afrika dan termasuk dunia tentang sejarah sebenarnya dari bangsa Afrika, akhirnya Pemerintah Afrika Selatan dan masyarakat dunia pun mendukung penghapusan sistem apharteid di Afrika Selatan.
Optimisme yang dihembuskan Pappe tersebut akhir-akhir ini mulai memperlihatkan perkembangannya yang cukup signifikan. Negara-negara Barat yang merupakan penyokong utama Israel banyak dihujat oleh rakyatnya sendiri melalui demontsrasi besar-besaran, bahkan oleh mahasiswa dan dosen di perguruan tinggi ternama di negara mereka. Pemerintah Negara-negara Barat mulai dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, dan negara-negara Eropa lainnya banyak dihujat oleh rakyatnya karena membiarkan genosida yang dilakukan Israel di bumi Palestina. Mereka yang memiliki kekuasaan veto di PBB tampak jelas selalu memveto setiap keputusan untuk menghentikan kekerasan Israel terhadap warga Palestina. Kondisi itu diperparah dengan adanya kerja sama erat dari perguruan tinggi di Barat dengan Israel. Maka masyarakat Barat hari ini banyak yang memberanikan turun ke jalan menyuarakan penghentian genosida Israel atas warga Palestina ini.
Di beberapa belahan negara lainnya seperti Australia, Spanyol, Jepang, dan Korea gerakan yang menyeru boikot produk-produk yang berafiliasi ke Israel juga sangat bergema. Mereka yang notabene mayoritas kafir kini bersama-sama dengan umat muslim sedunia bergerak semaksimal mungkin untuk menghentikan genosida Israel atas bangsa Palestina yang sudah berlangsung 76 tahun lamanya.
Negara Iran dengan kelompok-kelompok militan binaan mereka di Yaman (Houthi), Lebanon (Hizbullah), Suriah, dan Irak (Hashd as-Sha’abi) bahkan telah berani menyerang Israel dengan senjata. Yaman malah berani berperang di laut dengan armada Israel dan Amerika serta bersikeras memblokade pelayaran kapal-kapal yang menuju Israel demi menghentikan genosida Israel atas bangsa Palestina.
Optimisme akan kesadaran masyarakat dunia untuk mendukung Palestina memang tampaknya masih jauh dari kemerdekaan bangsa Palestina sebagaimana yang diharapkan. Salah satunya seperti yang pernah ditulis pada edisi “Keresahan Pendidik Barat Akibat Hamas” (https://attaubah-institute.com/keresahan-pendidik-barat-akibat-hamas/) mayoritas masyarakat Barat masih tetap mengonotasikan Israel sebagai negara sah yang berhak hidup di bumi Palestina dan para penentangnya adalah teroris yang harus dibasmi sampai akar-akarnya. Perjuangan untuk menyadarkan mereka bahwa kenyataan sejarah itu bohong dan malah yang terjadi sebaliknya masih terjal dan panjang. Meski demikian optimisme untuk keberhasilan perjuangan harus tetap ada karena memang perubahan di masyarakat Barat itu sendiri saat ini sudah mulai ada. Tinggal dilanjutkan dengan perjuangan yang tiada henti, sebagaimana halnya perjuangan bangsa Afrika menentang sistem apharteid, sehingga semua mata terbelalak bahwa sejarah berdirinya Israel adalah genosida dan itu yang terus berlangsung sampai sekarang.
Umat Islam tidak perlu risih apalagi resah dengan gerakan nyata dari kaum kafir dalam mendukung Palestina yang mayoritasnya beragama Islam Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Kalaupun ada sinisme, cukup disimpan saja dalam hati, tidak boleh sampai menahan tangan dari uluran bantuan mereka, apalagi sampai berpangku tangan menyaksikan kaum kafir bergerak massif mendukung Palestina. Umat Islam dalam hal ini jangan berakhlaq dengan akhlaq orang kafir yang berkata:
وَقَالَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَوۡ كَانَ خَيۡرٗا مَّا سَبَقُونَآ إِلَيۡهِۚ وَإِذۡ لَمۡ يَهۡتَدُواْ بِهِۦ فَسَيَقُولُونَ هَٰذَآ إِفۡكٞ قَدِيمٞ ١١
Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya Al-Quran itu sesuatu yang baik, tentu mereka tidak pantas mendahului kami (beriman) kepadanya.” Tetapi karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS. Al-Ahqaf [46] : 11)
Hanya karena kalah start oleh orang-orang kafir, akibatnya memilih diam tidak ikut berlari bersama mereka, dan kemudian melempar tuduhan-tuduhan busuk bahwa itu semua jelek dan melarang ikut bergerak bersama orang-orang kafir itu. Keyakinan bahwa orang-orang kafir adalah kafir—termasuk bahwa Syi’ah mayoritasnya kafir karena telah berani mengkafirkan shahabat dan Ahlus-Sunnah secara umum—tidak boleh sedikit pun luntur dari aqidah umat Islam. Akan tetapi keyakinan tersebut tidak boleh disertai kebencian kepada orang-orang kafir sehingga enggan bekerja sama dan berkolaborasi dengan mereka dalam hal yang jelas-jelas masuk kategori kebaikan dan taqwa. Dalam hal ini Allah swt sudah mengingatkan:
وَلَا يَجۡرِمَنَّكُمۡ شَنَئَانُ قَوۡمٍ أَن صَدُّوكُمۡ عَنِ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ أَن تَعۡتَدُواْۘ وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢
“…Jangan sampai kebencian(mu) kepada suatu kaum karena mereka menghalang-halangimu dari Masjidilharam mendorongmu berbuat melampaui batas (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Bertaqwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Ma’idah [5] : 2)
Yang justru harus jadi evaluasi umat Islam, jika orang-orang kafir saja hanya dengan berlandaskan “kemanusiaan” berani total mendukung Palestina, maka mengapa umat Islam yang landasannya iman terkadang masih meragukan gerakan boikot produk-produk yang mendukung Israel? Apakah sudah tidak tersisa lagi keimanan dalam hati? Atau bahkan sudah tidak ada sama sekali rasa kemanusiaan dalam diri? Peringatan dari Nabi saw berikut harus benar-benar dicamkan:
مَا مِنْ نَبِىٍّ بَعَثَهُ اللَّهُ فِى أُمَّةٍ قَبْلِى إِلاَّ كَانَ لَهُ مِنْ أُمَّتِهِ حَوَارِيُّونَ وَأَصْحَابٌ يَأْخُذُونَ بِسُنَّتِهِ وَيَقْتَدُونَ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِنَّهَا تَخْلُفُ مِنْ بَعْدِهِمْ خُلُوفٌ يَقُولُونَ مَا لاَ يَفْعَلُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لاَ يُؤْمَرُونَ فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Tidak ada seorang Nabi yang Allah utus dalam satu umat sebelumku melainkan akan ada dari umatnya yang menjadi hawari dan ashhab (pendukung dan penyokong) yang mengambil sunnahku dan mengikuti perintahku. Kemudian sesudah itu akan lahir beberapa generasi yang berkata apa yang tidak mereka kerjakan dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan. Siapa yang berjihad melawan mereka dengan tangannya maka dia mukmin. Siapa yang berjihad melawan mereka dengan lisannya maka dia mukmin. Siapa yang berjihad melawan mereka dengan hatinya maka dia mukmin. Dan tidak ada keimanan sebesar biji sawi pun di belakang itu (Shahih Muslim bab bayan kaunin-nayi ‘anil-munkar minal-iman no. 188).
Yahudi Israel hari ini jelas keturunan Nabi Ya’qub dan para Nabi lainnya. Mereka telah berani bertindak sewenang-wenang di Palestina. Jika tidak ada jihad dari umat Islam dengan apapun untuk melawan mereka, maka berarti sudah tidak tersisa keimanan dalam diri mereka. Bahkan mungkin orang-orang kafir yang mendukung Palestina pun masih lebih terhormat daripada umat Islam yang enggan berjihad. Wal-‘Llahu a’lam