Kontroversi Sogokan Hasanah

Jagat pemberitaan nasional sepekan terakhir dihebohkan oleh pernyataan Ulil Abshar Abdalla sebagai perwakilan PBNU dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) DPR RI tentang revisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba (Mineral dan Batubara) yang menyatakan adanya “sogokan hasanah”. Istilah selorohan dari Ulil itu merujuk pada pemberian konsesi pengelolaan tambang dari Pemerintah untuk ormas-ormas Islam. Ulil mendasarkannya pada fiqih bolehnya menyogok untuk mendapatkan hak. Apakah benar ormas Islam menerima sogokan hasanah dari Pemerintah?
Ulil Abshar Abdalla memang kemudian menyampaikan klarifikasi dalam akun Facebooknya. Ia menyatakan bahwa jawaban pokok yang ia sampaikan tidak dimuat oleh rekan-rekan media. Malah memuat jawaban yang hanya selorohannya saja. Berawal dari pertanyaan salah seorang anggota DPR bukankah pemberian konsesi tambang untuk ormas Islam itu merupakan sogokan dari Pemerintah untuk membungkam suara-suara kritis terhadap Pemerintah, Ulil memberikan jawaban pokoknya sebagai berikut:
Pertanyaan ini menarik saya karena “menggelitik”. Dalam sesi jawaban, saya mengatakan kurang lebih begini: jika pemerintah menempuh kebijakan-kebijakan yang tepat dan menguntungkan rakyat, maka hal itu tidak bisa disebut sebagai “sogokan”, walaupun diniatkan sebagai cara untuk meraih dukungan rakyat. Pemerintah, dalam hal ini, telah menunaikan tugas-tugas konstitusionalnya.
Sebab tugas utama pemerintah memang menyelenggarakan kebijakan yang membawa maslahat, sebagaimana diktum dalam hukum Islam (fikih) yang terkenal: tasharruful imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah (kebijakan penguasa terhadap rakyat harus dikaitkan dengan kepentingan rakyat). Jika pemerintah mengambil kebijakan yang demikian itu maka ia tidak bisa disebut sebagai sogokan, karena itu adalah “moral obligation” atau kewajiban moral penguasa terhadap “subject”-nya.
Hanya memang sebagaimana diakuinya, Ulil kemudian menyampaikan selorohan dalam RDP itu hanya untuk mencairkan suasana saja. Ia menyatakan: “Kalaupun ini disebut sebagai “sogokan”, maka ini adalah cara menyogok yang baik, mesti istilah “sogokan” tidak tepat dipakai di sini… ini adalah “sogokan hasanah”, sogokan yang baik karena dilakukan untuk merebut kembali hak kita.”
Ulil menjelaskan lebih lanjut bahwa dalam kitab-kitab fikih ditemukan penjelasan bahwa menyogok untuk meraih hak yang direbut pihak lain secara zalim dan tidak “fair”, tidak diharamkan. Dalam versi teks Arabnya: al-risywatu lithalab al-haqq ghairu muharramah (menyogok untuk meraih hak yang direbut orang lain, tidak haram). Hanya saja yang menerima sogokan tetap berdosa karena menerima sogokan itu. Dalam teks Arabnya: al-dzanbu ‘ala al-murtasyi la ‘ala al-rasyi.
Ulil kemudian memberikan contoh: Jika mobil yang jelas-jelas milik seseorang dicuri oleh pihak lain, dan tidak bisa diambil kembali mobil itu kecuali dengan menyogok yang bersangkutan, maka sogokan yang demikian itu dibolehkan, sebab ia tidak bisa mendapatkan kembali haknya kecuali dengan menyogok. Ia tidak berdosa, tetapi yang berdosa ialah yang menerima sogokan.
Apa yang disampaikan Ulil terkait fiqih “sogokan hasanah” tersebut memang dikenal dalam khazanah fiqih. Di Indonesia, lembaga fatwa yang sudah mengeluarkan fatwa resmi bolehnya “sogokan hasanah” itu adalah Dewan Hisbah Persatuan Islam. Pada 16 Juni 2013, Dewan Hisbah mengeluarkan fatwa yang detail terkait risywah (suap) sebagai berikut:
- Risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada pejabat atau yang lainnya dengan maksud menguntungkan dirinya atau pihak tertentu.
- Macam-macam risywah yang diharamkan adalah: (a) Risywah untuk mendapatkan keuntungan dalam peradilan dan pemerintahan. (b) Risywah untuk memuluskan suatu perkara dengan meminta penguasa menolak kemadlaratan dan mengambil manfaat. (c) Hadiah atau pemberian sesuatu (syibhur-riyswah) untuk tujuan: membatalkan yang haq, merealisasikan kebathilan, mencari keberpihakan yang tidak dibenarkan, mendapatkan kepentingan yang bukan menjadi haknya, atau memenangkan perkaranya yang bukan haknya. (d) Money politics (politik uang), baik yang diberikan sebelum atau sesudah menjabat.
- Risywah untuk menolak ancaman atas agama, harta, jiwa dan kehormatan, hukumnya mubah bagi ar-rasyi (penyuap), dan haram bagi al-murtasyi (yang menerimanya).
Poin 3 dalam fatwa di atas sama dengan yang disampaikan Ulil dalam RDP di DPR, yakni bahwa suap diperbolehkan jika statusnya “terancam agama, harta, jiwa, dan kehormatan”. Dalam istilah agamanya karena darurat. Kedaruratan memang akan membolehkan perkara-perkara yang haram, bukan hanya suap. Karena yang “terancam”-nya hanya pemberi suap, maka halalnya pun bagi pemberi suap saja, sementara peminta/penerima suap tidak masuk kategori “terancam” sehingga statusnya tetap haram dan berdosa.
Yang menjadi kontroversi sebenarnya bukan kedudukan fiqih “sogokan hasanah” atau suap yang diperbolehkan itu sendiri, sebab itu kedudukannya sudah jelas diperbolehkan dalam fiqih. Akan tetapi kepolosan Ulil mengakui bahwa pemberian konsesi tambang oleh Pemerintah kepada ormas-ormas Islam itu sebagai sogokan untuk membungkam suara-suara kritis ormas Islam. Sebagaimana diakui Ulil sendiri dalam klarifikasinya di atas, perbincangan “sogokan hasanah” itu berawal dari pertanyaan anggota DPR bukankah pemberian konsesi tambang oleh Pemerintah kepada ormas-ormas Islam itu merupakan sogokan untuk membungkam suara-suara kritis mereka. Ketika Ulil menyatakan bahwa itu “sogokan hasanah” berarti Ulil mengakui dua hal sekaligus: Pertama, benar bahwa pemberian konsesi tambang itu adalah sogokan/suap dari Pemerintah kepada ormas-ormas Islam meski sifatnya hasanah. Kedua, pihak yang berdosa adalah penerima suap yang dalam hal ini adalah ormas-ormas Islam itu sendiri, bukan Pemerintah.
Akan tetapi dari dua hal di atas, muncul permasalahan ketiga, apakah benar Pemerintah “diancam” oleh ormas-ormas Islam untuk memberikan konsesi tambang kepada mereka sehingga statusnya Pemerintah “terancam” dan menjadi darurat bagi Pemerintah untuk memberikan konsesi tambang tersebut? Jika benar diancam, maka berarti jelas dosanya ada pada ormas-ormas Islam. Jika nyatanya tidak pernah diancam dan memang mustahil Pemerintah terancam oleh ormas-ormas yang tidak memiliki kekuatan kekuasaan, berarti suap tersebut adalah suap suka sama suka, rela sama rela, yang sudah jelas disabdakan Nabi saw haram dan dosanya berlaku bagi kedua belah pihak.
Kedudukan konsesi tambang sebagai suap ini ternyata diakui kebenarannya oleh perwakilan Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) yang juga diundang dalam RDP terkait UU Minerba tersebut. Mukri, yang mewakili Walhi dalam RDP tersebut, malah tegas menyebutkan dua ormas yakni NU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas yang sangat disesalkan menerima konsesi tambang sehingga tidak bisa lagi jernih membela hak-hak rakyat dan alam yang dirampas oleh perusahaan-perusahaan tambang. Ulama-ulama di kedua ormas tersebut disebutkan oleh Walhi sangat disayangkan sudah rela diceburkan oleh Pemerintah ke lahan-lahan kotor. Maka dari itu Walhi kemudian mendesak DPR agar jangan memberikan konsesi serupa kepada Perguruan Tinggi, karena dikhawatirkan idealisme ilmu pengetahuannya jadi hilang akibat terkotori konsesi tambang ini.
Jika saja Ulil cukup memberikan jawaban bahwa konsesi tambang untuk ormas Islam itu adalah pemberian hak oleh Pemerintah untuk rakyatnya demi kemaslahatan, maka jawaban tersebut tidak akan menjadi polemik. Tetapi sayang, Ulil malah mengakui bahwa pemberian tersebut juga merupakan pemberian suap untuk membungkam suara-suara kritis ormas Islam kepada Pemerintah meski dibungkus dengan istilah “sogokan hasanah”.
Semuanya sekarang kembali kepada ormas-ormas Islam dan termasuk Perguruan Tinggi jika kemudian diberikan konsesi tambang serupa. Apakah pertanyaan anggota DPR di atas itu benar adanya? Apakah kritikan tajam Walhi di atas juga benar adanya? Jika tidak benar, maka tidak cukup dijawab dengan klarifikasi atau penolakan terhadap tuduhan tersebut. Melainkan harus dibuktikan juga dalam sikap dan amal; apakah akan memilih bungkam terhadap penderitaan rakyat yang hak-haknya sudah lama dirampas oleh perusahaan-perusahaan tambang? Apakah akan memilih diam ketika rakyat menderita karena alamnya sudah lama dirusak oleh perusahaan-perusahaan tambang? Apakah akan memilih membisu terhadap penderitaan rakyat yang terzhalimi oleh kebijakan Pemerintah yang menguntungkan kalangan pengusaha-penguasa seperti dalam kasus PSN-PSN (Proyek Strategis Nasional) yang sudah bergulir?
Rakyat pantas untuk khawatir, karena kerusakan ulama-ulama Bani Israil dahulu juga berawal dari kerelaan mereka menerima suap sehingga mereka bungkam dari amar ma’ruf nahyi munkar:
سَمَّٰعُونَ لِلۡكَذِبِ أَكَّٰلُونَ لِلسُّحۡتِۚ … ٤٢
Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram… (QS. al-Ma`idah [5] : 42).
Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan:
أَيِ: الْحَرَامِ، وَهُوَ الرِّشْوَةُ كَمَا قَالَهُ ابْنُ مَسْعُودٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ أَيْ: وَمَنْ كَانَتْ هَذِهِ صِفَتُهُ كَيْفَ يُطَهِّرُ اللَّهُ قَلْبَهُ؟
Yaitu harta haram, yakni risywah/suap, sebagaimana dikemukakan Ibn Mas’ud dan ulama lainnya. Maksudnya: Orang yang seperti ini sifatnya, bagaimana mungkin Allah menyucikan hatinya (sebagaimana ditegaskan ayat 41 sebelumnya—pen).
Dalam ayat 41-nya Allah swt menyebutkan ulama-ulama Yahudi yang berani mengubah-ubah kitab Allah swt dan terjerumus ke dalam fitnah sehingga hati mereka tidak disucikan oleh Allah swt. Ayat 42 di atas menegaskan karena kebiasaan mereka menerima suap. Akibatnya suap merajalela dan ulama-ulama itu tidak kuasa mencegahnya (QS. al-Ma`idah [5] : 63). Dan itulah yang menjadi sebab Bani Israil terlaknat sejak zamannya Nabi Dawud sampai Nabi ‘Isa as dan terus berlanjut sampai sekarang.
لُعِنَ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۢ بَنِيٓ إِسۡرَٰٓءِيلَ عَلَىٰ لِسَانِ دَاوُۥدَ وَعِيسَى ٱبۡنِ مَرۡيَمَۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ٧٨ كَانُواْ لَا يَتَنَاهَوۡنَ عَن مُّنكَرٖ فَعَلُوهُۚ لَبِئۡسَ مَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ ٧٩
Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu (QS. Al-Ma`idah [5] : 78-79).
Wal-‘Llahul-Musta’an