Pakaian, Makanan dan Minuman

Paha Laki-laki Termasuk Aurat?

Mohon penjelasan tentang kedudukan paha laki-laki sebagai aurat. Apakah benar demikian?

Imam al-Bukhari menuliskan pembahasan tentang kedudukan paha laki-laki dalam kitab shahihnya:

بَاب مَا يُذْكَرُ فِي الْفَخِذِ وَيُرْوَى عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَجَرْهَدٍ وَمُحَمَّدِ بْنِ جَحْشٍ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ الْفَخِذُ عَوْرَةٌ وَقَالَ أَنَسٌ حَسَرَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ فَخِذِهِ وَحَدِيثُ أَنَسٍ أَسْنَدُ وَحَدِيثُ جَرْهَدٍ أَحْوَطُ حَتَّى يُخْرَجَ مِنْ اخْتِلَافِهِمْ وَقَالَ أَبُو مُوسَى غَطَّى النَّبِيُّ ﷺ رُكْبَتَيْهِ حِينَ دَخَلَ عُثْمَانُ وَقَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ ﷺ وَفَخِذُهُ عَلَى فَخِذِي فَثَقُلَتْ عَلَيَّ حَتَّى خِفْتُ أَنْ تَرُضَّ فَخِذِي

Bab: Riwayat seputar paha. Diriwayatkan dari Ibn ‘Abbas, Jarhad, dan Muhammad ibn Jahsy, dari Nabi saw: “Paha itu aurat.” Tetapi Anas berkata: “Nabi saw pernah menyingkap kain dari pahanya.” Hadits Anas lebih kuat sanadnya, tetapi hadits Jarhad lebih hati-hati, sehingga keluar dari ikhtilaf. Abu Musa berkata: “Nabi saw menutup kedua lututnya ketika masuk ‘Utsman.” Zaid ibn Tsabit berkata: “Allah pernah menurunkan wahyu kepada Rasul-Nya saw dan paha beliau ada di atas pahaku, hingga terasa berat di atas pahaku hingga aku takut pahaku patah.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shalat).

Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan hadits Ibn ‘Abbas ra di atas adalah riwayat at-Tirmidzi, tetapi dalam sanadnya ada Abu Yahya al-Qattat yang statusnya dla’if. Hadits Jarhad riwayat Malik, at-Tirmidzi, dan Ibn Hibban. Dinilai hasan oleh at-Tirmidzi dan dinilai shahih oleh Ibn Hibban. Tetapi Imam al-Bukhari mendla’ifkannya dalam at-Tarikhul-Kabir karena sanadnya mudltharib. Sementara hadits Muhammad ibn Jahsy riwayat Ahmad, al-Bukhari dalam at-Tarikhul-Kabir, dan al-Hakim. Semua rawinya shahih selain Abu Katsir maula Muhammad ibn Jahsy. Ada beberapa rawi yang meriwayatkan darinya tetapi tidak ditemukan yang menilainya ‘adil. Meski demikian, menurut Imam al-Bukhari, hadits-hadits itu layak dijadikan pegangan sebagai kehati-hatian (ihtiyath) saja; sebagai sikap wara’ (berhati-hati dari sesuatu yang syubhat) yang diwajibkan oleh syari’at. Jadi meski hadits shahih yang sharih tidak ada yang menyatakan paha laki-laki aurat, tetapi sebaiknya tetap ditutup saja mengingat ada banyak hadits yang meskipun ada kelemahan tetapi saling menguatkan (Fathul-Bari bab ma yudkaru fil-fakhidzi).

Imam an-Nawawi sendiri menjelaskan bahwa yang menolak paha laki-laki aurat adalah madzhab Maliki. Dalil yang selalu dikemukakannya adalah yang dikutip Imam al-Bukhari di atas. Tetapi menurut beliau tidak tepat, karena hadits Anas ra tentang Nabi saw pernah menyingkap pahanya terjadi pada saat menyerbu Khaibar. Jadi pastinya karena ketidaksengajaan. Demikian juga Anas ra yang melihatnya karena tidak sengaja. Sementara hadits Nabi saw menutup lututnya ketika ‘Utsman ra masuk dan sebelumnya ketika Abu Bakar dan ‘Umar ra masuk Nabi saw tidak menutupnya, tidak tegas menunjukkan bahwa paha lelaki bukan aurat, karena sebatas menyebutkan lutut, bukan paha (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab ghazwah Khaibar no. 3360 dan bab min fadla`il ‘Utsman ibn ‘Affan no. 4414). Demikian halnya hadits Zaid ibn Tsabit di atas, menurut al-Hafizh tidak tegas menyebutkan menyingkap pakaian dari pahanya. Sangat mungkin pada saat itu paha beliau dan Zaid tetap tertutup pakaian (Fathul-Bari bab ma yudkaru fil-fakhidzi).

Jadi meskipun status paha laki-laki belum tegas haram terbuka menurut fiqih Imam al-Bukhari, tetapi sebagai sikap wara’ (kehati-hatian), Imam al-Bukhari tetap menganjurkan untuk ditutup, mengingat banyak hadits dla’if yang saling menguatkannya. Terlebih madzhab Syafi’i dan lainnya yang sepemahaman tegas menyatakan bahwa hadits-hadits yang menyatakan paha laki-laki aurat statusnya shahih dan dengan demikian wajib untuk selalu ditutup. Wal-‘Llahu a’lam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button