Pertalian Saudara Sesusuan dan Senasab Akibat Donor ASI

Pertalian Saudara Sesusuan dan Senasab Akibat Donor ASI
Anak saya laki-laki. Saya memberi donor ASI kepada bayi laki-laki juga. Kalau bayi laki-laki ini punya saudara perempuan, hubungan anak saya dengan saudara perempuannya yang ini apakah menjadi muhrim? 0813-1942-xxxx
Hubungan sesusuan itu menyebabkan adanya hubungan muhrim (haram menikah) di antara dua keluarga yang terikat hubungan tersebut. Jadi yang haram menikah itu bukan hanya yang menyusui dan yang disusuinya saja, tetapi semua yang terikat nasab dengan yang menyusui dan yang disusui. Dalam kasus di atas otomatis adik perempuan dari A menjadi muhrim dengan B karena sama disusui oleh Ibunya B. Ibunya A, adik-adik perempuannya, dan semua yang terikat nasab dengannya menjadi muhrim bagi B dan semua keluarganya karena hubungan sesusuan dari Ibunya B.
Dalam kitab Bulughul-Maram bab ar-radla (menyusui) dituliskan dua hadits yang menjelaskan fiqih di atas:
وَعَنْهَا: أَنْ أَفْلَحَ أَخَا أَبِي الْقُعَيْسِ جَاءَ يَسْتَأْذِنُ عَلَيْهَا بَعْدَ الْحِجَابِ. قَالَتْ: فَأَبَيْتُ أَنْ آذَنَ لَهُ, فَلَمَّا جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَخْبَرْتُهُ بِالَّذِي صَنَعْتُ, فَأَمَرَنِي أَنْ آذَنَ لَهُ عَلَيَّ. وَقَالَ: إِنَّهُ عَمُّكِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Dari ‘Aisyah ra: Sesungguhnya Aflah saudara Abul-Qu’ais datang meminta izin bertamu ke rumahnya sesudah turun ayat hijab. ‘Aisyah berkata: “Aku enggan memberi izin masuk kepadanya.” Ketika Rasulullah saw pulang, aku beritahukan kepada beliau apa yang aku perbuat, ternyata beliau memerintahku untuk mengizinkannya masuk ke rumahku. Beliau bersabda: “Dia adalah pamanmu.” (Shahih al-Bukhari bab ma yahillu minad-dukhul wan-nazhar ilan-nisa` fir-radla’ no. 5239; Shahih Muslim bab tahrimir-radla’ min ma`il-fahl no. 3648).
Catatan: Ayat hijab adalah QS. al-Ahzab [33] : 53 yang memerintahkan istri Nabi saw tidak berhadapan langsung dengan yang bukan keluarganya melainkan harus di balik tirai/hijab atau berbeda ruangan dengan disekat pemisah, termasuk tidak menerima tamu di rumah jika Nabi saw sedang tidak ada.
Dalam redaksi hadits lengkapnya dijelaskan lebih rinci bahwa ‘Aisyah ra ketika bayi disusui oleh istri Abul-Qu’ais. Jadi Abul-Qu’ais dan istrinya itu berstatus ayah dan ibu bagi ‘Aisyah dari persusuan. Maka saudara Abul-Qu’ais statusnya jadi paman bagi ‘Aisyah dari persusuan. Semula saudara Abul-Qu’ais sudah menjelaskan statusnya kepada ‘Aisyah bahwa ia pada hakikatnya adalah paman bagi ‘Aisyah, tetapi ‘Aisyah menolaknya dengan mengatakan: “Yang menyusuiku adalah istrinya, bukan Abul-Qu’aisnya.” Jadi ‘Aisyah memahami bahwa yang berhak menjadi paman dan bibinya itu dari pihak istri Abul-Qu’ais, bukan dari pihak Abul-Qu’ais sendiri. Akan tetapi pemahaman ‘Aisyah tersebut ternyata salah. Nabi saw tetap menyatakan bahwa saudara Abul-Qu’ais itu statusnya sebagai paman ‘Aisyah dari persusuan.
Sementara dalam hadits lain dari Ibn ‘Abbas ra dijelaskan bahwa ketika Nabi saw disarankan oleh keluarga besarnya untuk menikahi putri Hamzah, Nabi saw menolaknya karena terikat hubungan persusuan. Nabi saw dan Hamzah adalah saudara sesusuan. Maka anak Hamzah statusnya bagi Nabi saw adalah anak saudara (keponakan) dari persusuan yang haram dinikahi. Nabi saw menjawab:
إِنَّهَا لَا تَحِلُّ لِي; إِنَّهَا ابْنَةُ أَخِي مِنَ الرَّضَاعَةِ وَيَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعَةِ مَا يَحْرُمُ مِنْ النَّسَبِ
Sungguh dia tidak halal bagiku, dia anak saudaraku dari sesusuan. Haram dari akibat sesusuan sebagaimana haram akibat hubungan nasab (Shahih al-Bukhari bab wa ummahatukumul-lati ardla’nakum no. 5100; Shahih Muslim bab tahrim ibnatil-akhi minar-radla’ah no. 3656).
Dari dua hadits di atas diketahui bahwa adik ipar dari ibu yang menyusui hubungannya jadi muhrim dan sama dengan adik dari ayah-ibu kandung. Demikian juga anak dari saudara sesusuan statusnya menjadi sama dengan anak dari saudara sekandung. Wal-‘Llahu a’lam.