Tidak Menikah dengan Pasangan Zina

Ustadz maaf ada titipan pertanyaan, ada pasangan zina tetapi perempuannya tidak mau menikah dengan lelaki pasangan zinanya. Bagaimana seharusnya sikap laki-laki tersebut? Apakah ia wajib memberi nafkah kepada anak dan ibu anaknya? 0811-9922-xxxx
Al-Qur`an menegaskan bahwa pezina itu haram menikah dengan kaum mukminin secara umum yang bukan pezina, tentunya dikecualikan kalau pezina itu sudah bertaubat. Maka dari itu jika perempuan pelaku zina itu hendak menikah dengan lelaki lain harus dipastikan dahulu bahwa perempuan tersebut sudah bertaubat dari zinanya.
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةٗ وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٞۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٣
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin (QS. an-Nur [24] : 3).
Firman Allah swt dalam ayat di atas: “atau perempuan/laki-laki musyrik” menunjukkan bahwa pelaku zina tidak wajib menikah dengan pasangan zinanya saja melainkan juga boleh kepada orang lain tetapi harus orang kafir. Jadi kalau perempuan di atas dengan alasannya sendiri tidak mau dinikahi oleh pasangan zinanya, maka ia tidak bersalah dengan pilihannya. Jika ia belum bertaubat, haram dinikahi oleh lelaki yang baik karena hanya boleh oleh pezina lagi atau orang kafir; tetapi jika sudah bertaubat, ia boleh dinikahi oleh lelaki yang baik.
Lelaki yang berzina dengannya tidak punya hak untuk memaksa, karena nikah itu dasarnya ma thaba; yang menyenangkan, yang cocok di hati. Jika merasa tidak thaba; cocok, cinta, senang, maka boleh tidak menikah.
Akan tetapi kewajiban seorang lelaki kepada anaknya—tentunya sesudah terbukti benar bahwa itu adalah anaknya—tidak akan pernah hilang meski ia tidak hidup berumah tangga dengan ibu dari anaknya. Sama halnya dengan kasus perceraian di mana ayah dan ibu dari anak tidak hidup satu atap rumah tangga. Seorang lelaki tetap wajib memberi nafkah kepada anaknya dan memberi upah kepada ibu atau siapapun yang mengurusnya seukuran untuk makan dan pakaiannya.
وَٱلۡوَٰلِدَٰتُ يُرۡضِعۡنَ أَوۡلَٰدَهُنَّ حَوۡلَيۡنِ كَامِلَيۡنِۖ لِمَنۡ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَۚ وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ لَا تُكَلَّفُ نَفۡسٌ إِلَّا وُسۡعَهَاۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةُۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوۡلُودٞ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦۚ
Para ibu (yang bercerai dari suaminya) hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah (yang bercerai dari istrinya) memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seeorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya… (QS. al-Baqarah [2] : 233).
وَإِن كُنَّ أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فَئَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦ لِيُنفِقۡ ذُو سَعَةٖ مِّن سَعَتِهِۦۖ وَمَن قُدِرَ عَلَيۡهِ رِزۡقُهُۥ فَلۡيُنفِقۡ مِمَّآ ءَاتَىٰهُ ٱللَّهُۚ لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا مَآ ءَاتَىٰهَاۚ سَيَجۡعَلُ ٱللَّهُ بَعۡدَ عُسۡرٖ يُسۡرٗا ٧
…Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan (QS. at-Thalaq [65] : 6-7).
Wal-‘Llahu a’lam