Balada Masyarakat Sampah
Nabi saw sudah mengingatkan bahwa akan tiba masanya ketika banyak orang shalih meninggal dunia maka mayoritas masyarakat akan menjadi masyarakat sampah. Seyogianya meski sudah meninggal, orang-orang shalih itu dijadikan rujukan dan teladan. Nyatanya malah lebih senang merujuk dan meneladani orang-orang yang tidak shalih. Siksa Allah swt sangat rentan turun kepada masyarakat sampah seperti itu.
Merasa bangganya sebagian masyarakat dengan perilaku LGBT sampai dikampanyekan melalui media; terang-terangannya dunia internasional merendahkan umat Islam Indonesia yang menolak LGBT dengan memasang bendera pelangi yang merupakan simbol utama LGBT di kantor Kedubes Inggris; sikap sebagian tokoh yang malah membiarkan kampanye LGBT dengan dalih demokrasi dan belum diatur dalam hukum Indonesia; Ustadz Abdul Somad yang tegas dalam menyuarakan haq dan bathil dianggap intoleran dan radikal sehingga dilarang masuk oleh Singapura ke wilayahnya disertai tidak ada pembelaan dari Pemerintah RI kepadanya; semua ini merupakan potret betapa rendah dan hinanya masyarakat umum pada zaman ini. Nilai-nilai haq tidak dijadikan acuan, malah membenarkan nilai-nilai bathil. Norma-norma haq dan bathil dari Allah swt sudah diabaikan begitu saja dan malah mengikuti hawa nafsu untuk sejalan dengan norma-norma masyarakat Barat yang notabene kafir.
Penyebutan “masyarakat sampah” di sini merujuk pada hadits Nabi saw:
يَذْهَبُ الصَّالِحُونَ الْأَوَّلُ فَالْأَوَّلُ وَيَبْقَى حُفَالَةٌ كَحُفَالَةِ الشَّعِيرِ أَوْ التَّمْرِ لَا يُبَالِيهِمْ اللهُ بَالَةً
Akan meninggal orang-orang shalih satu per satu. Dan tersisalah orang-orang yang rendah seperti cangkang gandum sya’ir atau kurma yang dibuang. Allah tidak akan memperhatikan mereka sedikit pun (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab dzhabis-shalihin no. 6434).
Hadits di atas di satu riwayat menyebut hutsalah, di riwayat lain hufalah. Kedua kata tersebut bermakna sama. Al-Khaththabi menjelaskan bahwa hutsalah/hufalah adalah segala sesuatu yang rendah atau hina. Ulama lain menjelaskan maknanya adalah yang tersisa terakhir dari gandum atau kurma. Ibnut-Tin menyatakan bahwa hufalah itu artinya “manusia-manusia yang rendah” berasal dari hufalah yang berarti kulit kurma atau gandum yang dikelupas dan dibuang. Ad-Dawudi juga menyatakan bahwa makna hutsalah/hufalah adalah kulit gandum atau biji kurma yang dibuang. Kesimpulannya adalah sesuatu yang hina, dibuang, yakni sampah (Fathul-Bari).
Kriteria dari masyarakat sampah sebagaimana disinggung dalam hadits di atas adalah masyarakat yang sudah ditinggalkan atau tidak tersisa lagi orang-orang shalihnya. Itu disebabkan ketika orang-orang shalihnya meninggal dunia, tidak ada generasi sesudahnya yang melanjutkan keshalihan mereka. Dalam riwayat lain Nabi saw menjelaskan:
قَالَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : كَيْفَ أَنْتَ يَا عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍو فِي حُثَالَةٍ مِنَ النَّاسِ؟ قَالَ: وَذَاكَ مَا هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: ذَاكَ إِذَا مَرَّجَتْ أَمَانَتَهُمْ وَعُهُوْدَهُمْ وَصَارُوْا هَكَذَا وَشَبَّكَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ. قَالَ: فَكَيْفَ تَرَى يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: تَعْمَلُ مَا تَعْرِفُ وَتَدَعُ مَا تُنْكِرُ وَتَعْمَلُ بِخَاصَّةِ نَفْسِكَ وَتَدَعُ عَوَامَّ النّاَسِ.
Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw pernah bertanya: “Bagaimana kamu hai ‘Abdullah ibn ‘Amr apabila berada di tengah-tengah masyarakat sampah?” Ia balik bertanya: “Siapa mereka itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Mereka itu adalah orang-orang yang menyelewengkan amanah dan janji mereka, lalu mereka seperti ini. Beliau menjalinkan jari-jarinya.” Ia bertanya lagi: “Lalu bagaimana menurut anda wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Kamu amalkan apa yang kamu tahu dan tinggalkan apa yang kamu ingkari. Kamu beramal sesuai kekhususan dirimu dan tinggalkanlah orang-orang awam.” (Shahih Ibn Hibban bab ma ja`a fil-fitan dzikr ma yajibu ‘alal-mar`i an yakuna ‘alaihi fi akhiriz-zaman [apa yang wajib atas seseorang untuk ditempuhnya di akhir zaman] no. 5951).
Hadits di atas menurut al-Hafizh Ibn Hajar sama dengan hadits tentang ‘wafatnya ulama dan digantikan oleh pemimpin-pemimpin yang bodoh’ yang menjadi pertanda kiamat semakin dekat (Fathul-Bari). Artinya menjelang hari kiamat tiba, zaman akan semakin bobrok, dan itu ditandakan dengan masyarakat sampah yang sudah menyingkirkan norma-norma yang diajarkan orang-orang shalih dan para ulama.
Maka dari itu, al-Hafizh Ibn Hajar menegaskan, sudah seyogianya manusia tidak mengabaikan nilai-nilai yang diajarkan orang-orang shalih dan para ulama agar tidak menjadi orang-orang yang diabaikan oleh Allah swt. Berkiblat kepada Barat dan mencampakkan syari’at Islam dalam hal LGBT, minuman keras, keharaman syirik dan kufur, tatanan ekonomi, dan sekian norma dalam kehidupan sosial bermasyarakat sama saja dengan merelakan diri untuk menjadi masyarakat sampah yang akan diabaikan oleh Allah swt.
Maksud dari diabaikan oleh Allah swt itu sendiri adalah masyarakat yang akan terkena adzab-Nya. Berdasarkan firman Allah swt:
﴿قُلْ مَا يَعْبَأُ بِكُمْ رَبِّي لَوْلَا دُعَاؤُكُمْ فَقَدْ كَذَّبْتُمْ فَسَوْفَ يَكُونُ لِزَامًا٧٧﴾
Katakanlah (kepada orang-orang musyrik): “Tuhanku tidak mengindahkan kamu, melainkan kalau ada ibadahmu. (Tetapi bagaimana kamu beribadah kepada-Nya), padahal kamu sungguh telah mendustakan-Nya? karena itu kelak (adzab) pasti (menimpamu)” (QS. al-Furqan [25] : 77).
Adzab dari Allah swt itu juga tidak harus selalu berupa bencana besar yang membinasakan semua masyarakat seperti halnya adzab kepada kaum Nabi Nuh, Hud, dan Shalih ‘alaihimus-salam, tetapi semua hal yang berupa siksa kepada mereka para penganjur maksiat. Kaum LGBT yang rentan dengan penyakit parah adalah di antara adzab tersebut. Bermunculannya wabah dari virus-virus baru juga bagian dari adzab tersebut. Krisis ekonomi yang tidak berkesudahan termasuk salah satu adzab tersebut. Lebih jelasnya Allah swt menyatakan dalam salah satu firman-Nya:
قُلۡ هُوَ ٱلۡقَادِرُ عَلَىٰٓ أَن يَبۡعَثَ عَلَيۡكُمۡ عَذَابٗا مِّن فَوۡقِكُمۡ أَوۡ مِن تَحۡتِ أَرۡجُلِكُمۡ أَوۡ يَلۡبِسَكُمۡ شِيَعٗا وَيُذِيقَ بَعۡضَكُم بَأۡسَ بَعۡضٍۗ ٱنظُرۡ كَيۡفَ نُصَرِّفُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَفۡقَهُونَ
Katakanlah: “Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu atau dari bawah kakimu atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian kamu keganasan sebahagian yang lain. Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya)” (QS. al-An’am [6] : 65).
Fakta bahwa masyarakat sampah selalu mengekor pada paradigma dan budaya Barat adalah salah satu bentuk adzab ‘mencampurkan kamu sehingga saling bertentangan’. Negara-negara Barat yang selalu terjebak pada utang yang besar dan perang di sesama mereka juga di antara bentuk adzab tersebut. Negara Barat dan para pengekornya yang tidak pernah lepas dari kehancuran moral, seksual, dan tatanan keluarga juga di antara bentuk adzab tersebut. Di samping tentu ada adzab-adzab lainnya yang sudah dijanjikan Allah swt dan Dia tidak mungkin menyalahi janji-Nya.
Umat Islam yang sudah menjalani hidup bermasyarakat bersama masyarakat sampah sudah seyogianya mengamalkan nasihat Nabi saw di atas. Jadilah orang yang teguh pendirian dalam hal kebaikan dan keburukan. Jangan terbawa arus oleh budaya masyarakat sampah. Biarlah dianggap oleh masyarakat umum sebagai orang aneh. Pokoknya diri sendiri tetap teguh dengan prinsip kebenaran yang diajarkan orang-orang shalih dan para ulama. Wal-‘Llahu a’lam