Merasakan Bahagia di Keheningan Malam

Heningnya malam bukan hanya untuk membaringkan badan beristirahat dari lelahnya dunia. Sunyinya malam bukan hanya untuk menyendiri menikmati hiburan. Dinginnya malam bukan hanya untuk berselimut menghangatkan badan di pembaringan. Malam di tengah-tengah keheningannya, kesunyiannya, dan kedinginannya, adalah waktu ibadah yang paling utama bagi mereka yang ingin merasakan bahagia.


Ibn ‘Umair, seorang tabi’in, pernah bertanya kepada ‘Aisyah ra:

أَخْبِرِينَا بِأَعْجَبِ شَيْءٍ رَأَيْتِهِ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: فَسَكَتَتْ ثُمَّ قَالَتْ: لَمَّا كَانَ لَيْلَةٌ مِنَ اللَّيَالِي، قَالَ: يَا عَائِشَةُ ذَرِينِي أَتَعَبَّدُ اللَّيْلَةَ لِرَبِّي قُلْتُ: وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّ قُرْبَكَ، وَأُحِبُّ مَا سَرَّكَ، قَالَتْ: فَقَامَ فَتَطَهَّرَ، ثُمَّ قَامَ يُصَلِّي، قَالَتْ: فَلَمْ يَزَلْ يَبْكِي حَتَّى بَلَّ حِجْرَهُ، قَالَتْ: ثُمَّ بَكَى فَلَمْ يَزَلْ يَبْكِي حَتَّى بَلَّ لِحْيَتَهُ، قَالَتْ: ثُمَّ بَكَى فَلَمْ يَزَلْ يَبْكِي حَتَّى بَلَّ الْأَرْضَ، فَجَاءَ بِلَالٌ يُؤْذِنُهُ بِالصَّلَاةِ، فَلَمَّا رَآهُ يَبْكِي، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لِمَ تَبْكِي وَقَدْ غَفَرَ اللَّهُ لَكَ مَا تَقَدَّمَ وَمَا تَأَخَّرَ؟، قَالَ: أَفَلَا أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا، لَقَدْ نَزَلَتْ عَلَيَّ اللَّيْلَةَ آيَةٌ، وَيْلٌ لِمَنْ قَرَأَهَا وَلَمْ يَتَفَكَّرْ فِيهَا {إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ … } الْآيَةَ كُلَّهَا

“Beritahukanlah kepada kami hal yang paling engkau kenang dari Rasulullah saw.” ‘Aisyah terdiam sejenak, lalu berkata: Pada suatu malam Rasul saw bersabda:“Wahai ‘Aisyah izinkanlah aku untuk beribadah kepada Rabbku malam ini.” Aku jawab: “Demi Allah aku sangat ingin di dekatmu tetapi aku sangat ingin juga engkau bahagia.” Kata ‘Aisyah: Beliau lalu bangun, bersuci, dan shalat. Beliau kemudian menangis dan terus menangis sampai membasahi pangkuannya. Beliau terus menangis hingga membasahi janggutnya. Beliau masih terus menangis hingga membasahi tempat shalatnya. (Masuk waktu shubuh) Bilal menemui Nabi saw untuk memberitahukannya shalat akan segera dimulai. Tatkala Bilal melihat Nabi saw masih menangis, Bilal pun bertanya: “Wahai Rasulullah, mengapa anda menangis, padahal Allah swt sudah pasti mengampuni dosa anda yang lalu dan yang akan datang?” Nabi saw pun menjawab: “Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang bersyukur!? Sungguh telah diturunkan kepadaku malam ini satu ayat, dan sungguh celaka orang yang membacanya tetapi tidak menafakkurinya/merenungkannya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (Shahih Ibn Hibban kitab ar-raqa`iq bab at-taubah no. 620)
Meski setiap orang yang memiliki rasa cinta akan selalu bahagia berdampingan dengan istrinya di waktu malam, tetapi bagi Nabi saw kebahagiaan yang sebenarnya bukan itu melainkan “bercinta” dengan Allah swt melalui shalat malam. ‘Aisyah ra tahu betul dengan kebahagiaan Nabi saw tersebut, sehingga ketika beliau memohon izin kepadanya untuk shalat malam, ia mengatakan sendiri: “Demi Allah aku sangat ingin di dekatmu tetapi aku sangat ingin juga engkau bahagia.”
Ini sekaligus membantah orang-orang yang berpikiran picik tentang Rasulullah saw, yang menilai beliau dari aspek jasmaninya semata sebagai seorang lelaki yang beristrikan sembilan orang belum termasuk hamba sahaya. Padahal standar penilaian manusia dalam perspektif Islam bukan pada jasmaninya, melainkan rohaninya. Meski istri Rasulullah saw sembilan pada faktanya beliau tetap sesosok manusia akhirat. Kebahagiaan utamanya bukan pada aspek duniawi, melainkan pada keintiman dengan Sang Penciptanya, Allah swt.
Rasul saw selalu menyempatkan diri meraih kebahagian dengan-Nya di waktu malam karena sungguh binasa orang-orang yang tidak merenungkan semua nikmat yang telah diberikan oleh-Nya tetapi kemudian abai dari panggilan-Nya di setiap malam:

يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الْآخِرُ يَقُولُ مَنْ يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ

Rabb kita turun ke langit terendah (dari tujuh langit) setiap malam ketika tersisa sepertiga malam terakhir, lalu Dia berkata: “Siapa yang ingin berdo’a kepada-Ku, lalu Aku pasti mengabulkannya? Siapa yang ingin meminta kepada-Ku lalu Aku pasti memberinya? Siapa yang ingin beristighfar kepada-Ku, lalu Aku pasti mengampuninya?” (Shahih al-Bukhari kitab at-tahajjud bab ad-du’a fis-shalat min akhiril-lail no. 1145).
Pantaskah jika ada Yang Mahaagung lagi Mahamulia dan telah memberikan segala nikmat untuk seseorang lalu ketika Sang Mahaagung itu memanggilnya ia malah tertidur pulas saja? Padahal panggilan ini sudah diketahui olehnya dari sejak jauh sebelumnya, bahwa nanti akan ada panggilan khusus dari Sang Mahamulia di waktu malam. Ibaratnya seorang rakyat jelata yang diundang Presiden jauh hari sebelumnya tetapi ia bukannya mempersiapkan diri untuk memenuhi undangan Presiden pada waktunya, melainkan tertidur pulas dan sebelumnya bersenang-senang menikmati hiburan. Seorang Menteri pun jika memperlakukan panggilan Presiden seperti itu adanya, meski panggilan itu di waktu malam, pasti akan dipecatnya. Pantas sekali jika Nabi saw juga mengancam orang yang mengabaikan panggilan dari-Nya dengan: Wailun; celaka.
Maka dari itu meski Nabi saw adalah sesosok manusia mulia yang sudah dijamin masuk surga dan tidak akan punya dosa, tetap saja beliau selalu menyempatkan berbahagia di waktu malam sebagai bentuk syukur atas nikmat yang besar tersebut. Bukan masalah Nabi saw pasti masuk surganya, tetapi sangat tidak pantas jika nikmat yang melimpah dari-Nya tidak disyukuri dengan benar. Beliau sendiri dalam hal ini menyatakan: “Apakah tidak boleh aku menjadi hamba yang bersyukur!?
Dengan demikian ukuran syukur seseorang bisa diukur dari sejauh mana kebahagiaannya dalam shalat malam. Demikian juga, ukuran daya tafakkur (pemikiran, penelitian, perenungan, kecerdasan) seseorang sangat ditentukan dari sejauh mana ia merasa bahagia dengan bangun di waktu malam. Jika bangun malam masih saja terasa berat maka itu pertanda jelas tidak adanya mental syukur dalam diri. Jika shalat malam tidak pernah dirasakan bahagia maka itu adalah isyarat nyata bahwa akalnya masih tumpul dan tuna kecerdasan. Peringatan Nabi saw di atas: “Sungguh celaka orang yang membacanya (mengetahui adanya ayat itu—pen) tetapi tidak menafakkurinya/merenungkannya.” Hal ini salah satunya terkait dengan peringatan Allah swt sendiri yang pernah disampaikan Nabi Musa as kepada kaumnya:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ  وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ٧

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim [14] : 7).
Setiap orang pantas berbahagia karena siapa saja yang giat shalat malam maka pasti semua urusannya dilancarkan karena semua do’a dan permohonannya akan dikabulkan sebagaimana disabdakan Nabi saw di atas. Demikian juga ia akan selalu menjadi orang yang rajin dalam kebaikan dan bersih jiwanya. Setan pun akan jauh darinya. Berbalik dengan orang yang tidak berbahagia shalat malam, semua urusannya selalu membuatnya tertekan, selalu malas dalam kebaikan, jiwanya selalu kotor, dan setan pun selalu bersahabat dengannya sampai dalam tidurnya sekalipun.

يَعْقِدُ الشَّيْطَانُ عَلَى قَافِيَةِ رَأْسِ أَحَدِكُمْ إِذَا هُوَ نَامَ ثَلَاثَ عُقَدٍ يَضْرِبُ كُلَّ عُقْدَةٍ عَلَيْكَ لَيْلٌ طَوِيلٌ فَارْقُدْ فَإِنْ اسْتَيْقَظَ فَذَكَرَ اللَّهَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ تَوَضَّأَ انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَإِنْ صَلَّى انْحَلَّتْ عُقْدَةٌ فَأَصْبَحَ نَشِيطًا طَيِّبَ النَّفْسِ وَإِلَّا أَصْبَحَ خَبِيثَ النَّفْسِ كَسْلَانَ

Setan mengikat tengkuk kepala seseorang di antara kalian di waktu tidurnya tiga ikatan, sambil mengatakan: “Malam masih panjang, tidurlah.” Jika ia bangun dan berdzikir, terlepaslah satu ikatan. Jika ia berwudlu, terlepas lagi ikatan lainnya. Jika ia shalat malam, terlepaslah ikatan semuanya. Jadilah ia di keesokan harinya orang yang rajin dan baik jiwanya. Jika tidak ia menjadi orang yang rusak jiwa dan malas (Shahih al-Bukhari bab ‘aqdis-syaithan ‘ala qafiyatir-ra`si idza lam yushalli bil-lail [setan mengikat tengkuk kepala orang yang tidak shalat malam] no. 1142; Shahih Muslim bab ma ruwiya fi man namal-lail ajma’a hatta ashbaha [riwayat tentang orang yang tidur semalam suntuk sampai shubuh] no. 1855).
Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.