Nabi Muhammad ﷺ sudah mengingatkan bahwa zaman sebelum kiamat ditandai dengan krisis kebodohan yang parah. Ilmu agama akan hilang sebagian besarnya seiring dengan wafatnya para ulama dan masyarakat pun menjadi bodoh. Akibatnya tampil pemimpin-pemimpin bodoh yang dengan kebijakannya melegalkan minuman keras dan perzinahan serta disetujui oleh masyarakat yang sudah bodoh. Peringatan Nabi ﷺ tersebut bukan untuk menakut-nakuti umat Islam, melainkan agar mereka waspada dan siap menghadapi krisis kebodohan yang parah menjelang kiamat.
Dalam kitab Shahihnya, Imam al-Bukhari menuliskan beberapa tema bahasan terkait krisis kebodohan di akhir zaman, tepatnya dalam bab tentang ilmu (kitab al-‘ilm), yaitu: (1) Bab raf’il-‘ilm wa zhuhuril-jahl; dicabutnya ilmu dan tampaknya kebodohan dan (2) bab kaifa yuqbadlul-‘ilm; bagaimana dicabutnya ilmu. Hadits-hadits yang Imam al-Bukhari tuliskan adalah:
إِنَّ مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ وَيُشْرَبَ الْخَمْرُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا
Sungguh di antara tanda-tanda kiamat adalah dicabutnya ilmu, kokohnya kebodohan, diminumnya khamer, dan terang-terangannya perzinahan (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab raf’il-‘ilm wa zhuhuril-jahl no. 80).
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ وَيَظْهَرَ الزِّنَا وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ وَيَقِلَّ الرِّجَالُ حَتَّى يَكُونَ لِخَمْسِينَ امْرَأَةً الْقَيِّمُ الْوَاحِدُ
Di antara tanda kiamat adalah sedikitnya ilmu, tampaknya kebodohan, tampaknya perzinaan, banyaknya perempuan dan sedikitnya lelaki, sehingga 50 perempuan diurus seorang lelaki (Shahih al-Bukhari bab raf’il-‘ilm wa zhuhuril-jahl no. 81; Shahih Muslim bab raf’il-‘ilm wa qabdlihi no. 6957).
Hadits terakhir yang redaksinya “sedikitnya ilmu” menjadi penjelas bahwa maksud “dicabutnya ilmu” pada hadits pertama adalah dicabut sebagian besarnya dan masih tersisa hanya sedikitnya saja.
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa maksud “banyaknya perempuan dan sedikitnya lelaki” pada akhir zaman adalah Allah swt menjadikan kaum ibu sedikit melahirkan anak lelaki dan banyak melahirkan anak perempuan sehingga jumlahnya 50 perempuan : 1 laki-laki. Dan ini menurut beliau ada korelasinya dengan sedikitnya ilmu dan tampaknya kebodohan yang menjadi tanda umum dekatnya hari kiamat (Fathul-Bari bab raf’il-‘ilm wa zhuhuril-jahl). Hal tersebut bisa dimaklumi karena memang daya gerak perempuan dalam mengembangkan dan mengajarkan ilmu tidak akan seleluasa kaum lelaki.
Makna dari qayyim itu sendiri adalah “pengurus”. Jadi maksudnya akan ada banyak kaum perempuan sampai bilangan 50 yang diurus oleh seorang lelaki saja. Maknanya bisa dalam pengertian lelaki yang memiliki 50 istri atau selir dan ini terjadi akibat ketiadaan ilmu (kebodohan), bisa juga 50 perempuan itu adalah sebatas yang diurus olehnya tetapi tidak sampai diperistri (Fathul-Bari bab raf’il-‘ilm wa zhuhuril-jahl).
Proses dicabutnya ilmu itu sendiri dijelaskan Nabi saw dengan diwafatkannya para ulama lalu ilmunya tidak dirujuk, sehingga masyarakat yang sudah bodoh dari ilmu agama pun memilih pemimpin-pemimpin yang bodoh.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu secara sekaligus dari hamba-hamba, melainkan mencabut ilmu dengan mencabut (nyawa) para ulama. Sehingga ketika tidak tersisa seorang ulama pun, orang-orang mengangkat tokoh-tokoh yang bodoh, mereka ditanya lalu memberi fatwa tanpa berdasar ilmu, akibatnya mereka sesat dan menyesatkan (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab kaifa yuqbadlul-‘ilm no. 100; Shahih Muslim kitab al-‘ilm bab raf’il-‘ilm wa qabdlihi no. 6971-6974).
Dalam dunia nyata sinyalemen Nabi saw di atas sudah sangat terasa karena nyaris tidak ada seorang ulama pun yang dirujuk dalam hal keilmuannya. Entah itu dunia pendidikan, politik, sosial, atau ekonomi. Rujukan keilmuan yang digunakan dalam dunia nyata adalah tokoh-tokoh yang bodoh dari ilmu agama. Mereka adalah tokoh-tokoh keilmuan Barat yang keilmuannya nihil dari ilmu-ilmu agama. Ilmu bahasa, budaya, sosial, hukum, ekonomi, politik, sains, matematika, dan filsafat tidak ada satu pun yang menjadikan agama sebagai dasarnya. Ilmu agama justru dinilai bukan sebagai ilmu. Agama tidak bisa disepakati sebagai suatu kebenaran oleh masyarakat ilmiah karena wahyu dianggap subjektif pengalaman Nabi saw saja dan tidak bisa dirasakan oleh orang lain selain Nabi saw. Ajaran-ajaran agama tidak bisa diverifikasi oleh panca indera manusia sebagai sebuah kebenaran, karena bagi mereka kebenaran itu harus sesuatu yang bisa dibuktikan oleh akal dan panca indera seluruh masyarakat. Ketika agama tidak bisa memenuhi persyaratan ilmiah tersebut maka akibatnya agama dinilai bukan sebuah ilmu dan tidak pantas dirujuk dalam dunia keilmuan.
Di sinilah dunia menemui krisisnya. Betapa tidak ilmu yang bersumber dari Sang Maha Mengetahui dinilai bukan sebagai ilmu melainkan sebuah kebodohan. Jadinya “maling teriak maling”, yakni orang bodoh yang menuduh orang lain yang tidak bodoh sebagai bodoh. Padahal al-Qur`an sepanjang zamannya sudah menantang siapa pun untuk membuktikan bahwa al-Qur`an bukan dari Allah swt; bisa dengan membuat al-Qur`an tandingan 30 juz, 10 juz, atau minimal 1 surat saja. Atau dengan membuktikan mana ayat-ayatnya yang keliru atau bertentangan. Ketika faktanya tidak ada satu pun manusia yang bisa membuat karya seistimewa al-Qur`an dan membuktikan kekeliruannya, maka sudah seharusnya mereka mengetahui bahwa al-Qur`an benar-benar wahyu yang diturunkan Allah swt. Dalam hal ini persyaratan ilmiah al-Qur`an sebenarnya sudah terpenuhi bagi orang-orang yang berilmu, dan hanya orang-orang bodoh saja yang enggan mengakuinya (rujuk QS. al-Baqarah [2] : 23, an-Nisa` [4] : 82, Yunus [10] : 38, Hud [11] : 13-14, Al-Isra` [17] : 88, At-Thur [52] : 33-34).
Makanya tidak heran jika kemudian lahir pemimpin-pemimpin bodoh sebagai hasil dari pendidikan yang bodoh dari ilmu agama. Pemimpin yang mengeluarkan Peraturan Presiden untuk melegalkan minuman keras atau pemimpin yang melanggengkan KUHP warisan Belanda yang melegalkan zina. Malah hendak diperkuat kembali dengan UU Pencegahan Kekerasan Seksual dan sudah dikuatkan oleh Permendikbud tentang Kekerasan Seksual.
Imam al-Bukhari dalam bab di atas menuliskan dua atsar dari tabi’in untuk dijadikan rencana aksi oleh umat Islam dalam menghadapi krisis kebodohan ini:
وَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إِلَى أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ انْظُرْ مَا كَانَ مِنْ حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَاكْتُبْهُ فَإِنِّي خِفْتُ دُرُوسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ وَلَا تَقْبَلْ إِلَّا حَدِيثَ النَّبِيِّ ﷺ وَلْتُفْشُوا الْعِلْمَ وَلْتَجْلِسُوا حَتَّى يُعَلَّمَ مَنْ لَا يَعْلَمُ فَإِنَّ الْعِلْمَ لَا يَهْلِكُ حَتَّى يَكُونَ سِرًّا
Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz (w. 101 H) menulis surat instruksi kepada Abu Bakar ibn Hazm (w. 120 H): “Seleksilah hadits Rasulullah saw, lalu tulislah. Sungguh saya takut kajian ilmu hilang dan para ulama wafat. Janganlah engkau menerima kecuali hadits Nabi saw. Kemudian sebarkanlah ilmu ini, buatlah majelis-majelis kajian, sehingga orang yang tidak tahu diajari ilmu ini. Sebab sungguh ilmu tidak akan hilang kecuali jika sudah menjadi rahasia.” (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab kaifa yuqbadlul-‘ilm)
Instruksi ini menjelaskan pentingnya sebuah gerakan pemasyarakatan hadits atau merujukkan ilmu pada sumber-sumber aslinya yakni al-Qur`an dan hadits atau yang dalam bahasa populernya “islamisasi ilmu”. Harus banyak ditulis karya-karya ilmiah seputar islamisasi ini sekaligus buku-buku bahan ajarnya. Di samping itu harus banyak diselenggarakan majelis-majelis atau seminar dan penataran untuk islamisasi ini, atau dibuka juga lembaga-lembaga pendidikan yang konsisten dengan islamisasi ilmu sehingga ilmu memasyarakat dan masyarakat pun tidak bodoh lagi dari ilmu agama.
Atsar lainnya yang ditulis Imam al-Bukhari adalah dari seorang ‘ulama tabi’in, Rabi’ah ibn Abi ‘Abdirrahman (w. 136 H):
لَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ عِنْدَهُ شَيْءٌ مِنْ الْعِلْمِ أَنْ يُضَيِّعَ نَفْسَهُ
Tidak layak seseorang yang mempunyai sedikit ilmu untuk menyia-nyiakan dirinya (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab raf’il-‘ilm wa zhuhuril-jahl).
Maksudnya sebagaimana dijelaskan al-Hafizh dalam Fathul-Bari, setiap orang harus mengambil peran sesuai kapasitasnya masing-masing. Bagi yang mampu belajar silahkan belajar meski hanya sedikit ilmu. Bagi yang mampu mengajar, silahkan mengajar meski hanya sedikit ilmu. Bagi yang mampu menulis, silahkan menulis ilmu meski hanya sedikit. Bagi yang mampu membuka lembaga pendidikan, silahkan buka meski tidak harus besar. Bergabunglah dalam gerakan pemasyarakatan ilmu agama sebagaimana dijelaskan Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz di atas dan jangan tersibukkan oleh kesibukan pribadi sehingga mengabaikan penanganan krisis kebodohan ini. Wal-‘Llahu a’lam.