Standar Nilai ‘Umar ra untuk Putranya
Umumnya orang tua merasa bangga kepada putranya jika ia menjadi orang kaya; pengusaha atau pejabat di satu instansi. Hampir semua orang tua belum merasa bangga jika anaknya masih miskin dan belum banyak memberi kepada mereka. Para shahabat ra dikecualikan dari keumuman para orang tua tersebut. Mereka merasa bangga terhadap putranya jika paham agama meski belum mampu memberikan harta kepada orang tuanya. Mereka sadar bahwa anak-anak yang paham agama kelak akan bisa memberi kepada orang tuanya.
Dalam sebuah kesempatan ketika Nabi saw berkumpul bersama para shahabat dan dihidangkan kepada beliau jummar (inti batang pohon kurma yang sudah ditebang lalu dikelupas kulitnya kemudian dipotong-potong kecil—mirip dengan pohon sagu di Indonesia yang batangnya bisa dijadikan makanan), Nabi saw melontarkan pertanyaan kepada para shahabat. Shahabat Ibn ‘Umar ra menceritakan:
بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ جُلُوسٌ إِذَا أُتِيَ بِجُمَّارِ نَخْلَةٍ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ لَمَا بَرَكَتُهُ كَبَرَكَةِ الْمُسْلِمِ فَظَنَنْتُ أَنَّهُ يَعْنِي النَّخْلَةَ فَأَرَدْتُ أَنْ أَقُولَ هِيَ النَّخْلَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثُمَّ الْتَفَتُّ فَإِذَا أَنَا عَاشِرُ عَشَرَةٍ أَنَا أَحْدَثُهُمْ فَسَكَتُّ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ هِيَ النَّخْلَةُ
Ketika kami duduk di dekat Nabi saw, beliau diberi jummar pohon kurma. Nabi saw kemudian bertanya: “Sungguh di antara pohon itu ada satu pohon yang barakahnya seperti barakah seorang muslim.” Aku menduga bahwa itu pohon kurma. Aku ingin mengatakan itu pohon kurma wahai Rasulullah, tetapi aku melihat-lihat sekeliling ternyata aku orang yang kesepuluh dari sepuluh orang dan aku yang paling muda di antara yang hadir sehingga aku pun diam. Nabi saw kemudian bersabda: “Pohon itu adalah kurma.” (Shahih al-Bukhari kitab al-ath’imah bab aklil-jummar no. 5444).
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa orang-orang yang hadir saat itu menebaknya dengan pepohonan yang tumbuh di daerah pedalaman:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ مِنْ الشَّجَرِ شَجَرَةً لَا يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُونِي مَا هِيَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي قَالَ عَبْدُ اللَّهِ وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْيَيْتُ ثُمَّ قَالُوا حَدِّثْنَا مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ هِيَ النَّخْلَةُ
Dari Ibn ‘Umar ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Sungguh di antara pepohonan itu ada satu pohon yang tidak akan berguguran daunnya dan pohon itu seperti seorang muslim. Beritahukan kepadaku pohon apa itu?” Orang-orang yang hadir menebaknya dengan pohon-pohon yang ada di pedalaman. ‘Abdullah (ibn ‘Umar) berkata: “Aku menduga dalam hati bahwa itu pasti kurma, tapi aku merasa malu.” Kemudian para shahabat bertanya: “Beritahukan kepada kami pohon apa itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Pohon kurma” (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab qaulil-muhaddits haddatsana no. 61).
Ibn ‘Umar ra tidak berani menjawab karena pada saat itu ada Abu Bakar dan ‘Umar radliyal-‘Llahu ‘anhuma, tetapi mereka tidak menjawab, sehingga Ibn ‘Umar yang masih muda pun segan untuk menjawabnya (ketika Nabi saw wafat usia Ibn ‘Umar ra menginjak 20 tahun):
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ أَخْبِرُونِي بِشَجَرَةٍ تُشْبِهُ أَوْ كَالرَّجُلِ الْمُسْلِمِ لَا يَتَحَاتُّ وَرَقُهَا وَلَا وَلَا وَلَا تُؤْتِي أُكْلَهَا كُلَّ حِينٍ قَالَ ابْنُ عُمَرَ فَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ وَرَأَيْتُ أَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ لَا يَتَكَلَّمَانِ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ فَلَمَّا لَمْ يَقُولُوا شَيْئًا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ هِيَ النَّخْلَةُ فَلَمَّا قُمْنَا قُلْتُ لِعُمَرَ يَا أَبَتَاهُ وَاللَّهِ لَقَدْ كَانَ وَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَقَالَ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَكَلَّمَ قَالَ لَمْ أَرَكُمْ تَكَلَّمُونَ فَكَرِهْتُ أَنْ أَتَكَلَّمَ أَوْ أَقُولَ شَيْئًا قَالَ عُمَرُ لَأَنْ تَكُونَ قُلْتَهَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا
Ketika kami bersama Rasulullah saw, beliau bersabda: “Beritahukan kepadaku satu pohon yang menyerupai seorang muslim, tidak akan berguguran daunnya, tidak akan ini, tidak ini, dan tidak ini. Ia akan senantiasa berbuah setiap waktunya.” Ibn ‘Umar berkata: “Aku menebak dalam hati bahwa itu pohon kurma. Aku melihat Abu Bakar dan ‘Umar tidak menjawab, sehingga aku pun segan untuk menjawab. Ketika mereka tidak menjawab apapun baru kemudian Rasulullah saw bersabda: “Itu adalah pohon kurma.” Setelah kami bernjak, saya berkata kepada ‘Umar: “Wahai ayahku, demi Allah aku tadi mengira dalam hati bahwa itu pohon kurma.” ‘Umar bertanya: “Apa yang menghalangimu untuk menjawabnya.” Ibn ‘Umar menjawab: “Aku tidak melihat anda sekalian menjawab, jadi aku segan untuk menjawab apapun.” ‘Umar berkata: “Sungguh jika kamu mengatakannya lebih aku sukai daripada ini dan itu.” (Shahih al-Bukhari bab qaulihi ka syajarah thayyibah no. 4698).
Sabda Nabi saw di riwayat ini yang menyebutkan “pohon yang senantiasa berbuah setiap waktunya” dijadikan dasar oleh Imam al-Bukhari bahwa hadits ini adalah penafsiran dari firman Allah swt tentang “pohon yang baik (syajarah thayyibah)” sebagaimana difirmankan dalam QS. Ibrahim [14] : 24-25. Ini tercermin dari penempatan hadits di atas dalam tarjamah:
بَاب قَوْلِهِ {كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ تُؤْتِي أُكْلَهَا كُلَّ حِينٍ}
Bab: Firman Allah: “Seperti pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya menjulang ke atas, senantiasa berbuah setiap waktunya.”
Terlebih dalam riwayat Ibn Hibban disebutkan jelas bahwa Nabi saw mengutip firman Allah swt dalam dua ayat tersebut ketika bertanya kepada para shahabat. Di akhirnya juga Ibn ‘Umar ra mengatakan bahwa ‘Umar ra membandingkan kebahagiaannya seandainya Ibn ‘Umar ra berani menjawab dengan unta merah; unta yang paling mahal dan kendaraan yang paling mewah pada zaman itu.
أَحْسَبُهُ قَالَ: حُمْرِ النَّعَمِ
“Aku meyakininya berkata: Unta merah.” (Shahih Ibn Hibban bab dzikrul-ikhbar ‘amma yusybihul-muslimin minal-asyjar no. 243).
Terkait pernyataan ‘Umar ra di atas, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:
وَاسْتَدَلَّ بِهِ مَالِك عَلَى أَنَّ الْخَوَاطِر الَّتِي تَقَع فِي الْقَلْب مِنْ مَحَبَّة الثَّنَاء عَلَى أَعْمَال الْخَيْر لَا يَقْدَح فِيهَا إِذَا كَانَ أَصْلهَا لِلَّهِ، وَذَلِكَ مُسْتَفَاد مِنْ تَمَنِّي عُمَر الْمَذْكُور، وَوَجْه تَمَنِّي عُمَر مَا طُبِعَ الْإِنْسَان عَلَيْهِ مِنْ مَحَبَّة الْخَيْر لِنَفْسِهِ وَلِوَلَدِهِ، وَلِتَظْهَر فَضِيلَة الْوَلَد فِي الْفَهْم مِنْ صِغَره، وَلِيَزْدَادَ مِنْ النَّبِيّ ﷺ حُظْوَة، وَلَعَلَّهُ كَانَ يَرْجُو أَنْ يَدْعُو لَهُ إِذْ ذَاكَ بِالزِّيَادَةِ فِي الْفَهْم.
Imam Malik berdalil dengannya bahwa bisikan hati ingin dipuji atas amal baik tidak tercela jika dasarnya karena Allah. Kesimpulan itu diambil dari harapan ‘Umar sebagaimana sudah disebutkan. Harapan ‘Umar tersebut adalah tabi’at setiap orang yang ingin kebaikan untuk dirinya dan anaknya, agar tampak jelas keistimewaan anaknya dalam hal pemahaman di usianya yang masih muda dan agar bertambah perhatian khusus dari Nabi saw sehingga beliau mendo’akannya saat itu juga agar bertambah lagi pemahamannya (Fathul-Bari bab qaulil-muhaddits haddatsana).
Artinya ‘Umar ra sebagai manusia biasa ingin jika anaknya terlihat keistimewaan dalam hal kepintaran di hadapan Nabi saw, tetapi bukan untuk pamer atau kebanggaan duniawi, melainkan agar anaknya itu mendapatkan perhatian khusus dari Nabi saw dan agar dido’akan oleh Nabi saw semakin bertambah lagi kepintarannya. Inilah yang disayangkan oleh ‘Umar ra kepada putranya kenapa tidak berani menjawab saat Nabi saw bertanya.
Lebih jelasnya, al-Hafizh Ibn Hajar mengemukakan:
وَفِيهِ الْإِشَارَة إِلَى حَقَارَة الدُّنْيَا فِي عَيْن عُمَر لِأَنَّهُ قَابَلَ فَهْم اِبْنه لِمَسْأَلَةٍ وَاحِدَة بِحُمْرِ النَّعَم مَعَ عِظَم مِقْدَارهَا وَغَلَاء ثَمَنهَا
Dalam hadits ini ada isyarat bahwa dunia rendah di mata ‘Umar karena ia memperlawankan pemahaman putranya dalam satu masalah dengan unta merah yang sangat tinggi nilainya dan mahal harganya (Fathul-Bari bab qaulil-muhaddits haddatsana).
Inilah nilai yang ditanamkan ‘Umar ra kepada putranya dari sejak dini, yakni bahwa kendaraan yang paling mewah sekalipun tetap lebih rendah nilainya dibanding ilmu meski itu yang sedikit terkait satu pertanyaan. Antusiasme pada ilmu yang sedikit sekalipun—apalagi ilmu yang banyak—harus lebih besar daripada antusiasme pada harta benda duniawi. Kebanggaan orang tua pada anaknya haruslah pada keilmuannya bukan pada harta dan titel duniawinya. Ini semua disebabkan standar nilai yang sudah ‘Umar ra praktikkan sendiri bahwa ilmu lebih mulia daripada apapun yang ada di dunia.
Satu nilai yang sudah sangat langka ditemukan hari ini di kalangan orang tua, di mana kaum orang tua banyak yang sudah abai dari kegiatan keilmuan karena kesibukan mencari harta. Nilai-nilai yang ditanamkan mereka kepada anak-anak pun tidak jauh beda dengan prinsip hidup yang mereka jalani. Anak-anak sendiri menjadi sudah tertanam dengan sendirinya dari sejak kecil bahwa harta lebih penting daripada ilmu. “Tidak punya harta tidak bisa hidup, tidak punya ilmu masih bisa hidup.” Kurang lebih demikian nilai yang tertanam dalam benak anak-anak. Bukan “Tidak punya ilmu tidak akan benar hidup di dunia”. Atau bukan “Ilmu harus dimiliki dahulu sebelum memiliki harta agar harta tidak mengendalikan hidup”. Akibat nilai-nilai keliru yang tertanam di anak-anak jadilah kehidupan manusia seperti hari ini jadinya. Nilai-nilai ilmu dipinggirkan karena yang berkuasa adalah nilai-nilai bendawi dan duniawi. Na’udzu bil-‘Llah.