Keresahan Pendidik Barat Akibat HAMAS

Keresahan Pendidik Barat Akibat HAMAS

Tampilnya beberapa, malah menimbulkan keresahan di kalangan professor pendidik di Amerika Serikat akan minimnya pendidikan moral di kampus-kampus mereka. Para professor itu menegaskan bahwa pembenaran terhadap HAMAS menunjukkan turunnya standar pendidikan moral di kalangan mahasiswa.

Media terkemuka di AS, The New York Times, pada 17 Oktober silam menurunkan sebuah artikel berjudul “The Moral Deficiencies of a Liberal Education” (Kemerosotan Moral pada Pendidikan Liberal) yang ditulis oleh Yehezkiel J. Emanuel, seorang Wakil Rektor di University of Pennsylvania yang juga Profesor bidang etika medis dan kebijakan kesehatan. Dalam mengawali tulisannya Emanuel menulis: “We have failed” (kita telah gagal). Yang ia rujuk adalah tampilnya beberapa organisasi mahasiswa Harvard sampai berjumlah 34 organisasi yang menyuarakan Israel sepenuhnya bertanggung jawab atas banyaknya korban dari warga Palestina. Demikian halnya beberapa organisasi mahasiswa lainnya dari kampus-kampus ternama Amerika yang menyalahkan sepenuhnya Israel atas aksi HAMAS pada 7 Oktober 2023 dan bahkan sebagiannya terang-terangan memuji aksi HAMAS. Voice of America di antaranya mewawancarai gerakan mahasiswa serupa di Columbia University dan New York University. Atas fakta ini, Emanuel menegaskan: “something is deeply wrong at America’s colleges and universities” (ada sesuatu yang salah di perguruan tinggi dan universitas di Amerika).

Emanuel tentunya menyatakan bahwa tidak semua mahasiswa bersikap pro-HAMAS atau anti-Israel. Akan tetapi fakta bahwa banyak mahasiswa yang bersikap demikian dari kalangan perguruan tinggi ternama mengindikasikan ada “profound concern” (keprihatinan yang besar) dalam dunia pendidikan tinggi Barat. Semuanya ini menunjukkan “their moral obliviousness and the deficiency of their educations” (ketidakpedulian moral dan kemerosotan pendidikan mahasiswa). Akan tetapi ia menyatakan: “But the deeper problem is not them. It is what they are being taught — or, more specifically, what they are not being taught” (Namun masalah terbesarnya bukan pada mereka. Masalahnya adalah pada apa yang diajarkan kepada mereka atau, lebih khusus lagi, apa yang tidak diajarkan kepada mereka).

Bagi Emanuel, “The Hamas massacre is the easiest of moral cases” (“pembantaian” yang dilakukan HAMAS adalah contoh penyimpangan moral yang sangat mudah dipahami). HAMAS terbukti menyerang secara brutal kepada masyarakat yang sedang menghadiri konser musik yang tidak terkait dengan konflik Palestina-Israel selama beberapa decade. Beberapa di antaranya penduduk dari Thaliland, Nepal, dan 12 warga nagara lain di luar Israel. HAMAS membunuh mereka dan kemudian menawan sebagiannya untuk dijadikan daya tawar dalam perundingan dengan Israel.

Maka tampilnya organisasi-organisasi mahasiswa yang mengutuk Israel dan sekaligus membela HAMAS, bagi Emanuel, adalah sebuah bukti nyata kemerosotan moral dalam dunia pendidikan mereka. Mahasiswa sudah tidak bisa membedakan lagi mana yang benar dan mana yang salah dari segi etika. Dengan tegas, Emanuel menyatakan:

“We in the academy need to look more deeply at how it is possible that so many undergraduates, graduate students, law students and faculty at our nation’s finest colleges and universities could have such moral blinders”

(Kita di akademi perlu melihat lebih dalam bagaimana mungkin begitu banyak sarjana, mahasiswa pascasarjana, mahasiswa hukum dan dosen di perguruan tinggi dan universitas terbaik di negara kita bisa mengalami kebutaan moral seperti itu).

Lebih lanjut Emanuel menjelaskan bahwa pendidikan liberal (sebagaimana dianut oleh AS dan negara-negara Barat setelah mereka berlepas diri dari agama—pen) bukan pendidikan yang hampa nilai-nilai pendidikan moral. Akan tetapi pendidikan yang tetap melibatkan penanaman nilai-nilai moral tetapi dengan basis yang logis (dipahami akal—bukan didasarkan pada dogma-dogma keagamaan—pen). American Association of Colleges and Universities menggambarkan pendidikan liberal sebagai pendidikan yang: “empowers individuals with core knowledge and transferable skills and cultivates social responsibility and a strong sense of ethics and values.” (memberdayakan individu dengan pengetahuan inti dan keterampilan yang dapat ditransfer serta menumbuhkan tanggung jawab sosial dan rasa etika dan nilai yang kuat).

Maka dari itu di pintu masuk Harvard Yard melalui Gerbang Dexter, sebuah prasasti bertuliskan: “Enter to grow in wisdom.” (Masuk untuk bertumbuh dalam kebijaksanaan). Di jalan keluarnya tertulis: “Depart to serve better thy country and thy kind” (Berangkat untuk melayani negara dan bangsamu dengan lebih baik). Demikian halnya dengan motto dari Universitas Princeton: “In the nation’s service and the service of humanity” (Melayani negara dan kemanusiaan).

Bagi umat Islam di seluruh dunia, dan bahkan bagi bangsa manusia mayoritas, kegelisahan para professor pendidikan di Amerika itu berbeda terbalik 180 derajat dengan apa yang mereka yakini. Justru yang menggelisahkan itu jika para penganjur moral membela Israel atas nama moral dan etika. Yang buta moral dan etika itu yang tidak bisa membedakan kesalahan Israel menjajah tanah Palestina dan kebenaran bangsa Palestina yang melawan penjajah di tanah air mereka sendiri.

Apa yang disuarakan professor pendidikan dari AS tersebut kemungkinannya dilatarbelakangi dua hal:

Pertama, mereka adalah korban pencitraan terbalik oleh Pemerintah AS dan media-media yang mendukungnya dimana Israel selalu didudukkan sebagai bangsa yang mengalami penindasan paling mengerikan dalam sejarah manusia (dikenal dengan holocaust) sehingga mereka berhak memiliki negara di tanah Palestina, karena wilayah yang penduduk Yahudinya paling banyak adalah tanah Palestina. Mereka kemudian memenangi perang dengan bangsa Arab yang menentangnya sehingga mereka berhak berkuasa atas 2/3 tanah Palestina seperti saat ini. Siapa saja yang menentangnya berarti separatis atau teroris yang tidak mengakui keabsahan satu negara yang sah dan sudah disahkan oleh PBB. HAMAS dan semua faksi pejuang Palestina pasti dikategorikan sebagai kelompok teroris karena menghalalkan cara-cara brutal dalam menyerang penduduk dan wilayah Israel.

Dalam hal pencitraan terbalik inilah kalangan mahasiswa yang kritis sudah berhasil membalikkannya kembali. Salah besar kalau bangsa Yahudi berhak mendirikan negara di atas tanah air orang lain dan dengan kekerasan senjata atau pembantaian massal terhadap penduduk asli Palestina. Perang yang mereka lakukan terhadap bangsa Arab adalah pembantaian massal paling tidak manusiawi dalam sejarah manusia modern dan lebih parah daripada holocaust yang dialami bangsa Yahudi sendiri di Eropa. Apa yang dilakukan kesatuan militer Palestina adalah sebuah perjuangan untuk merampas kembali apa yang dirampas oleh penjajah. Perjuangan kemerdekaan yang dilakukan HAMAS dan brigade lainnya sama dengan perjuangan para pejuang kemerdekaan di seluruh dunia yang justru diaminkan oleh Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) pada 10 Desember 1948 beberapa bulan setelah Israel memproklamirkan diri secara ilegal. Mereka yang tidak mendukung perjuangan para pejuang kemerdekaan adalah yang berkhianat terhadap hak asasi manusia, untuk tidak disebut bukan manusia sama sekali. Meski dalih-dalih busuk tersebut dibungkus oleh professor pendidikan dengan kain etika dan moral.

Seruan moral para professor pendidikan tersebut tak ubahnya suara kaum tua yang tidak melek dengan fakta sebenarnya karena sudah terjebak dengan alam pikiran masa lalu yang menyesatkan. Hal berbeda tidak dialami kalangan mahasiswa sebagai kaum muda yang selalu berusaha kritis dan memahami persoalan secara jujur dan bertanggung jawab.

Kemungkinan kedua adalah kebebalan berpikir yang menghinggapi sebagian besar masyarakat Barat untuk selalu memilih berbeda dengan umat Islam. Jika umat Islam mendukung Palestina, maka secara sadar mereka memilih untuk berbeda dengan mendukung Israel disertai dalih-dalih pemikiran yang bebal. Kebebalan berpikir seperti itu adalah bentuk diabolisme (pemikiran setan). Setan ketika disuruh sujud kepada Adam oleh Allah swt padahal jelas Dia swt sendiri yang memerintahnya malah memilih menyalahinya dengan mengemukakan dalih berpikir yang bebal. Semiliar argumentasi ilmiah yang dikemukakan sekalipun, bagi yang pemikirannya bebal, tetap saja tidak mau menerimanya, melainkan malah membungkusnya dengan kain-kain moral dan etika, seakan-akan mereka sangat bermoral dan beretika dengan pemikiran bebal mereka.

Kebebalan berpikir professor pendidikan seperti diulas di atas tidak perlu terlalu menggelisahkan umat Islam, malah harus semakin menguatkan keyakinan bahwa seperti itulah fakta dan kenyataan yang harus dihadapi umat Islam dengan sigap dan penuh kewaspadaan. Allah swt sudah mengingatkan:

وَلَئِنۡ أَتَيۡتَ ٱلَّذِينَ أُوتُواْ ٱلۡكِتَٰبَ بِكُلِّ ءَايَةٖ مَّا تَبِعُواْ قِبۡلَتَكَۚ وَمَآ أَنتَ بِتَابِعٖ قِبۡلَتَهُمۡۚ وَمَا بَعۡضُهُم بِتَابِعٖ قِبۡلَةَ بَعۡضٖۚ وَلَئِنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم مِّنۢ بَعۡدِ مَا جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِ إِنَّكَ إِذٗا لَّمِنَ ٱلظَّٰلِمِينَ  ١٤٥

Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) semua ayat (keterangan/bukti yang nyata), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamu pun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian mereka pun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu — kalau begitu — termasuk golongan orang-orang yang zhalim (QS. al-Baqarah [2] : 145).

Wal-‘Llahul-Muwaffiq ila aqwamit-thariq

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *