Sikap Amanah ‘Abdullah ibnuz-Zubair
‘Abdullah benar-benar memegang teguh amanah dari ayahnya, az-Zubair ibnul-‘Awwam, untuk melunasi semua utangnya sepeninggalnya. Ia sampai banting tulang mengembangkan terlebih dahulu harta warisan dari ayahnya untuk dibayarkan utang-utangnya. Bahkan ia sampai menunda pembagian waris selama 4 tahun hanya untuk mengumumkan di setiap musim haji siapa-siapa saja orangnya yang memiliki piutang dari ayahnya dan akan segera dilunasi olehnya.
Az-Zubair ibnul-‘Awwam disebut oleh Rasul ﷺ sebagai hawari beliau; sang penolong utamanya. Az-Zubair termasuk shahabat yang masuk Islam di masa awal dan salah satu yang dijanjikan akan masuk surga. Ia adalah menantu Abu Bakar as-Shiddiq dari pernikahannya dengan Asma` binti Abu Bakar, yang berarti juga saudara ipar Rasulullah ﷺ karena sama sebagai menantu Abu Bakar as-Shiddiq dari pernikahannya dengan ‘Aisyah y ajma’in.
‘Abdullah ibnuz-Zubair adalah putra pertamanya yang lahir pada tahun pertama hijrah. Ia adalah shahabat muda dari kaum muhajirin yang pertama kali lahir di Madinah. Pada usia 7 tahun ia sudah disuruh berbai’at kepada Rasulullah ﷺ oleh ayahnya, dan beliau pun kemudian membai’atnya. Ia termasuk panitia pembukuan al-Qur`an yang ditunjuk oleh ‘Utsman ibn ‘Affan dengan Zaid ibn Tsabit sebagai ketuanya. Di masa-masa fitnah (ketidakjelasan pemerintahan) pada tahun 64-73 H, ia pernah dibai’at oleh penduduk Makkah, Madinah, Yaman, Mesir, Khurasan, Irak dan sebagian Syam sebagai Khalifah, sampai kemudian dikalahkan oleh ‘Abdul-Malik ibn Marwan dari Bani Umayyah (keluarga ‘Utsman ibn ‘Affan atau Mu’awiyah) dan wafat pada tahun 73 H (Siyar A’lamin-Nubala`).
Menjelang wafatnya, az-Zubair berwasiat kepada putra tertuanya itu:
وَإِنَّ مِنْ أَكْبَرِ هَمِّي لَدَيْنِي أَفَتُرَى يُبْقِي دَيْنُنَا مِنْ مَالِنَا شَيْئًا فَقَالَ يَا بُنَيِّ بِعْ مَالَنَا فَاقْضِ دَيْنِي …وَيَقُولُ يَا بُنَيِّ إِنْ عَجَزْتَ عَنْهُ فِي شَيْءٍ فَاسْتَعِنْ عَلَيْهِ مَوْلَايَ
Sungguh di antara perhatian terbesarku adalah utangku. Menurutmu apakah utangku akan masih menyisakan harta kita? Wahai anakku, juallah harta kita dan lunasi utangku… Wahai anakku, jika kamu merasa lemah dari melunasi utang maka mintalah bantuan kepada Maulaku.
‘Abdullah semula tidak tahu apa yang dimaksud maula (keluarga dari pembebasan hamba sahaya atau anak yatim) oleh ayahnya itu, sebab setahu ia, ayahnya tidak punya maula. Setelah dikonfirmasi, az-Zubair menjawab: “Allah.” ‘Abdullah pun menuturkan:
فَوَاللَّهِ مَا وَقَعْتُ فِي كُرْبَةٍ مِنْ دَيْنِهِ إِلَّا قُلْتُ يَا مَوْلَى الزُّبَيْرِ اقْضِ عَنْهُ دَيْنَهُ فَيَقْضِيهِ
“Demi Allah, aku tidak pernah mengalami kesulitan dalam melunasi utangnya kecuali aku berdo’a: ‘Wahai Maula az-Zubair, mohon lunasi utangnya.” Maka Allah swt pun selalu melunasinya.”
Utang az-Zubair setelah diperhitungkan semuanya oleh ‘Abdullah, ternyata berjumlah 2.200.000 dinar. Jika 1 dinar itu sama dengan 4,5 gram emas dan harga emas 1 gram Rp. 500.000,-, berarti utang az-Zubair jika dinominalkan hari ini berjumlah Rp. 4,95 triliun. Akan tetapi utang itu bukan karena az-Zubair konsumtif atau senang meminjam uang, sebagaimana dijelaskan ‘Abdullah:
وَإِنَّمَا كَانَ دَيْنُهُ الَّذِي عَلَيْهِ أَنَّ الرَّجُلَ كَانَ يَأْتِيهِ بِالْمَالِ فَيَسْتَوْدِعُهُ إِيَّاهُ فَيَقُولُ الزُّبَيْرُ لَا وَلَكِنَّهُ سَلَفٌ فَإِنِّي أَخْشَى عَلَيْهِ الضَّيْعَةَ
Hanyasanya utangnya itu karena sungguh seseorang datang membawa harta dan menitipkannya kepadanya, tetapi az-Zubair selalu menjawab: “Bukan titipan, sudah sebagai pinjamanku (yang nanti akan aku bayar) saja, karena aku khawatir akan hilang.”
Itu berarti az-Zubair dipercaya semacam “bankir” yang amanah oleh para shahabat. Jadi utang yang sebanyak itu adalah tabungan para shahabat yang dititipkan kepadanya dan belum diambil kembali.
Ketika wafat, az-Zubair tidak meninggalkan harta berupa uang dinar (emas) atau dirham (perak). Ia hanya meninggalkan 15 rumah; 11 di Madinah, 2 di Bashrah, 1 di Kufah, dan 1 di Mesir, dan satu hutan/gunung. Ahli waris yang ditinggalkannya adalah 4 istri, 9 orang putra, dan 9 orang putri. Semula para shahabat yang menitipkan hartanya di az-Zubair, seperti Hakim ibn Hizam, ‘Abdullah ibn Ja’far, dan Mu’awiyah, sudah menyerahkan kepada ‘Abdullah bagaimana baiknya. Jika memang tidak mampu melunasinya, tidak perlu memaksakan. Bahkan Hakim ibn Hizam sampai menawarkan bantuan sebaliknya, jika memang harus dibayarkan utang ayahnya olehnya, maka Hakim siap membantu membayarkannya. Akan tetapi ‘Abdullah berusaha konsisten memegang amanah ayahnya untuk melunasi semua utang-utangnya. Dengan selalu bergantung sepenuhnya kepada Allah—sebagaimana diwasiatkan ayahnya—ia kemudian mengembangkan harta warisan dari ayahnya dengan memperjualbelikannya dan hasil dari jual beli tersebut dibayarkan utang-utang ayahnya, sehingga terlunasi semua utangnya. Hisyam—keponakan az-Zubair yang menjadi rawi hadits ini—menerangkan, dari harta warisan az-Zubair yang sudah dikembangkan itu semuanya menjadi berjumlah 50.200.000 dinar (sekitar Rp. 112, 95 triliun).
Saudara-saudara ‘Abdullah pun kemudian bertanya kepadanya, mengapa harta warisan az-Zubair yang sudah terlunasi utangnya itu tidak kunjung dibagikan kepada mereka, ‘Abdullah menjawab:
وَاللَّهِ لَا أَقْسِمُ بَيْنَكُمْ حَتَّى أُنَادِيَ بِالْمَوْسِمِ أَرْبَعَ سِنِينَ أَلَا مَنْ كَانَ لَهُ عَلَى الزُّبَيْرِ دَيْنٌ فَلْيَأْتِنَا فَلْنَقْضِهِ قَالَ فَجَعَلَ كُلَّ سَنَةٍ يُنَادِي بِالْمَوْسِمِ فَلَمَّا مَضَى أَرْبَعُ سِنِينَ قَسَمَ بَيْنَهُمْ
“Demi Allah, aku tidak akan membagikannya dahulu kepada kalian hingga aku mengumumkan pada musim haji selama 4 tahun: ‘Wahai siapa saja yang mempunyai piutang kepada az-Zubair silahkan datang kepada kami, akan kami lunasi!” Kata Hisyam: ‘Abdullah mengumumkan setiap tahun pada musim haji. Setelah lewat empat tahun barulah ia membagikan harta warisan itu.
Hadits ‘Abdullah ibnuz-Zubair di atas diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya no. 1982 bab barakatil-ghazi fi malihi hayyan wa mayyitan ma’an-Nabiy r wa wulatil-umur; barakah orang yang berperang bersama Nabi ﷺ dan para ulil-amri dalam hartanya, baik ketika hidup bahkan sampai sesudah mati. Itu didasarkan oleh Imam al-Bukhari pada penuturan ‘Abdullah ibnuz-Zubair sendiri dalam hadits di atas bahwa hutan dan 15 rumah yang dimiliki ayahnya tersebut bukan karena ia pernah menjadi pejabat ataupun petugas pemerintahan, melainkan hanya ghanimah atas statusnya sebagai pasukan biasa. Meski demikian itu jadi barakah (kebaikan sepenuhnya), baik ketika hidup dengan berkecukupan, dan sesudah meninggal dengan memberikan warisan yang banyak kepada keluarganya.
Di sini terlihat jelas juga bagaimana barakah dari anak shalih itu, yang selalu siap menjalankan amanah orangtuanya dan menghilangkan beban mereka. Jika pada umumnya anak-anak selalu menjadi beban orangtua dan menyebabkan orangtua banyak utang, bahkan harta warisan pun sering tidak tersisa karena sudah habis dimakan oleh anak-anak, atau ketika meninggal bukannya mengurus utang orangtuanya tetapi malah meributkan harta warisannya, maka ‘Abdullah ibnuz-Zubair adalah prototipe sebaliknya. Ia tidak menjadi beban bagi orangtuanya, melainkan sanggup memikul semua beban utang orangtuanya meski dalam jumlah yang tidak sedikit. Ia juga menjadi pemimpin teladan bagi saudara-saudaranya dalam hal mengambil alih tanggung jawab kepemimpinan keluarga dan kepengurusan seluruh asetnya. Amanah yang tertanam dalam dirinya merupakan buah teladan dari ayahnya juga yang sudah sejak lama dipercaya oleh para shahabat sebagai “bankir” yang selalu mampu mengembalikan semua tabungan nasabahnya.
Dalam sirah (riwayat hidup) ‘Abdullah ibnuz-Zubair ini terlihat juga bagaimana pemahaman ayah dan anak akan kewajiban melunasi utang, dan itu yang harus dijadikan perhatian utama setelah seseorang meninggal dunia. Selain itu juga terlihat jelas kebenaran sabda Nabi saw berikut:
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
Siapa yang mengambil harta orang untuk dikembalikan lagi, maka Allah akan menjadikannya mampu mengembalikannya. Dan siapa yang mengambil harta dengan niat menghabiskannya, maka Allah akan menghabiskannya (Shahih al-Bukhari bab man akhadza amwalan-nas yuridu ada`aha au itlafaha no. 2387).
Para ulama menyatakan bahwa berutang itu tidak tercela. Yang tercela itu niat untuk tidak melunasinya atau keyakinan bahwa ia tidak mampu melunasinya. Sebab sepanjang seseorang yakin dapat melunasinya, dan sudah barang tentu ia akan bergantung kuat kepada Allah swt dalam berusaha melunasinya, pasti Allah swt akan menjadikannya mampu melunasi utang-utangnya. Wal-‘Llahu a’lam.