Ketika Anak Meninggal Dunia

Dari sekian musibah kematian yang dialami setiap orang, musibah ditinggal mati anak pasti akan dirasakan sebagai musibah terberat. Sebab siapa pun orangnya pasti akan menjadikan anak kandungnya sebagai orang yang paling dicintai lebih dari suami/istrinya, orang tuanya, dan bahkan dari dirinya sendiri. Sebab suami, istri, dan orang tuanya pun akan lebih mencintai anaknya lebih dari apapun. Maka dari itu tantangan sabarnya sungguh berat. Janji pahalanya pun sungguh besar.

Siapapun orangnya pasti akan mengalami musibah ditinggal mati oleh orang-orang terdekatnya. Tidak mungkin ada yang bisa menghindar. Pilihannya hanya satu; sabar (QS. al-Baqarah [2] : 155-157). Salah satu wujud sabar tersebut adalah tidak menangisi kepergian mereka yang disayangi. Anas ibn Malik ra menjelaskan:

مَرَّ النَّبِيُّ ﷺ بِامْرَأَةٍ تَبْكِي عِنْدَ قَبْرٍ (عَلَى صَبِىٍّ لَهَا) فَقَالَ اتَّقِي اللَّهَ وَاصْبِرِي قَالَتْ إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيبَتِي وَلَمْ تَعْرِفْهُ فَقِيلَ لَهَا إِنَّهُ النَّبِيُّ ﷺ فَأَتَتْ بَابَ النَّبِيِّ ﷺ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِينَ فَقَالَتْ لَمْ أَعْرِفْكَ فَقَالَ إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ الْأُولَى

Nabi saw pernah lewat pada seorang perempuan yang sedang menangis di atas kuburan (riwayat Muslim: anaknya). Beliau lalu bersabda: “Bertaqwalah kamu kepada Allah dan bersabarlah.” Perempuan itu langsung menimpali: “Menjauhlah kamu! Kamu tidak merasakan musibah seperti aku.” Perempuan itu tidak mengetahui bahwa yang berbicara adalah Nabi saw. Setelah dikatakan kepadanya bahwa itu Nabi saw, ia langsung datang menemuinya. Ketika tiba di pintu rumah Nabi saw, ia tidak menemukan para penjaga, maka ia langsung masuk dan berkata: “Aku tadi tidak tahu bahwa itu engkau.” Maka Nabi saw bersabda: “Sabar itu ketika kejadian yang awal.” (Shahih al-Bukhari kitab al-jana`iz bab ziyaratil-qubur no. 1283; Shahih Muslim bab fis-shabr ‘alal-mushibah ‘indas-shadmatil-ula no. 2179).

Hadits ini bahkan menuntut agar dari sejak awal kejadian musibah, maka harus sekuat tenaga menahan tangisan. Meski demikian bukan berarti menangis tidak diperbolehkan sama sekali, Nabi saw sendiri ketika ditinggal mati cucunya, putra dari Zainab ra, beliau bersedih sampai meneteskan air mata. Tetapi beliau saat itu mengajarkan:

أَلَا تَسْمَعُونَ إِنَّ اللهَ لَا يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ وَلَا بِحُزْنِ الْقَلْبِ وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَا وَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِ أَوْ يَرْحَمُ وَإِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

Perhatikanlah! Sungguh Allah tidak akan menyiksa dengan sebab tetesan air mata dan sedihnya hati. Tetapi Dia akan menyiksa dengan sebab ini—sambil menunjuk lisannya—atau merahmati. Dan sungguh orang yang meninggal itu akan disiksa dengan sebab tangisan keluarganya atasnya (Shahih al-Bukhari bab al-buka` ‘indal-maridl no. 1304; Shahih Muslim bab al-buka` ‘alal-mayyit no. 2176).

Imam al-Bukhari sendiri menuliskan atsar dari ‘Umar ibn al-Khaththab terkait kewafatan Khalid ibn al-Walid yang saat itu ditangisi oleh kerabat perempuannya. Seseorang mengusulkan kepada ‘Umar agar melarang kerabat perempuannya menangisi kewafatan Khalid. Tetapi ‘Umar menjawab:

دَعْهُنَّ يَبْكِينَ عَلَى أَبِي سُلَيْمَانَ مَا لَمْ يَكُنْ نَقْعٌ أَوْ لَقْلَقَةٌ

Biarkan mereka menangisi Abu Sulaiman (Khalid) selama tidak ada yang menaburkan tanah ke kepala mereka (tradisi Jahiliyyah—pen) atau menangis dengan suara (Shahih al-Bukhari bab ma yukrahu minan-niyahah ‘alal-mayyit).

Jadi sepanjang tangisannya tidak sampai histeris dan meronta-ronta, maka menangis tersebut dihalalkan. Nabi saw menegur perempuan yang disebutkan dalam hadits Anas ra di atas pastinya karena menangis histeris, sampai setelah putranya dimakamkan pun terus saja menangisinya dan tidak beranjak dari kuburannya, maka dari itu ditegur oleh Nabi saw.

Dalam hadits lain Nabi saw justru mengajarkan agar setiap orang tua yang ditinggal mati anaknya mengucapkan al-hamdu lil-‘Llah; segala puji bagi Allah dan istirja’ (mengucapkan inna lil-‘Llah wa inna ilaihi raji’un), sebab Allah swt dalam semua hal yang Dia tetapkan pasti tidak akan ada yang jelek, akan selalu terpuji untuk-Nya bagaimana pun adanya.

إِذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ اللَّهُ لِمَلَائِكَتِهِ قَبَضْتُمْ وَلَدَ عَبْدِي فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيَقُولُ قَبَضْتُمْ ثَمَرَةَ فُؤَادِهِ فَيَقُولُونَ نَعَمْ فَيَقُولُ مَاذَا قَالَ عَبْدِي فَيَقُولُونَ حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَ فَيَقُولُ اللَّهُ ابْنُوا لِعَبْدِي بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَسَمُّوهُ بَيْتَ الْحَمْدِ

Apabila meninggal anak seorang hamba, Allah bertanya kepada para malaikat-Nya: “Kalian sudah mencabut nyawa anak hamba-Ku?” Malaikat menjawab: “Ya.” Allah bertanya lagi: “Kalian telah mencabut nyawa buah hatinya?” Malaikat menjawab: “Ya.” Allah bertanya: “Apa yang diucapkan hamba-Ku?” Malaikat menjawab: “Ia memujimu dan istirja’ (mengucapkan inna lil-‘Llah wa inna ilaihi raji’un).” Allah berfirman: “Buatkan untuk hamba-Ku itu sebuah istana di surga dan namai ‘baitul-hamdi’ (istana al-hamdu).” (Sunan at-Tirmidzi kitab al-jana`iz bab fadllil-mushibah idza ihtasaba no. 7069).

Dalam hadits Abu Hurairah ra, Nabi saw menjelaskan:

مَا لِعَبْدِي الْمُؤْمِنِ عِنْدِي جَزَاءٌ إِذَا قَبَضْتُ صَفِيَّهُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا ثُمَّ احْتَسَبَهُ إِلَّا الْجَنَّةُ

Tidak ada balasan bagi hamba-Ku yang beriman apabila aku mewafatkan kekasihnya dari penghuni dunia dan ia mengharapkan keridlaan Allah melainkan surga (Shahih al-Bukhari bab al-‘amalil-ladzi yubtagha bihi wajhul-‘Llah no. 6424).

Maksud shafiyyahu di sini adalah siapa saja yang sangat disayangi/dihormati olehnya, bisa anak, istri/suami, orang tua, kerabat dekat, atau teman dekat. Hadits ini juga menjadi penjelas bahwa sabda Nabi saw yang menyebutkan “ditinggalkan oleh dua orang anaknya” atau “tiga orang” tidak berarti membatasi. Pokoknya, satu orang sekalipun, selama itu adalah shafiyyahu, maka sudah termasuk dalam orang yang akan diganjar dengan surga (Fathul-Bari).

Hadits tentang ditinggal mati oleh dua orang anak adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri tentang ceramah khusus Nabi saw kepada kaum ibu-ibu:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَ لَهَا ثَلَاثَةٌ مِنْ الْوَلَدِ كَانُوا حِجَابًا مِنْ النَّارِ قَالَتْ امْرَأَةٌ وَاثْنَانِ قَالَ وَاثْنَانِ

“Perempuan mana saja yang ditinggal mati oleh tiga orang anaknya maka pasti mereka akan menjadi hijab dari neraka.” Seorang perempuan bertanya: “Kalau hanya dua orang anak?” Beliau menjawab: “Demikian juga meski hanya dua orang anak.” (Shahih al-Bukhari bab fadlli man mata lahu walad fa-ihtasaba no. 1249).

Hadits di atas sebatas menjelaskan keistimewaan karena sampai ditinggal mati oleh dua anaknya sekalipun tetap mampu bersabar. Bukan berarti balasan surga itu bagi orang yang sudah ditinggal mati oleh dua anaknya dan kalau baru satu belum layak surga. Hadits Abu Hurairah ra sebelumnya menegaskan bahwa meski baru ditinggal mati seorang anak pun lalu bersabar, balasan surga pasti diperoleh. Hadits dari Qurrah ibn Iyas ini juga menguatkannya:

عن قُرَّة بْن إِيَاس أَنَّ رَجُلًا كَانَ يَأْتِي النَّبِيّ ﷺ وَمَعَهُ اِبْن لَهُ، فَقَالَ : أَتُحِبُّهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ. فَفَقَدَهُ فَقَالَ مَا فَعَلَ فُلَان؟ قَالُوا: يَا رَسُول اللَّه مَاتَ اِبْنه. فَقَالَ : أَلَا تُحِبّ أَنْ لَا تَأْتِي بَابًا مِنْ أَبْوَاب الْجَنَّة إِلَّا وَجَدْته يَنْتَظِرك. فَقَالَ رَجُل: يَا رَسُول اللَّه أَلَهُ خَاصَّة أَمْ لِكُلِّنَا؟ قَالَ : بَلْ لِكُلِّكُمْ

Dari Qurrah ibn Iyas: Ada seorang lelaki datang kepada Nabi saw dengan membawa anak laki-lakinya. Nabi saw bertanya kepadanya: “Apakah kamu mencintainya?” Ia menjawab: “Tentu.” Kemudian beliau merasa lama tidak melihat orang itu. Beliau bertanya: “Apa yang sedang dikerjakan Fulan?” Para shahabat memberitahu: “Wahai Rasulullah, anak laki-lakinya meninggal dunia.” Rasul saw kemudian menjenguknya dan bersabda: “Tidakkah kamu ingin datang ke pintu surga lalu kamu menemukan anakmu ada di sana sedang menunggumu?” Ada seorang lelaki lain bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu khusus baginya, ataukah untuk kami semua juga?” Beliau menjawab: “Bagi kalian semua.” (Al-Hafizh menjelaskan sanadnya shahih. Riwayat Ahmad dan an-Nasa`i dan dishahihkan oleh Ibn Hibban dan al-Hakim).

Teladan kesabaran paripurna ketika ditinggal mati sang buah hati ada pada diri Ummu Sulaim, ibu dari Anas ibn Malik, ketika adik Anas dari ayah kandung Abu Thalhah ra meninggal dunia. Anas ra menceritakan:

مَاتَ ابْنٌ لأَبِى طَلْحَةَ مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ (وَأَبُو طَلْحَةَ خَارِجٌ) فَقَالَتْ لأَهْلِهَا لاَ تُحَدِّثُوا أَبَا طَلْحَةَ بِابْنِهِ حَتَّى أَكُونَ أَنَا أُحَدِّثُهُ – قَالَ – فَجَاءَ فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ عَشَاءً فَأَكَلَ وَشَرِبَ – فَقَالَ – ثُمَّ تَصَنَّعَتْ لَهُ أَحْسَنَ مَا كَانَ تَصَنَّعُ قَبْلَ ذَلِكَ فَوَقَعَ بِهَا فَلَمَّا رَأَتْ أَنَّهُ قَدْ شَبِعَ وَأَصَابَ مِنْهَا قَالَتْ يَا أَبَا طَلْحَةَ أَرَأَيْتَ لَوْ أَنَّ قَوْمًا أَعَارُوا عَارِيَتَهُمْ أَهْلَ بَيْتٍ فَطَلَبُوا عَارِيَتَهُمْ أَلَهُمْ أَنْ يَمْنَعُوهُمْ قَالَ لاَ. قَالَتْ فَاحْتَسِبِ ابْنَكَ. قَالَ فَغَضِبَ وَقَالَ تَرَكْتِنِى حَتَّى تَلَطَّخْتُ ثُمَّ أَخْبَرْتِنِى بِابْنِى. فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَى رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَأَخْبَرَهُ بِمَا كَانَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بَارَكَ اللَّهُ لَكُمَا فِى غَابِرِ لَيْلَتِكُمَا

Anak Abu Thalhah dari Ummu Sulaim (adik tiri Anas) meninggal dunia (riwayat al-Bukhari: ketika Abu Thalhah pergi keluar kota). Ummu Sulaim lalu berkata kepada keluarganya: “Kalian jangan memberitahu Abu Thalhah terkait putranya hingga aku sendiri yang memberi tahunya.” Ketika Abu Thalhah pulang, Ummu Sulaim menghidangkan makan malam, dan Abu Thalhah pun makan lalu minum. Ummu Sulaim juga berdandan cantik lebih cantik dari sebelum-sebelumnya. Abu Thalhah pun kemudian tidur dengannya. Ketika Ummu Sulaim melihat suaminya sudah kenyang dan sudah cukup tidur dengannya ia baru berkata: “Wahai Abu Thalhah, bagaimana menurut anda seandainya ada satu kaum yang meminjamkan satu pinjaman kepada satu keluarga kemudian mereka meminta agar pinjamannya dikembalikan, apakah keluarga itu berhak menolaknya?” Abu Thalhah menjawab: “Tentu tidak boleh.” Ummu Sulaim berkata: “Maka harapkanlah pahala untuk putra anda.” Anas berkata: Abu Thalhah marah dan berkata: “Kenapa kamu tidak memberitahuku, hingga ketika aku sudah berhadats kamu baru memberitahukan kematian putraku?” Abu Thalhah pun kemudian pergi menemui Rasulullah saw dan mengadukan hal tersebut kepada beliau. Tetapi beliau malah bersabda: “Semoga Allah memberkahi kalian pada malam tadi.” (Shahih Muslim bab min fada`il Abi Thalhah no. 6476).
Anas menceritakan lebih lanjut:

قَالَ فَحَمَلَتْ… فَوَلَدَتْ غُلاَمًا فَقَالَتْ لِى أُمِّى يَا أَنَسُ لاَ يُرْضِعُهُ أَحَدٌ حَتَّى تَغْدُوَ بِهِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ . فَلَمَّا أَصْبَحَ احْتَمَلْتُهُ فَانْطَلَقْتُ بِهِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ – قَالَ – فَصَادَفْتُهُ وَمَعَهُ مِيسَمٌ فَلَمَّا رَآنِى قَالَ لَعَلَّ أُمَّ سُلَيْمٍ وَلَدَتْ. قُلْتُ نَعَمْ. فَوَضَعَ الْمِيسَمَ – قَالَ – وَجِئْتُ بِهِ فَوَضَعْتُهُ فِى حَجْرِهِ وَدَعَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِعَجْوَةٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلاَكَهَا فِى فِيهِ حَتَّى ذَابَتْ ثُمَّ قَذَفَهَا فِى فِى الصَّبِىِّ فَجَعَلَ الصَّبِىُّ يَتَلَمَّظُهَا – قَالَ – فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ انْظُرُوا إِلَى حُبِّ الأَنْصَارِ التَّمْرَ. قَالَ فَمَسَحَ وَجْهَهُ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللَّهِ

Kemudian Ummu Sulaim hamil… Kemudian ia melahirkan anak lelaki. Ibuku berkata kepadaku: “Wahai Anas, jangan ada yang menyusuinya seorang pun hingga besok kamu bawa dahulu bayi ini kepada Rasulullah saw.” Keesokan harinya aku menggendongnya dan membawanya kepada Rasulullah saw. Aku berpapasan dengan beliau ketika beliau memegang misam (besi panas untuk menandai unta). Ketika melihatku beliau bertanya: “Bisa jadi Ummu Sulaim sudah melahirkan.” Aku menjawab: “Ya.” Beliau lalu meletakkan misam dan aku menyimpan bayi itu di pangkuan beliau. Rasulullah saw kemudian meminta kurma ajwah Madinah, lalu beliau mengunyahnya di mulut beliau hingga lembut, kemudian memasukkannya ke mulut bayi tersebut hingga bayi tersebut menggerak-gerakkan lidahnya untuk menyerap sari kurmanya. Rasulullah saw bersabda: “Lihatlah bagaimana orang Anshar begitu menyukai kurma.” Beliau lalu mengusap wajahnya dan menamai bayi tersebut ‘Abdullah (Shahih Muslim bab min fada`il Abi Thalhah no. 6476).
Dalam riwayat al-Bukhari, Anas ra menjelaskan:

فَلَمَّا رَأَتْ امْرَأَتُهُ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ هَيَّأَتْ شَيْئًا وَنَحَّتْهُ فِي جَانِبِ الْبَيْتِ فَلَمَّا جَاءَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ كَيْفَ الْغُلَامُ قَالَتْ قَدْ هَدَأَتْ نَفْسُهُ وَأَرْجُو أَنْ يَكُونَ قَدْ اسْتَرَاحَ وَظَنَّ أَبُو طَلْحَةَ أَنَّهَا صَادِقَةٌ قَالَ فَبَاتَ فَلَمَّا أَصْبَحَ اغْتَسَلَ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَخْرُجَ أَعْلَمَتْهُ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ فَصَلَّى مَعَ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ أَخْبَرَ النَّبِيَّ ﷺ بِمَا كَانَ مِنْهُمَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يُبَارِكَ لَكُمَا فِي لَيْلَتِكُمَا قَالَ سُفْيَانُ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فَرَأَيْتُ لَهُمَا تِسْعَةَ أَوْلَادٍ كُلُّهُمْ قَدْ قَرَأَ الْقُرْآنَ

Ketika istri Abu Thalhah melihat putranya sudah meninggal dunia, maka ia menyiapkan sesuatu dan menempatkannya di sisi lain rumahnya. Lalu ketika Abu Thalhah pulang ia bertanya: “Bagaimana keadaan anak kita?” Istrinya menjawab: “Dirinya telah tenang dan aku berharap ia sungguh telah beristirahat.” Abu Thalhah mengira apa yang dikatakan istrinya benar (sebagaimana asumsinya). Abu Thalhah pun tidur. Di shubuh harinya Abu Thalhah mandi. Ketika hendak keluar, istrinya baru memberi tahunya dengan jelas bahwa putranya sudah meninggal dunia. Abu Thalhah lalu shalat bersama Nabi saw kemudian memberi tahu beliau apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rasulullah saw bersabda: “Semoga Allah memberkahi kalian pada malam kalian berdua tadi.” Sufyan (ibn ‘Uyainah—wafat: 198 H) berkata: “Seorang shahabat Anshar berkata: Aku melihat dari anak tersebut lahir sembilan orang putra yang semuanya hafal al-Qur`an.” (Shahih al-Bukhari bab man lam yuzhhir husnahu ‘indal-mushibah no. 1301).
Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa hadits di atas:

دَلِيل لِكَمَالِ عِلْمهَا وَفَضْلهَا وَعِظَم إِيمَانهَا وَطُمَأْنِينَتهَا

Dalil kesempurnaan ilmu dan keutamannya (Ummu Sulaim), juga betapa tinggi keimanan dan ketenangannya (Syarah Shahih Muslim).

Hadits di atas juga menunjukkan kebolehan menggunakan kata-kata kiasan tanpa bermaksud berbohong meski diasumsikan berbeda oleh lawan bicara. Tujuannya untuk tidak membuat terkejut lawan bicara, melainkan tetap tenang dalam pembicaraan.