
Rakyat Indonesia diuntungkan dengan masih adanya mahasiswa-mahasiswa idealis yang lantang menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa. Meski sebagian besar rakyat pesimis akan berhasil karena pemerintahan pasca reformasi dinilai terlalu kuat untuk digoyahkan, mahasiswa tetap saja berani bersuara menyuarakan kebenaran. Terlepas dari hasilnya apakah sesuai harapan atau tidak, menyuarakan kebenaran memang harus tetap digaungkan sebagai bagian dari amar ma’ruf nahyi munkar. Jika tidak ada sama sekali yang bersuara maka akan hancur semuanya.
Pokok masalahnya bukan pada apakah demonstrasi mahasiswa itu akan berhasil mengubah kebijakan Pemerintah yang menyimpang atau tidak; bukan pada apakah demonstrasi mahasiswa itu akan efektif menggerakkan rakyat atau tidak; tetapi pada apakah masih ada yang berani menyuarakan kebenaran meski kemungkinan berhasilnya nyaris tidak ada; terletak pada apakah masih ada yang berpihak pada suara kebenaran atau tidak; termasuk pada apakah masih ada rakyat yang mendukung kebenaran atau semuanya memilih diam membisu mendukung penyimpangan.
Pertimbangan efektif atau tidak efektif suara mahasiswa tersebut tidak diajarkan oleh Islam. Yang diajarkan oleh Islam itu bersuaralah meski suara itu tidak akan didengar. Bersuaralah agar nilai kebenaran tidak hilang. Bersuaralah agar tidak dimasukkan Allah swt kepada golongan kelompok yang mendukung kesesatan.
Nabi saw sudah mengingatkan dari dahulu:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tetapi kalian mengingkari (kebijakan) mereka. Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari, maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak boleh, selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).
Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits di atas:
مَنْ كَرِهَ بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَسْتَطِعْ إِنْكَاراً بِيَدٍ وَلاَ لِسَانٍ فَقَدْ بَرِئَ مِنَ الْإِثْمِ وَأَدَّى وَظِيْفَتَهُ، وَمَنْ أَنْكَرَ بِحَسْبِ طَاقَتِهِ فَقَدْ سَلِمَ مِنْ هَذِهِ الْمَعْصِيَةِ، وَمَنْ رَضِيَ بِفِعْلِهِمْ وَتَابَعَهُمْ، فَهُوَ الْعَاصِي
Siapa yang membenci (pemimpin) dengan hatinya, tetapi tidak mampu mengingkari dengan tangan atau lisannya, maka sungguh ia sudah bebas dari dosa dan sudah melaksanakan tugasnya sesuai kemampuannya. Siapa yang mengingkari (pemimpin) sesuai dengan kemampuannya (dengan tangan atau lisan—pen), maka ia pasti selamat dari maksiat ini. Tetapi siapa yang ridla dengan kebijakan bejat mereka dan mengikutinya, itulah orang maksiat (Riyadlus-Shalihin bab fil-amri bil-ma’ruf wan-nahyi ‘anil-munkar).
Dalam hadits lain Nabi saw mengajarkan:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Seutama-utamanya jihad adalah menyuarakan keadilan di hadapan penguasa yang sewenang-wenang (Sunan Abi Dawud bab al-amr wan-nahy no. 4346; Sunan Ibn Majah bab al-amr bil-ma’ruf wan-nahy ‘anil-munkar no. 4011).
Dalam riwayat at-Tirmidzi ada sedikit perbedaan redaksi:
إِنَّ مِنْ أَعْظَمِ الجِهَادِ كَلِمَةَ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Sesungguhnya di antara jihad yang paling utama adalah menyuarakan keadilan di hadapan penguasa yang sewenang-wenang (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a afdlalul-jihad kalimah ‘adl no. 2174).
Imam al-Khaththabi menjelaskan terkait makna hadits di atas bahwa jihad secara umum selalu ada harapan untuk menang, sementara jihad menghadapi penguasa pasti kalah atau lebih besar peluang kalah dan sengsaranya (Tuhfatul-Ahwadzi bab ma ja`a afdlalul-jihad kalimah ‘adl). Apalagi ketika faktanya dilarang Nabi saw menggunakan senjata dan kekerasan melainkan sebatas menyuarakan keadilan, kemungkinan gagalnya lebih besar daripada berhasilnya. Meski demikian Nabi saw menegaskan bahwa itu termasuk jihad yang utama, di samping jihad lainnya yang sampai mati syahid.
Keberanian untuk terus bersuara juga terkait dengan penegasan status keimanan seseorang. Berani menyuarakan kebenaran berarti masih ada iman dalam hatinya. Tidak berani menyuarakannya karena takut, masih ada keimanan juga tetapi sangat lemah. Jika tidak mau sama sekali menyuarakan kebenaran, malah memilih cari aman demi langgengnya kue kekuasaan yang diterima maka itu sama sekali tidak ada keimanan dalam hati. Disamakan dengan orang-orang munafiq yang selalu cari aman demi keuntungan duniawi yang mereka inginkan (QS. an-Nisa` [4] : 141). Nabi saw banyak mengajarkan dalam hadits:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ
Siapa yang melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, dengan lisannya. Jika tidak mampu, dengan hatinya (tidak menyetujui/mendukung). Dan yang terakhir ini selemah-lemahnya iman (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan kaunin-nahyi ‘anil-munkar no. 186).
فَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِيَدِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِلِسَانِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَمَنْ جَاهَدَهُمْ بِقَلْبِهِ فَهُوَ مُؤْمِنٌ وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإِيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Siapa yang melawan mereka dengan tangannya, itulah mukmin. Siapa yang melawan mereka dengan lisannya, itulah mukmin. Siapa yang melawan mereka dengan hatinya, itulah mukmin. Dan tidak ada di belakang itu keimanan sebesar biji terkecil sekalipun (Shahih Muslim kitab al-iman bab bayan kaunin-nahyi ‘anil-munkar no. 188)
Keberanian untuk terus menyuarakan kebenaran dan keadilan juga merupakan ikhtiar agar tidak menjadi bagian dari penyebab kehancuran umat. Allah swt sudah menjanjikan, dikuatkan juga oleh Nabi saw dalam hadits-haditsnya, jika satu kaum tidak ada sama sekali yang amar ma’ruf nahyi munkar maka Allah swt akan meratakan adzab kepada kaum tersebut. Bahkan ketika ada yang amar ma’ruf nahyi munkar sekalipun, tetapi geraknya tidak mampu membendung kemunkaran yang lebih besar, kehancuran akan tetap diturunkan Allah swt.
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهۡلِكَ ٱلۡقُرَىٰ بِظُلۡمٖ وَأَهۡلُهَا مُصۡلِحُونَ ١١٧
Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS. Hud [11] : 117)
… وَمَا كُنَّا مُهۡلِكِي ٱلۡقُرَىٰٓ إِلَّا وَأَهۡلُهَا ظَٰلِمُونَ ٥٩
…Dan tidak pernah kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezhaliman. (QS. Al-Qashash [28] : 59)
إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الْمُنْكَرَ فَلَمْ يُغَيِّرُوْهُ يُوْشِكُ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللهُ بِعِقَابٍ
Sesungguhnya manusia itu, apabila mereka melihat kemunkaran lalu mereka tidak mengubahnya, maka pasti Allah akan meratakan mereka dengan siksa (Shahih Ibn Hibban bab dzikril-bayan bi annal-muta`awwil qad yukhthi`u fi ta`wilihi no. 305).
Zainab binti Jahsy, istri Nabi saw, menceritakan:
اِسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ ﷺ مِنَ النَّوْمِ مُحْمَرًّا وَجْهُهُ يَقُوْلُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَيْلٌ لِلْعَرَبِ مِنْ شَرٍّ قَدِ اقْتَرَبَ فُتِحَ الْيَوْمَ مِنْ رَدْمِ يَأْجُوْجَ وَمَأْجُوْجَ مِثْلُ هَذِهِ. وَعَقَدَ سُفْيَانُ تِسْعِيْنَ أَوْ مِائَةً قِيْلَ أَنَهْلِكُ وَفِيْنَا الصَّالِحُوْنَ قَالَ نَعَمْ إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ
Nabi saw pernah terbangun dari tidurnya dalam keadaan merah wajahnya. Beliau lantas bersabda: “La ilaha illal-llah, kecelakaan yang besar bagi bangsa Arab dari kejahatan yang sungguh telah dekat. Sungguh telah dibuka pada hari ini benteng Ya’juj dan Ma’juj seperti ini.” Sufyan (salah seorang rawi) melingkarkan 90 atau 100 (mengenakan ibu jari dan telunjuk). Ditanyakan (oleh Zainab): “Apakah kami akan binasa padahal di tengah-tengah kami ada orang-orang shalih?” Beliau menjawab: “Ya, apabila banyak yang jeleknya.” (Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabiy wailun lil-‘arab min syarrin qad-iqtaraba no. 6650).
Meski demikian, minimalnya ketika gerak amar ma’ruf nahyi munkar tidak mampu menolak siksa yang menghancurkan juga, di akhirat kelak para penggerak amar ma’ruf nahyi munkar tidak disatukan oleh Allah swt kepada golongan orang-orang yang akan disiksa di neraka.
إِذَا أَنْزَلَ اللهُ بِقَوْمٍ عَذَابًا أَصَابَ الْعَذَابُ مَنْ كَانَ فِيْهِمْ ثُمَّ بُعِثُوْا عَلَى أَعْمَالِهِمْ
Apabila Allah menurunkan adzab kepada sebuah kaum, adzab itu akan menimpa siapa saja yang ada di tengah-tengah mereka. Kemudian mereka dibangkitkan (di akhirat dan dikumpulkan) berdasarkan amal-amal mereka (Shahih al-Bukhari bab idza anzalal-llah bi qaumin ‘adzaban no. 6575; Shahih Muslim bab al-amr bi husniz-zhan billah ta’ala ‘indal-mauti no. 5172).
إِذَا ظَهَرَ السُّوْءُ فِي الْأَرْضِ أَنْزَلَ اللهُ بِأَهْلِ اْلأَرْضِ بَأْسَهُ. قَالَتْ: وَفِيْهِمْ أَهْلُ طَاعَةِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ؟ قَالَ: نَعَمْ, ثُمَّ يَصِيْرُوْنَ إِلَى رَحْمَةِ اللهِ تَعَالَى
“Apabila telah tampak jelas keburukan di muka bumi, maka Allah swt akan menurunkan siksa-Nya kepada penduduk bumi.” ‘Aisyah ra bertanya: “Walau di tengah-tengah mereka ada orang-orang yang taat kepada Allah ‘Azza wa Jalla?” Jawab Nabi saw: “Ya, tetapi kemudian mereka dipulangkan pada rahmat Allah swt (surga).” (Musnad Ahmad bab musnad ‘Aisyah no. 24179)
Jadi teruslah menyuarakan kebenaran dan keadilan, meski tidak akan berhasil mendatangkan ma’ruf dan menolak munkar dalam waktu dekat, karena tetap akan sangat bermanfaat dalam menancapkan nilai-nilai kebenaran di tengah-tengah masyarakat. Demikian juga agar tidak terbawa hancur di dunia dan akhirat sebagaimana kaum pemuja penguasa yang buta mata dan buta jiwa.