Pemuda Pemberani Melawan Tirani
Al-Qur`an banyak mencatat sejarah para pemuda pemberani yang melawan tirani. Mereka adalah para Nabi dan tokoh-tokoh muda lainnya yang tidak bisa diam ketika penguasa zhalim. Beberapa di antaranya diasuh sejak kecil di lingkaran istana, seperti Nabi Musa as. Tetapi itu tidak menjadikan beliau silau dengan kezhaliman Fir’aun yang membesarkannya. Tokoh lainnya adalah seorang pemuda yang melawan ashhabul-ukhdud meski ia harus mati syahid di tangan raja zhalim.
Kisah ashhabul-ukhdud diabadikan oleh Allah swt dalam surat al-Buruj. Ashhabul-ukhdud artinya orang-orang yang membuat parit. Mereka adalah pasukan yang dititahkan oleh rajanya untuk membuat parit yang akan dijadikan tempat membakar rakyatnya yang membangkang kepada raja. Rakyat yang dihukum bakar itu adalah orang-orang yang beriman kepada Allah. Ada banyak riwayat yang menceritakan tentang aktor dan tempat kejadian tersebut. Di antaranya ada yang menyebutkan bahwa ashhabul-ukhdud itu yang berkuasa di daerah Najran, Yaman, beberapa tahun sebelum peristiwa ashhabul-fil; pasukan gajah yang berambisi menghancurkan Ka’bah dan kemudian dibinasakan oleh Allah swt (Tafsir Ibn Katsir).
Imam Muslim meriwayatkan kisahnya dalam kitab Shahihnya dari Shuhaib ra yang ternyata melibatkan seorang pemuda pemberani di masa itu dalam melawan tirani.
عَنْ صُهَيْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: كَانَ مَلِكٌ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ فَلَمَّا كَبِرَ قَالَ لِلْمَلِكِ إِنِّى قَدْ كَبِرْتُ فَابْعَثْ إِلَىَّ غُلاَمًا أُعَلِّمْهُ السِّحْرَ. فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلاَمًا يُعَلِّمُهُ فَكَانَ فِى طَرِيقِهِ إِذَا سَلَكَ رَاهِبٌ فَقَعَدَ إِلَيْهِ وَسَمِعَ كَلاَمَهُ فَأَعْجَبَهُ فَكَانَ إِذَا أَتَى السَّاحِرَ مَرَّ بِالرَّاهِبِ وَقَعَدَ إِلَيْهِ فَإِذَا أَتَى السَّاحِرَ ضَرَبَهُ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى الرَّاهِبِ فَقَالَ إِذَا خَشِيتَ السَّاحِرَ فَقُلْ حَبَسَنِى أَهْلِى. وَإِذَا خَشِيتَ أَهْلَكَ فَقُلْ حَبَسَنِى السَّاحِرُ
Dari Shuhaib ra, sungguh Rasulullah saw bersabda: Ada seorang raja pada zaman dahulu yang memiliki ahli sihir. Ketika sudah tua ia meminta kepada raja: “Saya sudah tua, kirimkanlah kepadaku seorang anak muda terbaik untuk aku ajari sihir.” Raja kemudian mengirim seorang pemuda untuk diajari sihir. Di perjalanan setiap kali hendak belajar ia bertemu seorang rahib (ahli ibadah penganut agama Islam yang diajarkan Nabi ‘Isa as), ia kemudian duduk, menyimak ajarannya dan tertarik. Setiap kali datang ke ahli sihir ia singgah dahulu di rahib untuk belajar. Tetapi ketika datang ke ahli sihir ia dihukum dera. Pemuda itu mengadu ke rahib. Rahib menyarankan: “Jika kamu takut ahli sihir, katakan saja ada keperluan keluarga dahulu. Jika kamu takut oleh keluarga katakan saja ada keperluan dengan ahli sihir dahulu…
Pada suatu hari, ada seekor unta yang mengamuk di pasar. Orang-orang sudah mencoba dengan berbagai cara untuk menjinakkannya. Ketika pemuda itu datang dan ia diminta untuk menyihir unta itu, ia malah mengambil sebuah batu besar dan melemparnya ke unta tersebut. Pemuda itu berkata:
الْيَوْمَ أَعْلَمُ آلسَّاحِرُ أَفْضَلُ أَمِ الرَّاهِبُ أَفْضَلُ فَأَخَذَ حَجَرًا فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ الرَّاهِبِ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ فَاقْتُلْ هَذِهِ الدَّابَّةَ حَتَّى يَمْضِىَ النَّاسُ
“Hari ini aku akan tahu apakah ahli sihir ataukah rahib yang lebih mulia?” Ia pun mengambil batu dan berkata: “Ya Allah, jika kedudukan rahib lebih Engkau sukai daripada kedudukan ahli sihir, bunuhlah unta ini hingga orang-orang bisa beraktifitas kembali.”
Sejak saat itu pemuda tersebut pun dikenal luas oleh masyarakat. Ia pun kemudian berhenti belajar sihir dan menekuni ilmu pengobatan karena sudah terbukti ilmu yang nyata/empiris lebih benar daripada ilmu sihir/mistik.
وَكَانَ الْغُلاَمُ يُبْرِئُ الأَكْمَهَ وَالأَبْرَصَ وَيُدَاوِى النَّاسَ مِنْ سَائِرِ الأَدْوَاءِ فَسَمِعَ جَلِيسٌ لِلْمَلِكِ كَانَ قَدْ عَمِىَ فَأَتَاهُ بِهَدَايَا كَثِيرَةٍ فَقَالَ مَا هَا هُنَا لَكَ أَجْمَعُ إِنْ أَنْتَ شَفَيْتَنِى فَقَالَ إِنِّى لاَ أَشْفِى أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِى اللَّهُ فَإِنْ أَنْتَ آمَنْتَ بِاللَّهِ دَعَوْتُ اللَّهَ فَشَفَاكَ. فَآمَنَ بِاللَّهِ فَشَفَاهُ اللَّهُ فَأَتَى الْمَلِكَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ كَمَا كَانَ يَجْلِسُ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَنْ رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ قَالَ رَبِّى. قَالَ وَلَكَ رَبٌّ غَيْرِى قَالَ رَبِّى وَرَبُّكَ اللَّهُ…
Pemuda itu kemudian ahli mengobati orang yang buta sejak lahir dan yang berpenyakit sopak, juga penyakit-penyakit lainnya. Salah seorang staf raja ada yang mendengar hal itu dan ia orang buta, ia lalu memberinya banyak hadiah dan berkata: “Semua ini aku kumpulkan untukmu jika kamu bisa menyembuhkanku.” Pemuda itu menjawab: “Aku tidak bisa menyembuhkan siapapun, yang bisa menyembuhkan hanya Allah. Jika anda beriman kepada Allah, aku akan berdo’a kepada Allah dan Dia akan menyembuhkan anda.” Ia pun beriman kepada Allah dan Allah menyembuhkannya. Ia lalu datang dan bermajelis dengan raja sebagaimana biasanya. Raja pun bertanya kepadanya: “Siapa yang mengembalikan penglihatanmu?” Ia menjawab: “Rabbku.” Raja protes: “Kamu punya Rabb selain aku!?” Ia menjawab: “Rabbku dan Rabbmu Allah.”…
Raja bengis itu pun kemudian menyiksa stafnya dan memaksanya untuk menunjukkan siapa yang mengajarkannya akan keberadaan Rabb (Tuhan) selain dirinya. Setelah diberi tahu bahwa yang mengajarkannya pemuda yang mahir mengobati, raja pun kemudian memanggil pemuda tersebut dan menyiksanya. Ia pun dipaksa untuk menunjukkan siapa yang mengajarinya demikian. Setelah diberi tahu bahwa yang mengajarkannya seorang rahib, raja pun kemudian memanggil rahib tersebut dan menyiksanya. Mereka semua dipaksa untuk keluar dari keyakinan iman mereka atau diancam hukuman mati. Ketiganya enggan murtad dari keislaman mereka, hingga ketiganya dihukum mati. Staf kerajaan dan rahib dihukum gergaji dari kepalanya sampai bagian bawah tubuhnya hingga terbelah dua. Tetapi kepada pemuda ahli pengobatan hukuman itu tidak mempan.
Raja memerintahkan pasukannya untuk menjatuhkannya ke jurang atau menenggelamkannya di tengah lautan. Tetapi itu juga tidak berhasil, malah pasukan-pasukan raja itu yang jatuh ke jurang dan tenggelam ke tengah lautan. Pemuda itu pun kemudian mengatakan bahwa jika raja hendak membunuhnya, kumpulkan saja semua orang di alun-alun, lalu ikat dirinya di satu batang pohon, dan gunakanlah anak panah yang ia berikan untuk menembaknya, tetapi harus dengan membaca: “Bismil-‘Llah wa Rabbil-ghulam; Rabb pemuda ini.”
فَجَمَعَ النَّاسَ فِى صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَصَلَبَهُ عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ أَخَذَ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِهِ ثُمَّ وَضَعَ السَّهْمَ فِى كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلاَمِ. ثُمَّ رَمَاهُ فَوَقَعَ السَّهْمُ فِى صُدْغِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ فِى صُدْغِهِ فِى مَوْضِعِ السَّهْمِ فَمَاتَ فَقَالَ النَّاسُ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلاَمِ… فَأَمَرَ بِالأُخْدُودِ فِى أَفْوَاهِ السِّكَكِ فَخُدَّتْ وَأَضْرَمَ النِّيرَانَ وَقَالَ مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ فَأَحْمُوهُ فِيهَا. أَوْ قِيلَ لَهُ اقْتَحِمْ. فَفَعَلُوا حَتَّى جَاءَتِ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا صَبِىٌّ لَهَا فَتَقَاعَسَتْ أَنْ تَقَعَ فِيهَا فَقَالَ لَهَا الْغُلاَمُ يَا أُمَّهِ اصْبِرِى فَإِنَّكِ عَلَى الْحَقِّ
Raja kemudian mengumpulkan masyarakat di satu lapangan dan mengikat pemuda itu di satu batang pohon. Raja mengambil anak panah lalu meletakkannya di busur panah dan berkata: “Bismil-‘Llah Rabb pemuda itu.” Ia menembaknya hingga anak panah mengenai pelipisnya. Pemuda itu memegang anak panah itu lalu meninggal dunia. Orang-orang berkata: “Kami beriman kepada Rabb pemuda itu. Kami beriman kepada Rabb pemuda itu…. Raja kemudian memerintah membuat parit-parit besar di mulut jalan. Lalu dibuatlah parit, dinyalakan api, dan Raja berkata: “Siapa yang enggan kembali dari agamanya, bakar hidup-hidup.” Hingga ada seorang ibu menggendong putranya, ia berhenti dan takut. Tetapi anaknya berkata: “Sabar saja Ibu, sesungguhnya Ibu ada dalam kebenaran.” (Shahih Muslim bab qishshah ashhabil-ukhdud no. 7703).
Inilah yang melatarbelakangi kisah ashhabul-ukhdud yang disebutkan Allah swt dalam QS. al-Buruj [85]:
قُتِلَ أَصۡحَٰبُ ٱلۡأُخۡدُودِ ٤ ٱلنَّارِ ذَاتِ ٱلۡوَقُودِ ٥ إِذۡ هُمۡ عَلَيۡهَا قُعُودٞ ٦ وَهُمۡ عَلَىٰ مَا يَفۡعَلُونَ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ شُهُودٞ ٧ وَمَا نَقَمُواْ مِنۡهُمۡ إِلَّآ أَن يُؤۡمِنُواْ بِٱللَّهِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ ٨ ٱلَّذِي لَهُۥ مُلۡكُ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِۚ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ شَهِيدٌ ٩ إِنَّ ٱلَّذِينَ فَتَنُواْ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَتُوبُواْ فَلَهُمۡ عَذَابُ جَهَنَّمَ وَلَهُمۡ عَذَابُ ٱلۡحَرِيقِ ١٠ إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَهُمۡ جَنَّٰتٞ تَجۡرِي مِن تَحۡتِهَا ٱلۡأَنۡهَٰرُۚ ذَٰلِكَ ٱلۡفَوۡزُ ٱلۡكَبِيرُ ١١
Binasa dan terlaknatlah orang-orang yang membuat parit, yang berapi (dinyalakan dengan) kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji, Yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertaubat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; itulah keberuntungan yang besar (QS. al-Buruj [85] : 4-11).
Ini di antara bukti sejarah bahwa pemuda selalu menjadi pemberani dalam melawan tirani. Bahkan pemuda di kisah ini mirip statusnya dengan Nabi Musa as sebagai pemuda istana. Tetapi kenyamanan mereka hidup di istana tidak membutakan mereka dari kebenaran dan perjuangan menegakkan tauhid dan keadilan. Berbalik jauh dengan pemuda-pemuda hari ini yang sebagian besarnya bukan dari kalangan istana tetapi malah silau dengan gemerlap istana. Berlomba-lomba ingin mendekat ke istana dan kemudian menjadi pembela sejati tirani. Atau yang lebih parahnya lagi para pemuda istana yang kemudian mandarah daging bermental tirani dan ningrat, tidak ada pekanya sekali dengan kebejatan tirani, dan tidak ada empati dengan perjuangan para pemuda yang meluruskan kesombongan tirani.
Wal-‘iyadzu bil-‘Llah.