Karena Salafi Menutup Diri

Perdebatan israf seputar musik yang kembali viral berpangkal dari sikap kelompok Salafi yang menutup diri dari ijtihad kelompok Khalaf. Padahal jika dasarnya hadits-hadits dan fatwa para ulama yang mengharamkan, penulisan kitab dan kegiatan belajar setiap hari pun dilarang. Tetapi faktanya kelompok Salafi banyak menulis kitab dan menyelenggarakan kegiatan belajar setiap hari di lembaga pendidikannya. Dalam persoalan duniawi, dalil dan fatwa yang mengharamkan selalu terbuka untuk dikontekstualisasi dengan pertimbangan maslahat. Ini adalah fakta fiqih yang tidak sepantasnya ditutup-tutupi dengan vonis ‘menyimpang’.
Salafi yang dimaksud dalam tulisan ini tentunya Salafi yang menutup diri dari fiqih madzhab Khalaf. Sesuatu hal yang sebenarnya berlaku juga pada kelompok Khalaf yang banyak menutup diri dari fiqih Salafi. Hanya dalam konteks musik—tentunya terpengaruh subjektifitas penulis—mereka yang bermadzhab Khalaf relatif terbuka mengakomodir pendapat Salafi sehingga dijadikan kriteria musik yang haram. Hal yang sama tidak ditemukan di kalangan Salafi yang kukuh menutup diri bahwa musik haram secara mutlak. Kalaupun ada rukhshah hanya berlaku pada hari ‘Id dan pernikahan, tidak ada selain dua itu. Pendapat Khalaf yang memberi celah sedikit untuk kehalalan musik selama tidak mengandung ‘illat (sebab) keharaman selalu tidak bisa diterima dengan dibenturkan pada hadits-hadits dan fatwa para ulama yang mengharamkan. Maka selamanya akan selalu berbenturan dan tidak akan pernah selesai hingga Salafi menghargai eksistensi fiqih Khalaf dan mengakuinya sebagai bagian dari khazanah Islam yang harus dihargai dengan toleransi.
Islam sudah mewariskan dua khazanah madzhab besar yakni Salaf (generasi awal) dan Khalaf (generasi berikutnya). Perbedaannya terletak pada hal penerimaan bid’ah (perkara baru) dalam berbagai bentuk dan kadarnya. Ulama Salaf secara umum menolak bid’ah dengan tegas apapun bentuk dan kadarnya. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari mencontohkan kegiatan ta’lim rutin setiap hari, pembukuan tafsir, hadits, fiqih, akhlaq, dan pengkajian ilmu kalam. Akan tetapi generasi Khalaf menerimanya dalam batas-batas tertentu karena tuntutan kemaslahatan umat. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam hal ini menyatakan:
فَالسَّعِيد مَنْ تَمَسَّكَ بِمَا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَف وَاجْتَنَبَ مَا أَحْدَثَهُ الْخَلَف، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِنْهُ بُدّ فَلْيَكْتَفِ مِنْهُ بِقَدْرِ الْحَاجَة، وَيَجْعَل الْأَوَّل الْمَقْصُود بِالْأَصَالَةِ وَاللَّهُ الْمُوَفِّقُ
Maka orang yang berbahagia adalah orang yang berpegang teguh pada apa yang dipegang oleh generasi Salaf dan menjauhi yang dibuat-buat oleh generasi Khalaf. Jika tidak ada jalan lain baginya (selain harus menggunakan manhaj Khalaf—pen) maka batasilah sesuai dengan kebutuhan. Dan jadikanlah yang pertama (manhaj Salaf) sebagai rujukan utama. Dan hanya Allah yang memberikan taufiq (Fathul-Bari kitab al-i’tisham bil-kitab was-sunnah bab al-iqtida bi sunan Rasulillah saw syarah hadits wa syarral-umur muhdatsatuha).
Rambu-rambu dari al-Hafizh ini bisa menjadi solusi kebuntuan dari setiap perbenturan madzhab yang terjadi antara Salaf dan Khalaf. Pilihan utamanya tetap madzhab Salaf. Akan tetapi jika terpaksa oleh tuntutan kemaslahatan umat maka boleh diambil ijtihad madzhab Khalaf sesuai keperluan dan tidak boleh berlebihan.
Al-Hafizh Ibn Hajar kemudian mencontohkan atsar riwayat Imam Ahmad dengan sanad jayyid dari seorang shahabat bernama Ghudlaif ibn al-Harits ra. Shahabat ini ditanya oleh utusan khalifah ‘Abdul-Malik ibn Marwan perihal perintah khalifah agar diadakan ceramah/kajian Islam (qashash) rutin selepas shubuh dan ‘ashar. Ghudlaif ra menjawab:
أَمَّا إِنَّهُمَا أَمْثَل بِدَعكُمْ عِنْدِي وَلَسْت بِمُجِيبِكُمْ إِلَى شَيْء مِنْهُمَا لِأَنَّ النَّبِيّ ﷺ قَالَ: مَا أَحْدَثَ قَوْمٌ بِدْعَةً إِلَّا رُفِعَ مِنْ السُّنَّة مِثْلُهَا ؛ فَتَمَسُّكٌ بِسُنَّةٍ خَيْرٌ مِنْ إِحْدَاثِ بِدْعَةٍ.
Keduanya merupakan bid’ah yang paling baik menurutku, tetapi aku tidak akan menjalankan satu pun dari keduanya, sebab Nabi saw bersabda: “Tidaklah satu kaum membuat satu bid’ah kecuali akan dicabut sunnah yang serupa dengannya. Maka berpegang teguh pada sunnah lebih baik daripada membuat bid’ah.” (Fathul-Bari kitab al-i’tisham bil-kitab was-sunnah bab al-iqtida bi sunan Rasulillah saw syarah hadits wa syarral-umur muhdatsatuha).
Al-Hafizh Ibn Hajar kemudian menjelaskan bahwa demikianlah sikap shahabat terhadap hal baru yang jelas-jelas dilarang oleh Nabi saw sebelumnya yakni menolaknya sama sekali karena menilainya sebagai bid’ah. Hal yang sama berlaku dalam hal penolakan shahabat dan ulama sesudahnya pada penulisan kitab, sehingga sampai abad 2 H nyaris tidak ditemukan kitab-kitab yang tertulis, baik itu tafsir, hadits, fiqih, akhlaq, atau aqidah. Sebabnya Nabi saw melarang menulis apapun selain al-Qur`an. Fatwa para shahabat dan ulama sesudahnya pun menguatkan demikian. Padahal semua itu hal yang banyak manfaatnya bagi pengembangan ilmu. Jika yang jelas baiknya saja tetap diharamkan, maka apalagi terhadap hal yang banyak jeleknya seperti misalnya musik. Maka jangan heran kalau fatwa para ulama generasi awal hampir semuanya mengharamkannya.
Akan tetapi ulama Khalaf kemudian memilih ijtihad berbeda dari Salaf. Mereka meletakkan ‘illat (sebab) keharaman sebagai dasar pijakan hukumnya. Kegiatan pengajaran setiap hari dilarang oleh Nabi saw karena menimbulkan sammah (jenuh, bosan). Maka selama hal ini bisa dihilangkan, kegiatan pengajaran dilaksanakan setiap hari hukumnya sah-sah saja. Pertimbangan lainnya, perkembangan ilmu yang sudah sangat pesat pada masa Khalaf menuntut mereka untuk menyelenggarakan kegiatan pengajaran sampai setiap hari, dan itu lebih maslahat bagi mereka.
Nabi saw melarang penulisan apapun selain al-Qur`an ‘illat-nya karena khawatir bercampur dengan al-Qur`an. Ketika kekhawatiran ini sudah hilang dan al-Qur`an sudah terjaga selama dua ratusan tahun, maka menulis dan membukukan ilmu selain al-Qur`an hukumnya jadi mubah. Maka selepas dua abad Hijriyah, para ulama berlomba-lomba menuliskan ilmunya dalam kitab dan menyebarkannya ke tengah-tengah umat.
Mendalami ilmu kalam (teologi, filsafat) yang membongkar asma dan shifat Allah swt seragam ditolak oleh para ulama Salaf sampai imam madzhab fiqih yang empat. Semuanya menilai bid’ah dan sesat karena akan mendegradasi kemuliaan Allah swt dalam asma dan shifat-Nya. Akan tetapi seiring munculnya Mu’tazilah yang menyebarkan kesesatan dalam meyakini asma dan shifat Allah swt maka para ulama Khalaf kemudian menentukan ‘illat hukum mempelajari ilmu kalam, yakni tidak merendahkan kemuliaan Allah swt dalam asma dan shifat-Nya. Sebabnya para ulama Khalaf menemukan fakta bahwa dengan ilmu kalam mereka malah bisa meruntuhkan ideologi Mu’tazilah dan semakin mengukuhkan kemuliaan Allah swt dalam asma dan shifat-Nya yang salah satunya dengan menempuh ta`wil sifat-sifat Allah swt. Imam-imam hadits seperti Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim dan al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari memilih untuk selalu menggunakan pendekatan ta`wil terhadap sifat-sifat Allah swt. Itu artinya para ulama hadits generasi berikutnya memilih ijtihad madzhab Khalaf. Ini adalah suatu fakta yang tidak semestinya ditutup-tutupi dengan selalu menyebutkan bahwa selain madzhab Salaf adalah sesat dan menyimpang.
Ayat-ayat al-Qur`an yang melarang musik, hadits-hadits yang menyebutkannya haram, dan fatwa para ulama yang mengukuhkan keharamannya, bukan tidak diketahui oleh para ulama madzhab Khalaf. Akan tetapi mereka kemudian menyandingkannya dengan sikap Nabi saw yang membolehkan musik dalam momentum pernikahan dan hari ‘Id. Jika para ulama yang mengikuti madzhab Salaf menyimpulkannya musik haram dan diperbolehkan hanya pada saat pernikahan dan hari ‘Id, maka para ulama madzhab Khalaf memilih untuk menjelaskan ‘illat keharamannya.
QS. as-Syu’ara` [26] : 224-226 yang menyebut bahwa penyair itu para penggemarnya adalah orang-orang yang sesat, sudah dijelaskan ‘illat-nya pada ayat 227 dikecualikan jika para penyair itu beriman, beramal shalih, banyak berdzikir, dan menggunakannya untuk membela Islam, maka ini justru dipuji oleh Allah swt. QS. Luqman [31] : 6-7 yang menyebut musik sebagai lahwul-hadits; perkataan yang menghibur, yang sering dijadikan senjata oleh musuh-musuh Islam untuk mengganggu jalan Allah, sudah disebutkan ‘illat-nya yakni karena menjauhkan dari jalan Allah dan ayat-ayat-Nya. Jika tidak demikian artinya tidak apa-apa. QS. Yasin [36] : 69 yang menyebutkan sya’ir/lagu sesuatu yang tidak pantas didengar, ‘illat-nya karena menjauhkan dari al-Qur`an dan dzikir.
Hadits yang menyandingkan musik dengan perzinaan, sutra, dan khamer, maka itu berarti musik menjadi haram jika didendangkan bersamaan dengan praktik-praktik yang diharamkan seperti minum khamer, perzinaan, dan pemakaian sutra.
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Akan ada dari umatku yang meyakini/menganggap halal zina, sutra, khamer, dan alat-alat musik (Shahih al-Bukhari bab ma ja`a fi man yastahillul-khamr no. 5590).
Sementara jika bebas dari unsur-unsur yang haram, maka faktanya Nabi saw sendiri membolehkannya sebagaimana diceritakan dalam hadits-hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا زَفَّتْ امْرَأَةً إِلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ نَبِيُّ اللهِ ﷺ يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوُ
Dari ‘Aisyah, bahwasanya ia mengantarkan pengantin wanita ke rumah lelaki orang Anshar. Nabi saw bertanya: “Wahai ‘Aisyah kenapa tidak ada hiburan? Orang Anshar itu sangat menyenangi hiburan.” (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah no. 5162)
Dalam riwayat at-Thabrani, Nabi saw menganjurkan lebih jelas lagi:
فَهَلْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا جَارِيَة تَضْرِب بِالدُّفِّ وَتُغَنِّي؟
Kenapa kalian tidak menyertakan wanita-wanita yang memukul alat musik dan bernyanyi? (al-Mu’jamul-Ausath no. 3265)
Hal yang sama pernah terjadi pada hari ‘Id:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
‘Aisyah berkata: “Abu Bakar masuk ke rumahku sewaktu ada dua orang hamba sahaya Anshar di sisiku sedang menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anshar pada hari Bu’ats.” ‘Aisyah menegaskan: “Dan mereka berdua bukan penyanyi.” Lalu Abu Bakar datang dan berkata: “Layakkah seruling-seruling setan ditiup di rumah Rasulullah?” Saat itu sedang hari raya. Maka Rasulullah saw pun menjawab: “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” (Shahih al-Bukhari bab sunnatil-‘idain li ahlil-Islam no. 952).
Hadits-hadits yang disebutkan terakhir ini tidak bisa dipahami hanya terbatas kebolehannya pada saat hari raya atau ketika pernikahan saja, sebab memang Nabi saw sendiri tidak membatasi demikian dalam penjelasannya. Hadits ini justru bisa dijadikan patokan ‘illat hukum yakni bahwa pada moment-moment bahagia boleh didendangkan musik. Tentunya musik yang tidak menjurus pada larangan-larangan yang sudah disinggung di atas; menjauhkan dari jalan Allah, dzikrullah, mendekatkan pada zina, judi, minuman keras, dan kemaksiatan lainnya. Dan sebagaimana disinggung dalam ayat-ayat di atas, tidak malah menjadi lebih sering bermain/mendengarkan musik daripada membaca dan mengkaji ayat-ayat al-Qur`an.
Tawaran dari al-Hafizh Ibn Hajar di awal bahwa yang paling tepat adalah dengan tetap merujuk Salaf tentunya harus diperhatikan. Maka hukum asalnya musik tetap harus selalu diusahakan untuk dijauhi sebagaimana dijadikan prinsip oleh generasi Salaf dan yang mengikuti mereka. Musik hanya dimainkan dalam kondisi hajah; kebutuhan yang mendesak pada momentum acara-acara tertentu saja. Tidak menjadi rutinitas apalagi sampai setiap hari.
Pertimbangan lainnya bahwa fakta hukum musik ini diperselisihkan halal dan haramnya menjadikannya berstatus syubhat (samar, meragukan). Sesuatu yang syubhat mesti dijauhi demi menjaga kebersihan agama dan kehormatan diri.
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَ إِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ وَ مَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, sedang di antara keduanya adalah yang syubhat (samar/meragukan). Tidak mengetahuinya kebanyakan orang-orang. Maka siapa yang berlindung dari perkara yang syubhat, sesungguhnya ia telah menjaga kesucian agama dan kehormatan dirinya. Tetapi siapa yang kena pada perkara yang syubhat, maka ia telah kena pada perkara yang haram (Shahih Muslim bab akhdzil-halal wa tarkis-syubuhat no. 4178).
Kritikan dalam tulisan ini terhadap Salafi yang menutup diri tentunya jangan menjadi boomerang. Siapa pun yang tidak setuju dengan pilihan ijtihad Salafi tetap harus menghargai mereka dan mengakuinya sebagai bagian dari khazanah madzhab Islam sehingga tidak pantas divonis Wahabi atau menyimpang dari Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Semua pihak harus mampu membuka diri terhadap fakta perbedaan madzhab yang notabene masih ada dalam lingkup khazanah Islam.
Wal-‘Llahu a’lam.