Hukum Bermain dan Bernyanyi di Masjid

Bismillaah. Ustadz maaf, selama Ramadlan pembelajaran dilaksanakan di masjid. Jika ada icebreaking/games di dalam masjid apa boleh? Untuk hafalan rukun iman, rukun islam, dan semacamnya bagi anak umur 3-6 tahun ada beberapa hafalan yang dinyanyikan, apa boleh dilaksanakan di masjid? 0822-6289-xxxx
Dalam Bulughul-Maram bab al-masajid al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan hadits ‘Aisyah ra riwayat al-Bukhari Muslim yang menunjukkan masjid boleh dijadikan tempat bermain anak-anak sebagai berikut:
وَعَنْهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَسْتُرُنِي وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ اَلْحَدِيثَ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dan darinya (‘Aisyah) ra ia berkata: “Aku mengetahui Rasulullah saw menghalangiku ketika aku sedang melihat orang-orang Habasyah tengah bermain di dalam masjid…” Disepakati keshahihannya.
Tentunya kembali ke dalil umum tidak boleh mengganggu kegiatan ibadah di masjid. Permainan itu boleh dilakukan di saat tidak ada yang berkegiatan ibadah di masjid.
Sementara terkait bernyanyi di masjid ada hadits yang melarang secara umum dan ada hadits yang memberikan keringanan. Berikut dua hadits yang dimaksud:
عَنْ عَمْرِو بن العاص أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ نَهَى عَنْ تَنَاشُدِ الْأَشْعَارِ فِي الْمَسْجِدِ
Dari ‘Amr ibn al-‘Ash ra: “Sesungguhnya Nabi saw melarang didendangkan sya’ir-sya’ir dalam masjid.” (Sunan an-Nasa`i bab an-nahy ‘an tanasyudil-asy’ar fil-masjid no. 715)
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ قَالَ: مَرَّ عُمَرُ بِحَسَّانَ بْنِ ثَابِتٍ وَهُوَ يُنْشِدُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَحَظَ إِلَيْهِ فَقَالَ: قَدْ أَنْشَدْتُ وَفِيهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ، ثُمَّ الْتَفَتَ إِلَى أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَالَ: أَسَمِعْتَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: أَجِبْ عَنِّي اللَّهُمَّ أَيِّدْهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ؟ قَالَ: اللَّهُمَّ نَعَمْ
Dari Sa’id ibn al-Musayyib, ia berkata: ‘Umar lewat di hadapan Hassan ibn Tsabit ketika ia bersenandung di masjid. ‘Umar lalu menatap tajam kepadanya. Hassan pun berkata: “Sungguh aku pernah bersenandung di sini ketika ada orang yang lebih baik daripada anda (Rasulullah saw).” Kemudian ia menoleh kepada Abu Hurairah dan bertanya: “Apakah anda mendengar Rasulullah saw ketika ia bersabda: ‘Jawabkan untukku. Ya Allah kuatkanlah ia dengan Ruh Qudus?’” Abu Hurairah menjawab: “Ya benar.” (Sunan an-Nasa`i kitab al-masajid bab ar-rukhshah fi insyadis-syi’ril-hasan fil-masjid no. 715).
Terkait dua hadits tersebut, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:
فَالْجَمْع بَيْنَهَا وَبَيْن حَدِيث الْبَابِ أَنْ يُحْمَلَ النَّهْيُ عَلَى تَنَاشُدِ أَشْعَارِ الْجَاهِلِيَّةِ وَالْمُبْطِلِينَ، وَالْمَأْذُونِ فِيهِ مَا سَلِمَ مِنْ ذَلِكَ. وَقِيلَ: الْمَنْهِيُّ عَنْهُ مَا إِذَا كَانَ التَّنَاشُد غَالِبًا عَلَى الْمَسْجِدِ حَتَّى يَتَشَاغَلَ بِهِ مِنْ فِيهِ
Maka mengompromikan hadits larangan dengan hadits bab ini (yang membolehkan) adalah larangannya dipahami dalam hal menyenandungkan sya’ir-sya’ir jahiliyyah dan orang-orang sesat, sementara yang diizinkan yang selamat dari itu. Bisa juga kesimpulannya yang dilarang itu apabila menyenandungkan sya’ir itu terlalu sering di masjid sehingga tersibukkan dengannya dari kegiatan ibadah lainnya (Fathul-Bari).