“Pendidikan yang bermatlamatkan ilmu tidak memisah-misahkan pelaksanaannya kepada apa yang dikenali masa kini sebagai pendidikan formal, informal, dan non-formal. Ini adalah kerana pengkelasan tersebut boleh menimbulkan andaian bahawa hanya pendidikan formal saja yang penting, yang dua lagi itu tidak sepenting pendidikan formal. Dalam budaya ilmu semua acara pendidikan adalah formal, dari segi sikap dan peranan guru serta pelajar.” (Prof. Wan Mohd Nor Wan Dawud, Budaya Ilmu, Kuala Lumpur: CASIS-HAKIM, 2019)
Masa tanggap darurat pandemi Covid-19 di Indonesia tidak kunjung berakhir dari pertengahan Maret 2020 silam. Bahkan diprediksi akan terus berlangsung sampai akhir tahun ajaran di bulan Juni mendatang. Dampaknya Pemerintah memberlakukan “Belajar dari Rumah” sejak pertengahan Maret silam sampai akhir tahun ajaran di bulan Juni 2020 nanti. Ada “gegar budaya” di hampir sebagian besar orangtua siswa yang belum membudayakan ilmu di rumahnya. Gegar budaya tersebut diperparah dengan minimnya juga budaya ilmu di sekolah atau kalangan gurunya itu sendiri.
Salah satu faktor utama adanya gegar budaya itu adalah karena pemahaman sempit sebagian besar masyarakat bahwa pendidikan itu adalah pendidikan formal; pendidikan di bangku sekolah yang lulusannya mendapatkan ijazah formal. Pendidikan dipahami sebagai kegiatan belajar mengajar matematika, IPA, IPS, bahasa, dan semacamnya. Di luar itu tidak dipahami adanya kegiatan pendidikan. Masih agak mendingan mereka yang memahami bahwa pendidikan mencakup juga pendidikan non-formal, seperti kursus, les, dan bimbel. Tetapi yang dipahami dari pendidikan non-formal tersebut juga ujung-ujungnya yang mendapatkan sertifikat formal untuk meraih satu jabatan atau pekerjaan. Sementara pendidikan non-formal di masjid, madrasah, majelis ta’lim, tidak dianggap sebagai pendidikan. Terlebih lagi pendidikan informal di rumah dan lingkungan masyarakat yang mengarah pada pembentukan mental dan karakter. Kedua ranah pendidikan yang disebutkan terakhir ini sering tidak dianggap sebagai kegiatan pendidikan yang penting, atau bahkan tidak dianggap kegiatan pendidikan sama sekali.
Maka kegagapan, kalang kabut, stress, lelah mental, dan ketidaksiapan untuk membimbing belajar menimpa hampir semua orangtua siswa, termasuk kepada putra-putra mereka sendiri. Hal itu karena sebagian besar mereka selama ini tidak pernah membudayakan belajar dan ilmu di dalam rumah. Yang penting anak pergi berangkat sekolah, lalu ketika pulang terlihat mengerjakan tugas, sudah selesai, itulah pendidikan. Selebihnya dari itu silahkan anak bermain bebas karena mereka sudah mengerjakan kewajiban belajar mereka. Orangtuanya sendiri tidak pernah mau menjadi guru untuk anak-anak mereka di rumah. Akibatnya ketika kegiatan “Belajar di Rumah” diberlakukan terjadilah gegar budaya itu. Masih untung juga tidak sampai gegar otak.
Pemikiran bahwa pendidikan itu adalah “pendidikan formal” ternyata dianut juga oleh sebagian besar guru-guru di sekolah. Didasari keyakinan bahwa itulah kegiatan pendidikan yang utama, maka pendidikan formal pun dipaksakan di rumah, dengan kurikulum sekolah, bahan pelajaran sekolah, dan orangtua dituntut untuk menjadi seperti guru di sekolah. Padahal rumah adalah ranah pendidikan informal, bukan pendidikan formal. Pemaksaan pemberlakuan pendidikan formal di rumah hanya semakin menambah suram wajah pendidikan di Indonesia.
Padahal Surat Edaran dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sudah dilayangkan ke semua sekolah. Bapak Menteri dengan tegas menyatakan:
Belajar dari Rumah melalui pembelajaran daring/jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun keluiusan;
…
Aktivitas dan tugas pembelajaran Belajar dari Rumah dapat bervariasi antarsiswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses/ fasilitas belajar di rumah.
Jadi sangat tidak dianjurkan memberlakukan pendidikan formal dengan kurikulum sekolah di rumah. Belajar di rumah harus disesuaikan dengan minat dan kondisi masing-masing. Entah karena memang pendidikan sekolah selama ini tidak inklusif yang ditandakan dengan pemaksaan penyeragaman standar kompetensi untuk semua anak yang pastinya berbeda-beda, jadinya himbauan Menteri untuk memperhatikan “minat dan kondisi” pun diabaikan begitu saja. Pokoknya anak-anak tetap harus mengikuti pelajaran sekolah sesuai dengan kurikulum yang ada, bahkan tetap ditarget harus sampai halaman sekian meski kondisinya tidak memungkinkan.
Sejak First World Conference on Islamic Education pada 1977 di Jeddah, para pakar pendidikan Islam sudah sepakat bahwa tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk melahirkan seorang “manusia yang baik”, bukan “warganegara yang baik” (S.M. Naquib al-Attas, Aims and Objectives of Islam Education). Maksudnya setiap anak harus dibimbing sesuai minat dan bakatnya untuk menjadi manusia baik menurut tuntunan Islam, bukan baik menurut Negara. Ketika seseorang menjadi manusia baik, otomatis ia akan bermanfaat bagi Negara. Tetapi ketika seseorang baik menurut Negara, belum tentu ia berhasil menjadi manusia baik. Baik menurut Negara standarnya adalah lulus pelajaran UN; Matematika, IPS, IPA, Bahasa Indonesia, PPKN. Sementara baik menurut agama adalah bertauhid, berakhlaq mulia, benar dalam beribadah, memahami al-Qur`an dan sunnah, berbahasa baik (literasi), mampu menghitung hitungan-hitungan pokok yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari (numerasi), memahami fenomena alam dan sosial melalui pembelajaran langsung di dunia nyata, bukan hanya lewat membaca buku atau duduk di kelas.
Pemenuhan standar kompetensi “warganegara yang baik” jelas jauh berbeda dengan “manusia yang baik”. Pemenuhan standar kompetensi “warganegara yang baik” jalurnya hanya pendidikan formal sehingga jalur pendidikan ini dianggap yang utama dan harus diutamakan, untuk tidak dikatakan dipaksakan. Sementara standar kompetensi “manusia yang baik” jalurnya bisa formal, non-formal, dan informal. Oleh sebab itu, Prof. Wan Daud dalam kutipan di awal menegaskan bahwa bagi masyarakat yang sudah berbudaya ilmu maka pendidikan itu tidak akan dikelas-kelas menjadi tiga kelas; formal, non-formal, dan informal. Meskipun secara wujud itu memang ada, tetapi kesemuanya hanya dianggap sebagai ragam pendidikan saja, tidak kemudian dikelas-kelas dengan menempatkan pendidikan formal sebagai pendidikan yang penting, sementara pendidikan non-formal dan informal tidak penting. Bagi masyarakat yang sudah berbudaya ilmu, semuanya akan dianggap “formal”, baik itu pendidikan formal di sekolah; pendidikan non-formal di masjid, madrasah, dan majelis ta’lim; ataupun pendidikan informal di rumah dan lingkungan.
Ketika semuanya dianggap sebagai jalur pendidikan yang penting, maka sebenarnya tidak perlu ada pemaksaan pendidikan formal (sekolah) di wilayah pendidikan informal (rumah). Tidak perlu ada dogma “agar tidak ketinggalan pelajaran sekolah”. Apakah karena “ketinggalan pelajaran sekolah” seorang anak pasti gagal menjadi “manusia yang baik”. Seandainya saja ada data tertulis, pasti hanya sebagian kecil saja anak-anak didik yang benar-benar mampu mengikuti pelajaran sekolah. Mereka adalah anak-anak yang memang dianugerahi “kepintaran formal” (kepintaran dalam pelajaran sekolah). Sisanya mereka yang tidak dianugerahi “kepintaran formal” selalu lebih banyak. Tetapi apakah kemudian mereka dipastikan menjadi manusia gagal di tengah-tengah masyarakat. Jawabannya kembali pada sejauh mana ia berhasil ditempa menjadi “manusia yang baik” di pendidikan formal atau informalnya.
Sebuah kekeliruan besar jika kurikulum “warganegara yang baik” dianggap lebih penting daripada “manusia yang baik”. Seandainya ada datanya, atau minimal memori yang masih akurat, sebenarnya seberapa besar kemanfaatan pelajaran sekolah untuk kehidupan selepas sekolah. Kemanfaatannya memang pasti ada, tetapi tidak pernah menjadi sebuah manfaat yang besar. Kemanfaatan yang besarnya paling ada di melatih daya pikir dan membuka wawasan. Dua hal yang sebenarnya bisa diwujudkan juga dengan tanpa sekolah, asalkan ditempa juga dalam pendidikan non-formal atau informal untuk melatih daya pikir dan membuka wawasan sesuai minat dan bakatnya.
Para pendidik dan orangtua muslim sudah sepantasnya mengingat kembali tujuan dan orientasi pendidikan Islam ini, agar tidak terbawa gegar budaya yang malah semakin menambah stress di masa pandemi Covid-19 ini. Para pendidik dan orangtua muslim sudah sepatutnya adil dalam memberlakukan hierarki pelajaran. Pelajaran wajib adalah yang orientasinya menjadi “manusia yang baik”. Suka tidak suka, pintar atau bodoh, setiap anak harus dipaksa—dengan baik tentunya—untuk menjadi “manusia yang baik”. Sementara pelajaran yang berorientasi menjadi “warganegara yang baik” sifatnya hanya sunat; baik untuk diajarkan. Tetapi jika tidak memungkinkan karena kondisi rumah walau bagaimanapun berbeda dengan sekolah, maka jangan dipaksakan karena statusnya juga tidak wajib.
Momentum Belajar di Rumah harus dimanfaatkan oleh para pendidik dan orangtua muslim untuk mengevaluasi dan meningkatkan kualitas pendidikan menuju “manusia yang baik”. Disiplinkan anak-anak dalam shalat wajib dan shalat sunat, termasuk dzikir-dzikir hariannya. Bukan sebatas diajarkan, tetapi disiplinkan mereka dalam amal nyata. Dekatkan anak-anak dengan al-Qur`an dan buku-buku Islam terutama yang berorientasi keteladanan, sebab kunci pendidikan Nabi saw adalah uswah hasanah (keteladanan). Berikan juga mereka keteladanan dalam nilai-nilai mulia karena itulah kunci keberhasilan pendidikan Nabi saw. Dengan metode itu akan tertanam kesadaran harus bertauhid dan berakhlaq mulia. Biasakan juga anak-anak dengan akhlaq berbakti kepada orangtua, menghormati atau menyayangi saudara, kerjasama dalam mengerjakan tugas rumah, bertanggung jawab dalam kebersihan dan kerapihan, dan sekian nilai-nilai baik lainnya yang menunjang mereka untuk menjadi “manusia yang baik”. Hak anak-anak untuk bermain jangan dikebiri, tetap berikan haknya tetapi dengan mendidik mereka untuk mampu mengatur waktu dengan tugas-tugas lainnya.
Pelajaran sekolah tidak ditinggalkan sama sekali, tetap diberikan dalam kadar yang tidak akan membuat mereka jenuh—dan ini tentunya akan berbeda-beda praktiknya pada setiap anak—sebab bagaimanapun suasana rumah tidak mungkin sama dengan suasana sekolah. Para pendidik juga dituntut untuk memodifikasi dengan serius model pelajaran sekolah tersebut sehingga cocok untuk diterapkan di rumah. Dan ini adalah PR besar para pakar pendidikan, bukan hanya guru-guru di sekolah, sebab tugas memodifikasi metode pengajaran yang ramah rumah memerlukan percobaan berulang-ulang, tidak cukup mengandalkan momentum tanggap darurat Covid-19 saat ini saja. Hanya selama belum ditemukan metode yang tepatnya, sebaiknya pemaksaan pendidikan formal di rumah dihentikan saja. Berikan keleluasaan kepada orangtua untuk memanfaatkan Belajar di Rumah dengan pendidikan informal yang berkualitas, sebab itulah yang bisa menuntun anak-anak mereka menjadi “manusia yang baik”.
Wal-‘Llahul-Muwaffiq