Politik

Kritik Atas Rekomendasi Muktamar Fiqih Peradaban NU

Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I yang diselenggarakan Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya, 6 Februari 2023, mengeluarkan rekomendasi menolak khilafah dan mendukung Piagam PBB. NU tampak kritis terhadap konsep khilafah tetapi tidak ke Piagam PBB. NU terlalu sempit memandang khilafah dan malah menyerah begitu saja pada produk pemikiran Barat melalui Piagam PBB. Tawaran Masyumi dari sejak tahun 1943 masih lebih maju daripada NU di awal abad keduanya; Piagam PBB dibingkai oleh syari’at sehingga negara bangsa NKRI tetap bisa eksis dengan tidak mengorbankan syari’at Islam. Piagam PBB yang diislamisasi sudah jauh ditawarkan oleh Masyumi sejak pra-kemerdekaan dan itu luput dari pemikiran NU sampai abad keduanya.

Sebagaimana dilaporkan situs resmi Nahdlatul Ulama (NU) nuonline yang mengangkat judul “Rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I: Menolak Khilafah, Mendukung PBB”, posisi NU yang memilih menentang ajaran khilafah dikemukakan secara terang-terangan. Piagam rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I tersebut dibacakan oleh KH Musthofa Bisri (Gus Mus) dan Yenny Wahid di acara Puncak Resepsi Harlah 1 Abad NU yang digelar di Gelora Delta Sidoarjo, Selasa (7/2/2023).

NU berkeyakinan bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fiqih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara Khilafah harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat. Cita-cita mendirikan kembali negara Khilafah yang dianggap bisa menyatukan umat Islam sedunia, namun dalam hubungan berhadap-hadapan dengan non-Muslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai sebuah aspirasi.

NU beralasan bahwa cita-cita khilafah tersebut hanya akan menyebabkan runtuhnya sistem negara-bangsa serta menyebabkan konflik berbau kekerasan yang akan menimpa sebagian besar wilayah di dunia. Sejarah menunjukkan, kekacauan karena perang pada akhirnya akan selalu didampingi dengan penghancuran yang luas atas rumah ibadah, hilangnya nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga, dan harta benda. NU menyebutkan salah satu contohnya yaitu ISIS di Irak dan Suriah. Upaya mereka untuk membangkitkan khilafah hanya berujung pada konflik yang tidak berkesudahan.

Dalam pandangan NU, cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia (al-ummah al-islamiyyah) adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia, baik muslim atau non-Muslim serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu Adam (ukhuwah basyariyyah).

Dalam pandangan NU, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berikut piagamnya memanglah tidak sempurna dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat ini. Namun demikian piagam PBB itu dimaksudkan sejak awal sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang amat merusak dan praktik-praktik biadab yang mencirikan hubungan internasional sepanjang sejarah manusia. Karena itu, Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk mengembangkan fiqih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis.

Jadi NU secara jujur mengakui bahwa fiqih peradaban hendaknya dibangun di atas dasar Piagam PBB, bukan al-Qur`an dan sunnah dengan segenap khazanah fiqihnya. Meskipun diakuinya Piagam PBB itu belum sempurna, tetapi rupanya masih lebih sempurna daripada al-Qur`an, sunnah, dan khazanah fiqih Islam.

NU juga terang-terangan menghendaki dileburkannya ukhuwwah islamiyyah pada ukhuwwah basyariyyah. Padahal dari sejak awal Islam hadir di bumi tidak pernah ada satu pun ajarannya yang melawan nilai-nilai kemanusiaan. Islam dengan segenap syari’atnya selalu jadi rahmatan lil-‘alamin tanpa harus meleburkan aqidah dan syari’ah Islamnya pada tata nilai kehidupan yang nihil agama bernama kemanusiaan. Dalam adab bertetangga saja sudah jelas batas-batasnya mana saja yang menjadi hak sesama kerabat, hak sesama muslim, dan hak sesama manusia tanpa melihat agamanya. Tetapi itu semua tidak pernah dengan mengorbankan nilai-nilai Islam dari kehidupan demi menyerah pada nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan.

Pandangan NU yang sempit tentang khilafah, ini yang sangat disayangkan. Seyogianya di abad keduanya NU mampu memberikan terobosan ijtihad baru tentang konsep khilafah, tetapi yang ada malah menyempitkannya dalam salah satu pemahaman konsep khilafah klasik dan kemudian menolaknya mentah-mentah untuk kehidupan modern. Padahal ulama besar madzhab Syafi’i seperti Imam an-Nawawi (w. 676 H/1277 M) saja sudah menjelaskan bahwa khilafah itu ada yang sesuai minhajin-nubuwwah (sistem Nabi saw) dan ada juga yang tidak. Baik yang sesuai minhajin-nubuwwah ataupun yang tidak, kedua-duanya wajib ditaati tanpa dibenarkan berbuat separatis (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab an-nas taba’un li Quraisy).

Maka dari itu sepanjang sejarahnya umat Islam selalu menerima kenyataan ada banyak khilafah yang terbagi-bagi di berbagai wilayah dunia tanpa tercatat adanya fatwa jumhur ulama yang harus meleburkannya pada satu negara yang menyatukan semuanya. Meski demikian ide persatuan khilafah-khilafah Islam itu—tanpa harus meleburkan mereka menjadi satu khilafah—tidak mungkin hilang karena itu tuntunan al-Qur`an, sunnah, dan fitrah kemanusiaan. Tidak jauh beda dengan dibentuknya PBB yang ingin menyatukan semua negara di dunia dalam keharmonisan tanpa meleburkan mereka menjadi satu negara khusus.

Satu hal yang menjadi identitas khilafah-khilafah Islam di sepanjang sejarahnya adalah dasar nilai yang sama yakni al-Qur`an dan sunnah. Umat Islam tidak pernah tabu dengan pemikiran yang datang dari luar Islam tetapi harus selalu bisa menyesuaikannya dengan tuntunan al-Qur`an dan sunnah. Bukan malah sebaliknya, tuntunan nilai al-Qur`an dan sunnah malah dipinggirkan dan digantikan dengan nilai-nilai Barat yang nihil agama sebagaimana tertuang dalam Piagam PBB. Perbedaannya pasti kontras. Jika memilih ijtihad seperti NU, maka semua produk budaya Barat akan diterima begitu saja karena sesuai dengan nilai kemanusiaan yang disepakati mayoritas masyarakat dunia, meski harus mengorbankan nilai-nilai yang diajarkan Islam. Contoh nyatanya nikah beda agama, eksistensi LGBT, ekonomi ribawi, demokrasi yang menihilkan syari’at Islam di negara, dan sebagainya. Model ijtihad NU ini hanya akan menihilkan Islam secara bertahap, bukannya menghadirkan Islam di tengah-tengah masyarakat dunia. Semestinya NU mampu menghadirkan konsep khilafah baru yang bisa menghadirkan Islam dalam tatanan masyarakat global bukan malah mereduksinya.

Piagam PBB adalah sebentuk perjanjian bersama antarwarga dunia sebagaimana halnya umat Islam di masa Nabi saw di Madinah dengan warga lainnya melalui Piagam Madinah. Atau yang ditempuh oleh khalifah-khalifah di sepanjang sejarah kekhilafahannya sehingga selalu bisa menciptakan perdamaian dan toleransi. Atau juga yang ditempuh tokoh-tokoh Islam—termasuk NU generasi awal—di Indonesia dengan Piagam Jakarta. Kedudukannya tentu sah sebagaimana diajarkan surat At-Taubah di hampir keseluruhan ayatnya. Akan tetapi perjanjian-perjanjian itu tidak boleh sampai mereduksi Islam hingga harus tunduk pada HAM universal sebagaimana menjadi niatan NU dengan mengadakan Muktamar Internasional Fiqih Peradaban ini (merujuk penjelasan KH. Yahya Cholil Staquf kepada pers sebagaimana diberitakan nuonline).

Umat Islam sudah seyogianya menerima kenyataan bahwa nilai-nilai kehidupan yang ada di dunia ini tidak mungkin dirukunkan semuanya karena ada banyak hal yang pasti akan selalu bertentangan. Ketika terjadi pertentangan tersebut pilihannya hanya dua; Islam tunduk pada nilai non-Islam atau nilai non-Islam yang tunduk pada Islam. Umat Islam sudah sepatutnya memilih Islam ketika ada nilai-nilai yang bertentangan dengan Piagam PBB, bukan menyerah tunduk pada Piagam PBB dengan meminggirkan Islam. Islam jadi rahmatan lil-‘alamin itu dengan menghadirkan “Islam”-nya, bukan dengan menghilangkan “Islam”-nya.

وَلَئِنۡ أَتَيۡتَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ بِكُلِّ ءَايَةٖ مَّا تَبِعُواْ قِبۡلَتَكَۚ وَمَآ أَنتَ بِتَابِعٖ قِبۡلَتَهُمۡۚ وَمَا بَعۡضُهُم بِتَابِعٖ قِبۡلَةَ بَعۡضٖۚ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ إِنَّكَ إِذٗا لَّمِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ ١٤٥

Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zhalim (QS. al-Baqarah [2] : 145).

وَلِكُلّٖ وِجۡهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَاۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ … ١٤٨

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan… (QS. al-Baqarah [2] : 148)

 لِكُلّٖ جَعَلۡنَا مِنكُمۡ شِرۡعَةٗ وَمِنۡهَاجٗاۚ وَلَوۡ شَآءَ ٱللَّهُ لَجَعَلَكُمۡ أُمَّةٗ وَٰحِدَةٗ وَلَٰكِن لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۖ فَٱسۡتَبِقُواْ ٱلۡخَيۡرَٰتِۚ … ٤٨

… Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan… (QS. al-Ma`idah [5] : 48)

Tiga ayat di atas mengingatkan umat Islam bahwa masing-masing kelompok umat manusia memiliki tata nilai kehidupannya sendiri yang sebagian besarnya tidak bisa dipertemukan. Umat Islam kemudian dituntut untuk menjadi umat yang khair (terbaik) dengan fa-stabiqul-khairat. Tetapi bukan dengan tunduk menyerah pada tata nilai yang nihil Islam karena itu semua hanya ahwa (keinginan tanpa ilmu/hawa nafsu tanpa khair) yang hanya akan berujung pada kezhaliman. Camkan. Wal-‘Llahu a’lam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button