Vonis hukuman mati untuk Ferdy Sambo (13/02/2023) kembali menuai protes dari para pegiat HAM. Narasinya selalu sambil merendahkan dan menghina; hukuman zaman purba, ketinggalan zaman, tidak adil, dan mengambil alih wewenang Tuhan. Sebagian besar dari mereka berstatus muslim yang pastinya tahu bahwa hukuman mati dibenarkan al-Qur`an. Artinya mereka sudah tidak malu lagi menginjak-injak ayat suci al-Qur`an akibat terselubungi ilmu sekular. Padahal hukuman mati dibenarkan oleh konstitusi Indonesia dan konvensi-konvensi internasional. Penolakan hukuman mati belum—dan tidak boleh—menjadi kesepakatan yang universal.
Mereka yang berbaris menyuarakan penolakan hukuman mati masih orang-orang lama, di antaranya Amnesty International Indonesia, Indonesia Police Watch (IPW), hingga Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).
Sebagaimana dikutip dari detik.com (14/02/2023), Amnesty International Indonesia menilai Sambo memang perlu dihukum berat, tapi mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri tersebut tetap punya hak untuk hidup. Maka, hukuman mati tidaklah tepat dijatuhkan untuknya. “Amnesty tidak anti-penghukuman, kami sepakat bahwa segala bentuk kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan aparat negara harus dihukum yang berat tetapi tetap harus adil, tanpa harus menjatuhkan hukuman mati. Ini hukuman yang ketinggalan zaman,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, lewat situs resminya.
“Kami menghormati putusan hakim yang telah berusaha untuk memenuhi rasa keadilan korban dan juga khalayak umum. Namun hakim bisa lebih adil, tanpa harus memvonis mati Sambo,” tegas Usman Hamid.
Kelompok pemerhati kepolisian, IPW, menilai vonis mati terhadap Ferdy Sambo merupakan vonis yang tidak berkeadilan karena hakim tertekan oleh suara masyarakat. IPW menilai perbuatan Sambo memang kejam tapi tidak sadis. Hakim juga seharusnya dapat mempertimbangkan hal-hal yang dapat meringankan hukuman, meliputi sikap Ferdy Sambo yang sopan serta catatan pengabdian dan prestasi selama menjabat. “Putusan mati ini adalah putusan karena tekanan publik akibat pemberitaan yang masif dan hakim tidak dapat melepaskan diri dari tekanan tersebut,” kata Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, dalam keterangan tertulis.
Sementara PGI sebagaimana biasanya selalu mengatasnamakan Tuhan dalam penolakannya untuk hukuman mati ini, seakan-akan mereka adalah satu-satunya wakil Tuhan di bumi dan pihak lainnya dianggap tidak ber-Tuhan. “Hukuman mati adalah sebuah keputusan yang berlebihan mengingat Tuhanlah Pemberi, Pencipta, dan Pemelihara Kehidupan. Dengan demikian, hak untuk hidup merupakan nilai yang harus dijunjung tinggi oleh umat manusia. Dan karenanya, hanya Tuhan yang memiliki hak mutlak untuk mencabutnya,” kata Ketua Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom, dalam keterangan tertulis.
PGI menilai bahwa hukuman mati tidak menimbulkan efek jera. “Saya meragukan pendapat sementara pihak yang menganggap hukuman mati akan memberi efek jera sebagaimana yang dimaksudkan oleh ancaman hukuman mati tersebut. Terbukti kasus narkoba terus meningkat meski negara tekah mengeksekusi mati beberapa pelaku tindak pidana narkoba,” kata Gomar Gultom.
Mahkamah Konstitusi dalam Amar Putusan Nomor 2-3/PUU-V/2007 terkait perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang menetapkan pidana hukuman mati untuk bandar narkoba terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sudah membantah argumentasi para penolak hukuman mati dengan detail, berikut intisarinya.
Pertama, terkait hukuman mati menghilangkan hak hidup sebagai bagian hak asasi manusia, menurut Mahkamah, hak hidup yang dimaksud tentu bukan hak hidup pelaku kejahatan saja, tetapi juga hak hidup korban yang dihilangkan hak hidupnya oleh pelaku kejahatan.
“…bagaimanakah penjelasan yang dapat diterima oleh akal sehat dan rasa keadilan bahwa hak hidup dari pelaku kejahatan pembunuhan berencana, pelaku kejahatan genosida, pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, pelaku kejahatan terorisme – sekadar untuk menunjuk beberapa contoh – harus dimutlakkan dengan mengabaikan hak untuk hidup korban dari kejahatan-kejahatan itu. Kegagalan untuk memberikan penjelasan yang dapat diterima oleh akal sehat dan rasa keadilan atas pertanyaan tersebut mengakibatkan seluruh bangunan argumentasi yang disusun di atas landasan pembelaan atas hak untuk hidup sebagai hak mutlak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun menjadi sangat problematis.” (alinea [3.23].b.i)
Kedua, penolakan hukuman mati telah menihilkan rasa keadilan pihak keluarga korban, sekaligus rasa keadilan masyarakat pada umumnya.
Dengan berlindung di balik argumentasi restorative justice, yang semata-mata melihat pelaku kejahatan (yang diancam dengan pidana mati itu) sebagai “orang sakit yang perlu disembuhkan”, pandangan ini telah mengabaikan fakta bahwa setiap kejahatan – apakah ia termasuk dalam kategori mala in se atau mala prohibita – sesungguhnya adalah serangan terhadap harmoni sosial masyarakat, yang berarti pula bahwa setiap kejahatan pasti menimbulkan “luka” berupa disharmoni sosial pada masyarakat. Makin tinggi kualitas kejahatan makin tinggi pula kualitas disharmoni sosial yang ditimbulkannya pada masyarakat. Sehingga, pertanyaannya kemudian adalah mungkinkah harmoni sosial dalam masyarakat dipulihkan hanya dengan merestorasi pelaku kejahatan yang menimbulkan disharmoni tersebut, sebagaimana yang diyakini oleh mereka yang menentang pidana mati.
Hukuman (pidana) yang dijatuhkan kepada pelaku kejahatan haruslah dilihat juga sebagai upaya untuk mengembalikan harmoni sosial yang terganggu akibat dari kejahatan itu. Keadilan baru dirasakan ada manakala harmoni sosial telah dipulihkan. Artinya, yang membutuhkan upaya-upaya restoratif sesungguhnya adalah masyarakat yang harmoni sosialnya terganggu oleh adanya kejahatan tadi. Dengan demikian, hukuman (pidana) adalah upaya untuk merestorasi disharmoni sosial itu (alinea [3.23].b.ii).
Ketiga, pandangan yang menghendaki dihapuskannya pidana mati yang didasarkan pada alasan ketidaksempurnaan sistem peradilan pidana sehingga memungkinkan terjadinya kekeliruan, yaitu dijatuhkannya pidana mati terhadap orang yang tak bersalah, tidak sepenuhnya dapat diterima, setidak-tidaknya karena dua alasan: (1) penghapusan pidana mati tidak serta merta memperbaiki sistem peradilan pidana, dan (2) tidak ada data valid berapa persen data putusan pidana yang keliru menjadikannya sebagai pembiasan agar masyarakat terpaku pada kekeliruan itu dan melupakan substansi perdebatan yang sesungguhnya yakni mengapa pembelaan hak untuk hidup terhadap pelaku kejahatan yang diancam dengan pidana mati menjadi lebih bernilai daripada pembelaan terhadap hak untuk hidup dari korban kejahatan itu.
Keempat, pandangan yang menghendaki dihapuskannya pidana mati dengan argumentasi bahwa pidana mati telah gagal membangun efek jera dengan mengajukan data-data statistik yang menunjukkan bahwa pidana mati tidak menurunkan kuantitas kejahatan, diragukan kecukupan (sufficiency) nilai argumentatifnya guna mendukung gagasan penghapusan pidana mati, setidak-tidaknya karena dua alasan: (1) Dalam hal negara yang telah menghapuskan pidana mati, data-data tersebut tidak menjawab pertanyaan bagaimana jika pada saat yang sama pidana mati diberlakukan di negara-negara itu, apakah angka-angka kejahatan-kejahatan yang diancam pidana mati itu menurun atau meningkat. (2) Data-data statistik tersebut juga tidak menjawab pertanyaan, bahwa jika dalam keadaan pidana mati masih diberlakukan juga ternyata terjadi peningkatan kuantitas sedemikian, apalagi jika pidana mati tersebut dihapuskan.
Kelima, pandangan bahwa pidana mati bertentangan dengan konstitusi Indonesia dan kovensi internasional tidak bisa dibenarkan karena UUD 1945 yang mengatur hak asasi manusia memiliki filosofi bahwa hak asasi itu tidak tak berbatas, pasti harus dibatasi dengan undang-undang. Di antara undang-undang yang dimaksud tersebut adalah beberapa undang-undang yang menetapkan pidana hukuman mati untuk (1) makar membunuh kepala negara, (2) mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia, (3) memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang, (4) membunuh kepala negara sahabat, (5) pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu, (6) pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati, (7) pembajakan di laut, pesisir, pantai, sehingga mengakibatkan orang mati, (8) menganjurkan huru-hara, pemberontakan, dan sebagainya antara pekerja dalam perusahaan pertahanan negara dalam waktu perang, (9) menipu waktu menyampaikan keperluan angkatan perang, (10) pemerasan dengan pemberatan.
Faktanya juga konvensi internasional belum sepenuhnya bulat menolak pidana hukuman mati. Sebut misalnya: (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR); (2) Protocol Additional I to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflict; (3) Protocol Additional II to the 1949 Conventions and Relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflict; (4) Rome Statute of International Criminal Court; (5) Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms (European Convention on Human Rights); (6) American Convention on Human Rights; dan (7) Protocol No. 6 to the Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms Concerning the Abolition of the Death Penalty.
Mahkamah Konstitusi menegaskan:
“Ketentuan-ketentuan dalam berbagai instrumen hukum internasional di atas menunjukkan bahwa pemberlakuan pidana mati atau penghilangan nyawa dibenarkan sepanjang memenuhi persyaratan-persyaratan atau pembatasan-pembatasan yang ditentukan. Artinya, penghapusan pidana mati belum menjadi norma hukum yang berlaku umum yang diterima oleh masyarakat internasional secara universal. Yang dapat dikatakan sebagai norma hukum demikian adalah pembatasan-pembatasan terhadap pemberlakuan pidana mati tersebut…” (alinea [3.24].b.6)
Pihak Gereja yang selalu membawa-bawa nama Tuhan dalam penolakan hukuman mati seyogianya menghargai Tuhan yang dianut pemeluk agama lain khususnya umat Islam yang lebih mayoritas yang menghendaki adanya hukuman mati bagi pelaku pembunuhan berencana. Bahkan faktanya hukuman mati diajarkan juga oleh Injil, hanya mereka terang-terangan saja menolaknya mengatasnamakan Tuhan. Padahal Tuhan seharusnya tidak membela orang-orang jahat, melainkan seharusnya membela orang-orang yang menjadi korban orang jahat.
Dalam Kitab Keluaran 21:12 tertulis “Siapa yang memukul seseorang sehingga mati, pastilah ia dihukum mati.” Secara keseluruhan dalam Keluaran 21:12-33, ditemukan ada empat jenis kejahatan yang dikenakan hukuman mati oleh Tuhan yaitu, pembunuhan berencana (Kel. 21:12- 14), memukul orang tua (Kel. 21:15), menculik dan mengutuki orang tua (Kel. 21:15-17). Hukuman mati juga dijatuhkan kepada orang yang melakukan praktik-praktik penyimpangan seksual seperti berhubungan seks kepada binatang dan melakukan persetubuhan terhadap sesama jenis (Imamat 20:13); kepada para nabi palsu yang berdusta akan nubuat dari Allah, menyampaikan nubuat palsu yang menyesatkan sehingga umat Tuhan menjadi murtad (Ulangan 13:5); dan hukuman mati bagi yang melanggar hari Sabat (Imamat 24:21).
Umat Islam tidak sepantasnya merendahkan hukuman mati, bahkan seharusnya memperjuangkannya scara ilmiah agar bisa diberlakukan sempurna sebagaimana diwahyukan dalam tata hukum Indonesia. “Siapa yang tidak menetapkan hukum dengan apa yang Allah turunkan maka itulah mereka orang-orang kafir-zhalim-fasiq.” (QS. al-Ma`idah [5] : 44, 45, 47). Wal-‘Llahu a’lam