Peringatan Ibn ‘Umar agar Konsisten Berbai’at

Ketika terjadi perang saudara Harrah (63 H) antara pasukan Yazid ibn Mu’awiyah (25-64 H) dengan pasukan Madinah di Harrah, Madinah, shahabat ‘Abdullah ibn ‘Umar (10 SH-73 H) mengingatkan penduduk Madinah khususnya keluarganya untuk konsisten dengan bai’at yang diikrarkan kepada Yazid ibn Mu’awiyah. Melepaskan bai’at atau enggan berbai’at kepada Khalifah yang sah, meski tidak ideal seperti halnya Yazid ibn Mu’awiyah, maka matinya akan seperti orang Jahiliyyah.
Nabi saw sudah mengingatkan dari sejak awal bahwa umat Islam selepas generasi terbaiknya akan dipimpin oleh khalifah-khalifah yang tidak ideal. Tugas umat Islam dalam menghadapinya adalah tetap mengikrarkan bai’at atau menyatakan kesetiaan kepada khalifah-khalifah tersebut dengan penuh kesabaran. Ketika khalifah-khalifah tersebut memerintah pada kebaikan maka umat wajib taat. Ketika khalifah-khalifah tersebut memerintah pada keburukan maka umat haram taat. Meski demikian umat haram berontak dan melawan dengan kekerasan, melainkan cukup dengan menyuarakan kebenaran dan keadilan di hadapan penguasa yang zhalim. Enggan menyatakan kesetiaan kepada khalifah atau malah melawannya dengan kekerasan merupakan akhlaq jahiliyyah yang harus dijauhi. Jika kukuh dengan akhlaq buruk tersebut sampai mati berarti seorang muslim mati dalam keadaan jahiliyyah.
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tetapi kalian mengingkari mereka (karena zhalim). Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari (amar ma’ruf nahyi munkar), maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak boleh selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).
مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْراً مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa yang tidak menyukai dari pemimpinnya sesuatu hal, maka bersabarlah. Karena sesungguhnya orang yang memberontak kepada sulthan (pemerintah) meski sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha no. 7053; Shahih Muslim kitab al-imarah bab al-amr bi luzumil-jama’ah ‘inda zhuhuril-fitan no. 4879).
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Sesungguhnya di antara jihad yang paling utama adalah perkataan yang adil di hadapan penguasa yang sewenang-wenang (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a afdlalul-jihad kalimah ‘adl no. 2174).
Peringatan Nabi saw di atas layak dicamkan karena sepanjang sejarahnya, manusia selalu rentan dengan perang saudara memperebutkan kekuasaan. Maka Nabi saw dari sejak awal mengingatkan umat Islam untuk tidak terjebak pada kelumrahan sejarah tersebut. Akan tetapi memang pastinya umat Islam tidak selalu berhasil memenuhi tuntunan Nabi saw ini. Salah satu episode sejarah awal Islam memperlihatkan hal tersebut. Pertempuran Harrah, Madinah, pada tahun 63 H antara penduduk Madinah yang melawan penguasa tidak ideal waktu itu, Yazid ibn Mu’awiyah, merupakan tragedi sejarah yang tidak boleh terulang. Shahabat Ibn ‘Umar ra yang sudah berusia 73 tahun pada saat pertempuran itu mengingatkan penduduk Madinah dengan cukup keras. Peringatan Ibn ‘Umar ra tersebut ditulis oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka sebagai berikut.
عَنْ نَافِعٍ قَالَ لَمَّا خَلَعَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ يَزِيدَ بْنَ مُعَاوِيَةَ جَمَعَ ابْنُ عُمَرَ حَشَمَهُ وَوَلَدَهُ فَقَالَ إِنِّي سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ يُنْصَبُ لِكُلِّ غَادِرٍ لِوَاءٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَإِنَّا قَدْ بَايَعْنَا هَذَا الرَّجُلَ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنِّي لَا أَعْلَمُ غَدْرًا أَعْظَمَ مِنْ أَنْ يُبَايَعَ رَجُلٌ عَلَى بَيْعِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُنْصَبُ لَهُ الْقِتَالُ وَإِنِّي لَا أَعْلَمُ أَحَدًا مِنْكُمْ خَلَعَهُ وَلَا بَايَعَ فِي هَذَا الْأَمْرِ إِلَّا كَانَتْ الْفَيْصَلَ بَيْنِي وَبَيْنَهُ
Dari Nafi’, ia berkata: Ketika penduduk Madinah melepaskan bai’at/kesetiaan dari Yazid ibn Mu’awiyah, Ibn ‘Umar ra mengumpulkan pengikutnya dan anak-anaknya. Ia lalu berkata: “Sungguh aku mendengar Nabi saw bersabda: ‘Akan dipasangkan bagi setiap pengkhianat panji/bendera pada hari kiamat.’ Sungguh kita semua sudah berbai’at kepada lelaki ini (Yazid ibn Mu’awiyah) di atas transaksi Allah dan Rasul-Nya. Sungguh aku tidak tahu pengkhianatan terbesar daripada seseorang yang berbai’at di atas transaksi Allah dan Rasul-Nya kemudian dikumandangkan perang melawannya. Sungguh aku tidak tahu seorang pun dari kalian yang melepaskan bai’at darinya atau memilih tidak berbai’at dalam urusan kepemimpinan ini melainkan akan ada pemisah antara aku dan dia.” (Shahih al-Bukhari bab idza qala ‘inda qaum syai`an tsumma kharaja fa qala bi khilafihi no. 7111).
Dalam riwayat lain masih dari Nafi’ dijelaskan sebagai berikut:
عَنْ نَافِع أَنَّ مُعَاوِيَة أَرَادَ اِبْن عُمَر عَلَى أَنْ يُبَايِع لِيَزِيدَ فَأَبَى وَقَالَ لَا أُبَايِع لِأَمِيرَيْنِ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِ مُعَاوِيَة بِمِائَةِ أَلْف دِرْهَم فَأَخَذَهَا فَدَسَّ إِلَيْهِ رَجُلًا فَقَالَ لَهُ مَا يَمْنَعك أَنْ تُبَايِع؟ فَقَالَ: إِنَّ ذَاكَ لِذَاكَ – يَعْنِي عَطَاء ذَلِكَ الْمَال لِأَجْلِ وُقُوع الْمُبَايَعَة – إِنَّ دِينِي عِنْدِي إِذًا لَرَخِيصٌ، فَلَمَّا مَاتَ مُعَاوِيَة كَتَبَ اِبْن عُمَر إِلَى يَزِيد بِبَيْعَتِهِ، فَلَمَّا خَلَعَ أَهْل الْمَدِينَة…
Dari Nafi’: Sungguh Mu’awiyah ingin Ibn ‘Umar berbai’at kepada Yazid. Tetapi ia enggan dan berkata: “Aku tidak akan berbai’at kepada dua pemimpin.” Mu’awiyah lalu mengirimkan utusan kepadanya dengan membawakan 100.000 dirham. Ibn ‘Umar lalu mengambilnya dan memberikannya secara menyelinap kepada seseorang. Utusan itu bertanya kepadanya: “Apa yang menghalangi anda untuk berbai’at?” Ibn ‘Umar menjawab: “Sesungguhnya uang itu untuk itu—maksudnya pemberian harta itu karena ada bai’at. Sungguh agamaku jika demikian sangat murahan.” Ketika Mu’awiyah meninggal dunia, Ibn ‘Umar ra menulis surat kepada Yazid menyatakan bai’atnya. Lalu ketika penduduk Madinah melepas bai’at…kelanjutannya sebagaimana riwayat al-Bukhari di atas (Fathul-Bari bab idza qala ‘inda qaum syai`an tsumma kharaja fa qala bi khilafihi mengutip riwayat al-Isma’ili).
Al-Hafizh Ibn Hajar mengutip riwayat at-Thabari menceritakan pertempuran Harrah. Berawal ketika Yazid ibn Mu’awiyah mengangkat saudara sepupunya sebagai Gubernur Madinah, yakni ‘Utsman ibn Muhammad ibn Abi Sufyan. Penduduk Madinah kemudian mengirimkan delegasi untuk menemui Khalifah Yazid yang dipimpin ‘Abdullah ibn Hanzhalah. Sepulang dari pertemuan itu delegasi mengungkapkan kekecewaannya kepada Yazid karena menilai buruk akhlaqnya. Penduduk Madinah pun mengusir ‘Utsman ibn Muhammad ibn Abi Sufyan dari Madinah dan menyatakan ketidaksetiaan kepada Yazid ibn Mu’awiyah. Yazid kemudian mengirim pasukan yang dipimpin Muslim ibn ‘Uqbah ke Madinah. Pasukan itu diberi instruksi untuk memberikan peringatan dan waktu selama tiga hari kepada penduduk Madinah agar mereka kembali berbai’at kepada Yazid. Jika kukuh enggan berbai’at kembali maka pasukan itu diinstruksikan untuk menyerang Madinah selama tiga hari. Penduduk Madinah saat itu dipimpin oleh tiga orang; ‘Abdullah ibn Hanzhalah memimpin Anshar, ‘Abdullah ibn Muthi’ memimpin Quraisy, dan Ma’qil ibn Yasar memimpin kabilah lainnya. Pertempuran pun terjadi. ‘Abdullah ibn Hanzhalah terbunuh. ‘Abdullah ibn Muthi’ melarikan diri ke Makkah, berlindung kepada ‘Abdullah ibnuz-Zubair. Sisanya terbunuh dan dihukum mati. Madinah pun dihancurkan oleh pasukan Muslim ibn ‘Uqbah. Tragedi sejarah ini yang diperingatkan oleh ‘Abdullah ibn ‘Umar ra di atas yang seharusnya tidak terjadi (Fathul-Bari bab idza qala ‘inda qaum syai`an tsumma kharaja fa qala bi khilafihi).
Imam Muslim meriwayatkan, bahwa sebelumnya ‘Abdullah ibn ‘Umar ra pun sempat mengingatkan ‘Abdullah ibn Muthi’ untuk tidak melepas kesetiaan dari Yazid ibn Mu’awiyah:
عَنْ نَافِعٍ قَالَ جَاءَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُطِيعٍ حِينَ كَانَ مِنْ أَمْرِ الْحَرَّةِ مَا كَانَ زَمَنَ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ فَقَالَ اطْرَحُوا لأَبِى عَبْدِ الرَّحْمَنِ وِسَادَةً فَقَالَ إِنِّى لَمْ آتِكَ لأَجْلِسَ أَتَيْتُكَ لأُحَدِّثَكَ حَدِيثًا سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُهُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
Dari Nafi’, ia berkata: ‘Abdullah ibn ‘Umar datang menemui ‘Abdullah ibn Muthi’ ketika terjadi peristiwa Harrah pada zaman Yazid ibn Mu’awiyah. ‘Abdullah ibn Muthi’ berkata: “Sediakan untuk Abu ‘Abdirrahman (panggilan ‘Abdullah ibn ‘Umar) bantal untuk duduk.” ‘Abdullah ibn ‘Umar menjawab: “Saya datang kepadamu bukan untuk duduk. Saya datang untuk memberitahu kepadamu hadits yang dahulu aku dengar dari Rasulullah saw. Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan (kepada khalifah), ia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai hujjah. Dan siapa yang mati dengan tidak ada bai’at di lehernya, maka matinya seperti mati jahiliyyah.” (Shahih Muslim bab al-amr bi luzumil-jama’ah ‘inda zhuhuril-fitan no. 4899).
Pernyataan Ibn ‘Umar ra bahwa melepas bai’at atau enggan berbai’at sama sekali kepada seorang khalifah berkedudukan sama sebagai akhlaq jahiliyyah merujuk pada sabda Nabi saw sendiri dalam hadits terakhir yang dikutip di atas. Maksud mati jahiliyyah itu bukan mati dalam keadaan kafir, melainkan mati dalam keadaan berdosa besar karena sebatas tataran amal, yakni amal mereka sama dengan amal orang-orang jahiliyyah yang tidak pernah ada kesetiaan kepada para pemimpin mereka ketika mereka tidak suka, melainkan akan melawan mereka dengan kekerasan sampai menumbangkannya (Fathul-Bari bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha).
Dalam konteks Indonesia hari ini khalifahnya adalah Presiden terpilih. Bai’atnya dalam bentuk kesiapan untuk setia mengikuti Pemerintah tentunya selama dalam koridor ma’ruf dan bukan maksiat. Tidak akan pernah menghasut untuk melakukan pembangkangan atau melawan dengan kekerasan kepada Pemerintahan yang sah. Melainkan sebatas amar ma’ruf nahyi munkar dan konsisten menyuarakan keadilan. Wal-‘Llahu a’lam.