Pakaian, Makanan dan Minuman

Bercadar Tidak Termasuk Berlebih-lebihan

Apakah muslimah memakai cadar termasuk berlebih-lebihan dalam berpakaian? 0813-1942-xxxx

Larangan berlebih-lebihan berpakaian dalam surat al-An’am [6] : 141 dan al-A’raf [7] : 31 tidak ditemukan satu pun penjelasan dari Nabi saw, shahabat, dan ulama salaf yang mengarah pada larangan bercadar, sebab memang faktanya tidak ada larangan bercadar selain ketika ihram haji dan atau umrah saja. Yang ada justru sebaliknya, yakni beberapa ulama menganjurkan perempuan memakai cadar ketika dikhawatirkan ada fitnah.

Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya ketika menafsirkan: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS. an-Nur [24] : 31), mengutip penjelasan dari Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, dan para ulama salaf berikutnya bahwa yang dimaksud adalah “dikecualikan wajah dan telapak tangan”. Menurut beliau: Wa hadza huwal-masyhur ‘indal-jumhur; ini adalah masyhur menurut jumhur/mayoritas ulama.

Dalam kitab al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu yang ditulis oleh Wahbah az-Zuhaili dalam pembahasan seputar haddul-‘aurah/batasan aurat (1 : 633-647) dijelaskan bahwa para ulama keempat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, keempat-empatnya membenarkan bahwa wajah dan telapak tangan dikecualikan sebagai aurat dari seorang perempuan merdeka. Akan tetapi itu disepakati di dalam shalat. Adapun di luar shalat, terdapat perbedaan pendapat. Para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali umumnya menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, termasuk wajah dan telapak tangannya. Dalilnya hadits-hadits yang menyatakan bahwa “perempuan adalah aurat” dan hadits yang melarang seorang lelaki melihat/menatap perempuan tanpa ada keperluan syar’i. Sementara ulama madzhab Hanafi dan Maliki sebatas menganjurkan wajah ditutup cadar karena takut fitnah.

Kenyataan bahwa para ulama mayoritas mengakui pengecualian wajah dan telapak tangan dari aurat perempuan dalam shalat, menunjukkan bahwa pada hakikatnya keduanya memang bukan aurat yang wajib ditutup. Ini dikuatkan juga dengan larangan memakai cadar dan sarung tangan bagi perempuan ketika ibadah haji/’umrah (Shahih al-Bukhari bab ma yunha minat-thib lil-muhrim wal-muhrimah no. 1838). Syaikh al-Albani menyatakan, hadits ini menunjukkan bahwa cadar dan sarung tangan sudah biasa dipakai oleh kaum perempuan saat itu, maka dari itu dilarang ketika ibadah haji/’umrah. Akan tetapi ini tidak menunjukkan bahwa selain haji wajib dipakai, atau bahwa maksud ayat QS. al-Ahzab [33] : 59 yang memerintahkan perempuan berjilbab berarti wajib memakai niqab (Hijabul-Mar`ah, hlm. 18), sebab fakta bahwa banyak hadits yang menjelaskan interaksi kaum perempuan dengan Rasulullah saw atau sebagian shahabat tanpa bercadar menunjukkan bahwa wajah bukan aurat yang wajib ditutup oleh kaum perempuan. Salah satunya ketika Nabi saw memalingkan muka al-Fadhl ibn ‘Abbas yang menatap wajah seorang perempuan muda, dan tidak diingkari oleh Rasulullah saw perempuannya, melainkan hanya al-Fadhl yang menatapnya (Hijabul-Mar`ah).

Maka pendapat sebagian ulama yang menyatakan perempuan di luar shalat harus menutup seluruh tubuhnya, termasuk wajah dengan cadar, ini tidak lebih dari sebuah anjuran semata agar terhindar dari fitnah. Bukan sebuah kewajiban mutlak berdasarkan nash yang jelas, sebab hadits-hadits yang dijadikan dalil tidak tegas mewajibkan perempuan bercadar, hanya sebatas harus berhati-hati dari pandangan laki-laki.

Mengenai batasan berlebih-lebihan bagi perempuan yang bercadar kembali pada pakaiannya secara keseluruhan. Jika termasuk melanggar yang diperintahkan atau dilarang syari’at maka termasuk berlebih-lebihan. Jika tidak ada yang dilanggar maka tidak termasuk berlebih-lebihan. Di antara yang dilarang bagi perempuan dalam berpakaian adalah berpakaian dengan pamer (syuhrah) atau sengaja memperlihatkan lekukan tubuh dan bagian-bagian tubuh lainnya. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button