Darurat Kesehatan Mental Keluarga
Darurat Kesehatan Mental Keluarga
Pembunuhan atau pembantaian yang dilakukan terhadap anak-anak dan istri sendiri yang marak diberitakan di beberapa daerah sungguh menyayat hati. Betapa orang-orang yang terganggu mentalnya dalam hidup berkeluarga sudah banyak. Yang diberitakan tentu sebagian kecilnya saja dan sebagian lainnya tentu lebih banyak dan tidak terberitakan. Sakit mental keluarga seperti ini penyebabnya adalah mental yang tidak diisi suplemen ruhani yang mencukupi, akibatnya kemudian sakit dan malah gila haus darah.
Jangankan sampai membunuh, membentak dan memukul saja tidak boleh. Kalaupun istri melakukan perbuatan bejat seperti menjalin hubungan dekat dengan pria lain (nusyuz), maka kebolehan memukulnya pun memukul yang tidak mencederakan. Itupun sesudah ditempuh menasihati dan melarangnya tidur seranjang sebagaimana difirmankan Allah swt dalam QS. an-Nisa` [4] : 34. Tidak boleh langsung dipukul tanpa dinasihati terlebih dahulu dan dipisahkan dari ranjang (harus masih serumah, jangan disuruh pisah rumah).
Dalam hadits Mu’awiyah al-Qusyairi, ketika Nabi saw ditanya apa hak istri yang wajib dipenuhi oleh suami, beliau menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ وَلاَ تَضْرِبِ الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
Kamu memberinya makan apabila kamu makan, memberi pakaian apabila kamu berpakaian, jangan memukul wajah, jangan berkata kasar, dan jangan menjauhinya kecuali masih di rumah (Sunan Abi Dawud bab fi haqqil-mar`ah ‘ala zaujiha no. 2144).
Dalam khutbah ‘Arafah pada haji wada’, sebagaimana diriwayatkan Jabir ibn ‘Abdillah ra, Nabi saw menyampaikan salah satu taushiyahnya:
وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لاَ يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ. فَإِنْ فَعَلْنَ ذَلِكَ فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ
Hak kalian (suami) yang harus dipenuhi mereka (istri) adalah mereka tidak mengizinkan masuk ke rumah kalian seorang pun yang kalian tidak suka (lelaki lain atau siapa pun). Jika mereka melakukan hal itu maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak berat/mencederakan (Shahih Muslim bab hajjatin-Nabi no. 3009).
Nabi saw sampai mewasiatkan secara khusus agar kaum istri diperlakukan dengan baik meski beberapa di antara mereka susah menjadi orang baik:
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
Terimalah wasiat untuk memperlakukan istri dengan baik karena sungguh mereka diciptakan dari tulang rusuk. Dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian paling atas. Jika kamu meluruskannya dengan seketika, niscaya kamu akan mematahkannya, namun jika kamu membiarkannya maka ia pun akan selalu dalam keadaan bengkok. Karena itu terimalah wasiat untuk memperlakukan istri dengan baik (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab al-wushat bin-nisa` no. 5186; kitab ahaditsil-anbiya` bab khalqi Adam wa dzurriyyatihi no. 3331).
Dalam riwayat Muslim, redaksi dari Nabi saw ada sedikit perbedaan:
إِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ لَنْ تَسْتَقِيمَ لَكَ عَلَى طَرِيقَةٍ فَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَبِهَا عِوَجٌ وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهَا كَسَرْتَهَا وَكَسْرُهَا طَلاَقُهَا
Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang tidak dapat lurus bersamamu dalam satu jalan. Jika kamu hendak bersenang-senang dengannya, kamu dapat bersenang-senang dengannya meski ia tetap bengkok. Namun jika kamu berusaha meluruskannya, niscaya akan patah, dan mematahkannya itu berarti menceraikannya (Shahih Muslim kitab ar-radla’ bab al-washiyyah bin-nisa` no. 3719).
Maksud perempuan diciptakan dari tulang rusuk adalah asal penciptaan Hawwa dari tulang rusuk Nabi Adam as, sekaligus sebagai petunjuk bahwa sifat perempuan itu mudah bengkok. Harus diluruskan secara perlahan meski tidak bisa sepenuhnya, jangan dipaksa diluruskan karena itu berarti akan menceraikannya (Fathul-Bari kitab ahaditsil-anbiya` bab khalqi Adam wa dzurriyyatihi).
Sementara maksud istaushu itu sendiri yang paling tepat menurut al-Hafizh adalah:
اِقْبَلُوا وَصِيَّتِي فِيهِنَّ وَاعْمَلُوا بِهَا وَارْفُقُوا بِهِنَّ وَأَحْسِنُوا عِشْرَتهنَّ
Terimalah wasiatku dalam hal kaum istri, amalkanlah wasiat tersebut, bersikap lembutlah kepada mereka, dan berbuat baiklah semaksimal mungkin kepada mereka (Fathul-Bari kitab ahaditsil-anbiya` bab khalqi Adam wa dzurriyyatihi).
Salah satu bentuk berbuat baik maksimal kepada kaum istri adalah tidak membenci secara berlebihan kekurangan yang mereka miliki, karena pasti masih ada yang baiknya.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ فَإِن كَرِهۡتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكۡرَهُواْ شَيۡئًا وَيَجۡعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيۡرٗا كَثِيرٗا ١٩
Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS. An-Nisa` [4] : 19)
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ
Janganlah seorang lelaki mu`min membenci seorang wanita mu`min. Jika ia membenci satu akhlaq darinya, pasti ia akan ridla dengan akhlaq lain darinya. (Shahih Muslim kitab ar-radla’ bab al-washiyyah bin-nisa` no. 3721)
Al-Qur`an sudah mengingatkan bahwa anak dan istri itu bisa menjadi musuh. Akan tetapi bukan berarti harus dibunuh atau diperangi, melainkan tetap diperlakukan dengan baik, selalu memaafkan, memberikan toleransi, dan mengampuni.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّ مِنۡ أَزۡوَٰجِكُمۡ وَأَوۡلَٰدِكُمۡ عَدُوّٗا لَّكُمۡ فَٱحۡذَرُوهُمۡۚ وَإِن تَعۡفُواْ وَتَصۡفَحُواْ وَتَغۡفِرُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٞ رَّحِيمٌ ١٤ إِنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞۚ وَٱللَّهُ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ١٥
Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar (QS. at-Taghabun [64] : 14-15).
Shahabat Ibn ‘Abbas ra menjelaskan ayat di atas ditujukan kepada para shahabat yang tidak ikut hijrah dari sejak awal karena dihalangi oleh anak dan istrinya. Ketika mereka kemudian bergabung dengan kaum muslimin beberapa tahun berikutnya dan mereka sadar bahwa mereka telah tertinggal jauh dalam hal ilmu dan iman mereka bertekad untuk menyiksa anak dan istri mereka. Maka ayat di atas melarangnya (Tafsir Ibn Katsir).
Penekanan Allah swt di akhir ayat: “dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” sangat penting untuk menjamin kesehatan mental dalam berkeluarga. Di tengah-tengah tekanan yang selalu datang bertubi-tubi dalam menjalani bahtera rumah tangga harus senantiasa tertanam kesadaran bahwa kehidupan manusia hakikatnya nanti di akhirat. Bagi siapa yang selalu mampu memaafkan, tidak marah, dan selalu bisa mengampuni, pahala yang besar akan menanti di kehidupan yang hakiki nanti. Semua derita di dunia hanya tinggal dijalani dengan sabar saja, karena hanya sebentar dan ujian sesaat saja. Jika mampu dilalui dengan sabar, maka akan lulus dalam ujian, dan sukses kemudian di kehidupan yang sebenarnya dengan penuh kebahagiaan tanpa derita sedikit pun.
Imam al-Bukhari dalam kitab shahihnya, sesudah menuliskan bab al-wushah bin-nisa` (wasiat seputar istri) beliau menuliskan bab qu anfusakum wa ahlikum naran (jaga diri dan keluarga dari neraka). Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, itu sebagai sebuah isyarat bahwa hadits-hadits Nabi saw seputar wasiat kaum istri diciptakan dari tulang rusuk bukan berarti harus tetap dibiarkan bengkok. Semua lelaki harus memperlihatkan kepemimpinan di keluarganya dan harus sangat peduli dengan keselamatan diri dan keluarganya. Bukan malah menghancurkan dan membinasakan semua keluarganya. Semua tindakan dan kebijakan yang dipilihnya harus selalu berorientasi akhirat, bukan malah terkungkung oleh pikiran sempit duniawi, apalagi sampai terpenjara oleh nafsu amarahnya yang bejat.
Mental dan jiwa itu sumbernya dari Allah swt, berbeda dengan jasad yang sumbernya dari tanah. Jika makanan untuk jasad adalah semua yang datang dari tanah, maka makanan untuk jiwa dan mental adalah apa yang datang dari Allah swt, dan itu adalah tuntunan wahyu yang tertuang dalam al-Qur`an dan hadits. Mengabaikannya hanya akan berujung sakit mental yang tidak akan pernah tersembuhkan. Wal-‘Llahul-Musta’an.