Pancasila vs Islam; Mengapa?
Sekularisme yang dianut rezim Pemerintah hari ini sungguh sudah kebablasan. Pancasila yang dirumuskan oleh founding fathers sebagai titik temu ideologi Islam dan kebangsaan malah hendak diceraikan kembali untuk hanya kebangsaan saja tanpa Islam. Padahal sejatinya Pancasila harus menghormati Islam dan tidak mengingkarinya sebagai ideologi utama masyarakat muslim. Pancasila dibuat untuk mengakui ideologi-ideologi yang dianut bangsa Indonesia dan yang paling utamanya Islam. Maka tidak sepantasnya Pancasila yang dibuat sebagai sebuah agreement menjadi ideologi yang mengangkangi Islam.
Perdebatan ini berawal dari Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang ditujukan kepada para pegawai KPK sehingga menyebabkan 75 orang di antaranya dinyatakan tidak lulus untuk menjadi ASN. Salah satu pertanyaan TWK tersebut adalah mendesak calon ASN untuk memilih Pancasila atau al-Qur`an. Mantan juru bicara KPK Febri Diansyah melalui akun Twitternya, @febridiansyah, Selasa (1/6/2021) mencuit persoalan tersebut: “Pilih yang mana, Al-Qur’an atau Pancasila, mengingatkan saya pada pertanyaan tes wawasan kebangsaan KPK,” tulis Febri. “Pegawai jawab, dalam konteks beragama saya memilih Al-Qur’an. Dalam konteks bernegara, saya memilih Pancasila. Pewawancara mendesak beberapa kali, harus pilih salah satu, dan seterusnya,” kata Febri. “Sampai hari ini, tidak ada penjelasan yang klir dari penyelenggara tes tentang pertanyaan-pertanyaan kontroversial tersebut. Wawasan kebangsaan apa yang dikehendaki? Sungguh menyedihkan,” ujarnya.
Meski sebenarnya jawaban yang disebutkan Febri di atas tidak sepenuhnya benar, nyatanya TWK untuk ASN sudah sangat otoriter dalam memaksakan ideologi sekularisme. Jawaban seorang calon ASN muslim seharusnya: “Dalam konteks beragama dan Negara saya memilih al-Qur`an, karena Pancasila diyakini sebagai ideologi Negara disebabkan nilai-nilainya searah dengan al-Qur`an. Pancasila dan UUD ’45 sudah menjamin keyakinan saya untuk mengimani al-Qur`an sebagai sumber ideologi.” Jika jawabannya seperti disebutkan Febri di atas, maka ini masih menyisakan benih sekularisme karena membedakan wilayah agama dan dunia. Agama urusan Tuhan dan dunia urusan akal manusia. Pemahaman seperti ini adalah bentuk sekularisme. Meski demikian ternyata TWK calon ASN menghendaki sekularisme yang kaffah. Tidak menghendaki al-Qur`an dijadikan pedoman sama sekali, harus Pancasila sepenuhnya.
Anggota Fraksi PKS DPR RI, Al Muzzammil Yusuf, menyebut apa yang dilakukan BKN (Badan Kepegawaian Negara) melalui Tes Wawasan Kebangsaan pegawai KPK tersebut sebagai bentuk terorisme terhadap keyakinan umat Islam. “Khususnya umat Islam, dikonfrontir untuk memilih Pancasila atau Al-Qur`an,” kata Muzzammil dalam Rapat Paripurna di Senayan, Jakarta, Senin (31/5/2021).
Terkait hal tersebut, Muzzammil menyampaikan sedikitnya tiga tuntutan. Pertama, Presiden Jokowi harus menggunakan kewenangannya untuk membatalkan pemberlakuan TWK BKN terhadap calon ASN KPK maupun terhadap ASN dari berbagai instansi. Kedua, lanjut Muzzammil, Jokowi perlu segera membentuk tim TWK dari tokoh lintas agama, akademisi, dan pakar yang tidak anti agama untuk menyusun TWK yang sesuai dengan Pancasila dan konstitusi Negara Republik Indonesia. Terakhir, Muzzammil meminta DPR RI memanggil BKN untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan dalam seleksi calon ASN KPK.
Dari pihak BKN sendiri hanya bersilat lidah menutupi semua yang sudah kadung terang benderang ke hadapan publik ini. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengklaim pihaknya tidak mempunyai kewenangan mendiskusikan materi TWK secara terbuka karena dinilai bisa melanggar kode etik asesor. “Saya tidak berwenang mendiskusikan materi TWK secara terbuka karena menyangkut kode etik asesor dan materinya merupakan yang dikecualikan oleh UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik). Silakan saja media mempersepsikan seperti itu,” ujar Bima kepada detikcom, Selasa (1/6/2021).
“Kami memiliki dokumen lengkap tes tertulis, profiling, dan rekaman video atau audio wawancara setiap pegawai KPK yang ikut tes,” ungkap Bima. “Materi TWK itu tidak bisa dibuka kepada publik. Materi TWK itu hanya bisa dibuka dalam forum resmi ataupun pengadilan,” Bima menegaskan.
Pengarusutamaan Pancasila menjadi berhaluan “kebangsaan” saja yakni kebangsaan sekuler karena meminggirkan agama, mengkhianati sejarah lahirnya Pancasila itu sendiri. Negara Indonesia berdiri di tengah-tengah iklim perdebatan yang intens antara kubu Islam dan Kebangsaan. Perdebatan itu terjadi di media massa, forum-forum diskusi ilmiah, sampai lembaga resmi kenegaraan seperti Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Zyunbi Tyosakai). Perdebatan yang alot itu menghasilkan kesepakatan Pancasila yang dituangkan dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 dengan redaksi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Rumusan ini kemudian diubah pada tanggal 18 Agustus 1945 untuk sila pertamanya menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa” oleh Moh. Hatta dan disetujui Soekarno karena alasan kedaruratan dan meminta pembahasannya dilakukan di masa Negara sudah aman.
Dalam pidatonya pada tanggal 10 Juli 1945 dalam sidang paripurna Badan Penyelidik, Soekarno mengatakan:
Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita.
Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan paham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagai tadi saya katakan, Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan.
…
Di dalam preambule itu ternyatalah, seperti saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyosakai. Masuk di dalamnya ke-Tuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat Islam masuk di dalamnya; kebulatan nasionalisme Indonesia, persatuan bangsa Indonesia masuk di dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka masuk di dalamnya; perwakilan permupakatan kedaulatan rakyat masuk di dalamnya; keadilan sosial, sociale rechtvaardigheit, masuk di dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
Janji membahas ulang Sila Pertama kemudian dipenuhi Soekarno 10 tahun berikutnya dengan membentuk Majelis Konstituante hasil dari Pemilu 1955. Majelis yang bersidang sampai empat tahun lamanya ini menemui jalan buntu, karena dua kubu besar yang bersidang tidak menemui kesepakatan apakah Pancasila yang hendak dijadikan dasar negara adalah Pancasila yang dirumuskan pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 atau rumusan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila versi Piagam Jakarta (rumusan I) didukung oleh fraksi-fraksi Islam (Masyumi, Nahdlatul Ulama, PSII, Perti, Akui, Gerpis dan Penyaluran). Sementara Pancasila 18 Agustus 1945 (rumusan II) didukung oleh fraksi lain selain Islam (PNI, PKI, Parkindo, Partai Katolik, PSI, IPKI, dan beberapa partai kecil lainnya). Konstituante menemui jalan buntu, karena untuk mengegolkan suatu hal yang prinsipil seperti dasar Negara harus memperoleh dukungan ⅔ jumlah suara yang hadir. Rasio perimbangan antara pendukung rumusan I dan II adalah 4 : 5 (atau dengan angka konkret 204 : 264). Tidak ada yang sampai ⅔.
Menghadapi kenyataan ini, maka Presiden Soekarno dalam kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan: (1) Pembubaran Konstituante, (2) pemberlakuan kembali UUD 1945 dan (3) pembentukan MPRS. Dalam konsiderannya, Dekrit tersebut menyatakan: “berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Sejarah di atas jangan diingkari oleh rezim penguasa hari ini. Pancasila dan Islam adalah satu kesatuan. Umat Islam menerima Pancasila karena didasari keyakinan bahwa Pancasila selaras dengan ajaran Islam. Jadi bukan karena Pancasilanya saja, melainkan karena Islamnya. Pancasila bukan ideologi, karena terbukti tidak ada uswah hasanah-nya. Pancasila tidak bisa menjanjikan pahala atau balasan kebaikan kepada pengamalnya, padahal ideologi harus tertanam sampai ke arah sana. Pancasila tidak bisa menggerakkan manusia-manusia untuk berbakti secara ikhlas, melainkan hanya agama yang bisa menggerakkan seperti itu. Pancasila hanya sebuah kesepakatan ideologi (agreement). Kedudukannya tidak bisa meminggirkan ideologi-ideologi yang sudah dianut sebelumnya, khususnya Islam. Yang menggerakkan umat untuk merebut kemerdekaan dari penjajah pada masa perang kemerdekaan bukan Pancasila, melainkan Islam. Yang menggerakkan bangsa untuk bersatu sebagai bangsa Indonesia juga bukan Pancasila, melainkan Islam, karena Pancasila belum dilahirkan di masa-masa akhir penjajahan. Sungguh aneh kalau kemudian yang nyata-nyata merupakan ideologi dan menjadi dasar keyakinan dan pergerakan bangsa Indonesia dalam membangun Indonesia dibuang dan diganti oleh ideologi yang dipaksakan bernama Pancasila.
Haruskah para perumus Pancasila dari kubu Islam dibangkitkan dari kubur? Ataukah sengaja rezim BKN hendak menihilkan peran Islam dari sejarah Negara ini? Jika sejarah Pancasila dibaca dengan benar seharusnya Islam itu sudah menjadi satu kesatuan dengan Pancasila. Mempertentangkan Pancasila dengan Islam/al-Qur`an sama saja dengan hendak mengeluarkan Islam dari Pancasila dan menyisakan Pancasila yang dihegemoni oleh pola pikir kebangsaan sekuler. Jika demikian adanya semakin jelaslah siapa kawan dan siapa lawan. Umat Islam harus berjuang terus mendesak agar BKN dan Pemerintah secara keseluruhan membuka matanya untuk mengakui Islam sebagai bagian yang utuh dari Pancasila. Wal-‘Llahu a’lam