Hukum Tindik Hidung

Bagaimana hukum tindik hidung? Apakah sama hukumnya dengan tindik telinga? 0819-0120-xxxx
Tindik telinga bagian dari perhiasan perempuan yang ma’ruf (baik dan diketahui semua orang). Tentunya di daun telinga bagian bawah (cuping telinga/lobule), bukan bagian tengah atau bagian atas. Di selain cuping telinga itu, termasuk di hidung, bibir, kelopak mata, dan bagian-bagian lainnya dari tubuh manusia dikategorikan tidak ma’ruf atau munkar. Sesuatu yang tidak ma’ruf yakni munkar hukumnya haram.
Dalam momentum khutbah ‘Idul-Fithri, sebagaimana diceritakan oleh Jabir ibn ‘Abdillah ra, Nabi saw pernah menasihati kaum perempuan untuk memperbanyak shadaqah. Saat itu juga mereka melepas perhiasannya dan menyerahkannya kepada Bilal yang mengawal Nabi saw.
فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِى ثَوْبِ بِلاَلٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ
Mereka langsung bershadaqah dari perhiasan mereka. Mereka melemparkannya ke baju Bilal dari anting-anting dan cincin-cincin mereka (Shahih Muslim kitab shalatil-‘idain no. 2085).
Imam an-Nawawi menjelaskan dalam kitab Syarah Shahih Muslim:
قَوْله: (مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ) هُوَ جَمْع قُرْط. قَالَ اِبْن دُرَيْدٍ: كُلّ مَا عُلِّقَ مِنْ شَحْمَة الْأُذُن فَهُوَ قُرْط سَوَاء كَانَ مِنْ ذَهَب أَوْ خَرَز
Pernyataan: (dari aqrithatihinna) adalah jama’ dari qurth. Ibn Duraid menjelaskan: Semua yang digantungkan di cuping telinga maka itu qurth, sama saja terbuat dari emas atau manik-manik.
Sementara selain anting yang dipakai di cuping telinga, tindik perhiasan pada anggota tubuh lainnya termasuk tabarruj; berlebihan dalam penampilan yang dilarang syari’at:
وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. al-Ahzab [33] : 33).
Menindik selain di cuping telinga juga termasuk melukai anggota tubuh dan secara medis akan menimbulkan madlarat, maka dari itu hukumnya haram. Nabi saw bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Tidak boleh ada bahaya dan membahayakan orang lain (Musnad Ahmad bab musnad ‘Abdillah ibn al-‘Abbas no. 2865. Syu’aib al-Arnauth menilai status hadits ini hasan karena meski ada rawi yang lemah tetapi dikuatkan oleh rawi lainnya).