Hukum Membaca Mushhaf ketika Shalat Mubah
Merujuk kitab-kitab fiqih dari empat madzhab, diketahui bahwa ulama madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali membolehkan seseorang shalat sambil melihat mushhaf. Rujukan dalil utamanya adalah atsar dari Dzakwan maula ‘Aisyah ra yang mengimami keluarga Abu Bakar, termasuk ‘Aisyah, shalat qiyam Ramadlan sambil membaca mushhaf. Hanya madzhab Hanafi yang tidak menilainya mubah (boleh). Imam Abu Hanifah menilainya merusak shalat, sementara dua muridnya, Abu Yusuf dan Muhammad as-Syaibani, menilainya sebatas makruh.
Terkait atsar Dzakwan maula (mantan hamba sahaya) ‘Aisyah yang mengimami shalat qiyam Ramadlan dengan melihat mushhaf, para ulama madzhab Hanafi menjelaskan, kemungkinan ‘Aisyah dan para shahabat lainnya tidak mengetahuinya sehingga mereka tidak menegurnya. Atau mungkin juga yang dimaksud atsar tersebut menginformasikan dua kejadian yang berbeda, antara Dzakwan sebagai imam keluarga Abu Bakar untuk qiyam Ramadlan, dan Dzakwan yang selalu membaca al-Qur`an melalui mushhaf di luar shalat.
Meski demikian, Imam al-Kasani dalam kitabnya tersebut mengutip juga penjelasan Imam as-Syafi’i (150-204 H) bahwa banyak bergerak sepanjang itu terkait shalat maka termasuk ibadah, sehingga tidak mungkin merusak shalat. Perihal kekhawatiran tasyabbuh dengan Ahli Kitab, kata Imam as-Syafi’i tidak menjadi soal, sebab larangan tasyabbuh tidak berlaku dalam semua hal, seperti halnya umat Islam dibolehkan makan makanan Ahli Kitab (Bada`i’us-Shana`i’ 1 : 236 fashal bayan hukmil-istikhlaf).
Sementara itu Imam Malik (93-179 H), dengan berdasar pada atsar Dzakwan, menyatakan bahwa shalat sambil melihat mushhaf secara umum, apakah itu shalat wajib atau sunat, diperbolehkan. Menurut beliau, tokoh-tokoh panutan pada masanya sudah biasa membaca mushhaf ketika shalat malam pada bulan Ramadlan. Akan tetapi dalam riwayat lain, Imam Malik menyatakan bahwa kebolehannya itu untuk shalat Tarawih dan sunat lainnya, sementara untuk shalat wajib hukumnya makruh (al-Mudawwanatul-Kubra 1 : 288 bab al-qira`ah fi Ramadlan wa shalatul-amir khalfal-qari`).
Sementara Imam as-Syafi’i (150-204 H), sebagaimana sudah disiggung di atas menjelaskan tidak ada alasan yang bisa dibenarkan untuk menyatakan shalat fasid akibat dari membaca mushhaf. Imam an-Nawawi (631-676 H) dalam Khulashatul-Ahkam fi Muhimmatis-Sunan wa Qawa’idil-Islam menegaskan bahwa hukumnya boleh meski itu harus sambil membolak-balikkan halaman mushhaf. Imam an-Nawawi juga menyebutkan bahwa atsar Dzakwan diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi dan statusnya shahih (Khulashatul-Ahkam no. 1665).
Dari madzhab Hanbali, Imam Ibn Qudamah al-Maqdisi (541-620) dalam kitabnya, al-Mughni, menjelaskan bahwa membaca mushhaf ketika shalat itu makruh secara muthlaq jika shalatnya shalat wajib. Jika shalatnya shalat sunat, maka makruh bagi yang sudah hafizh karena akan mengganggu kekhusyuan shalat dan memalingkan dari melihat ke tempat sujud. Akan tetapi jika tujuannya untuk memperdengarkan al-Qur`an secara keseluruhan atau agar bisa shalat dengan al-Qur`an secara keseluruhan, maka hukumnya mubah. Sama halnya dengan Imam Malik, Imam Ibn Qudamah juga mengutip pernyataan az-Zuhri bahwa sudah menjadi kebiasaan tokoh-tokoh ulama di zamannya membaca mushhaf ketika mereka shalat Tarawih di bulan Ramadlan (al-Mughni 1 : 411 fashal yushalli bin-nas al-qiyam wa huwa yanzhuru fil-mushhaf).
Ini berarti bahwa hanya Imam Abu Hanifah saja yang melarang shalat sambil membaca mushhaf. Dua muridnya yang menjadi rujukan utama dalam madzhab Hanafi, Abu Yusuf dan Muhammad as-Syaibani, sebatas menilai makruh karena tasyabbuhnya. Itu pun dengan syarat tidak banyak bergerak ketika membaca mushhaf tersebut. Akan tetapi dua alasan tersebut sudah dibantah oleh Imam as-Syafi’i. Alasan tasyabbuh tidak tepat karena tidak semua tasyabbuh dilarang, kecuali tasyabbuh yang jelas-jelas menjiplak aqidah dan ibadah mereka. Alasan banyak bergerak mengganggu shalat juga tidak tepat karena selama itu dalam rangka ibadah shalat maka itu termasuk ibadah shalat juga dan tidak mengganggu kekhusyuan.
Catatan tambahan dari Ibn Qudamah juga bisa dipertimbangkan, yakni bagi yang sudah hafizh—tentunya dalam pengertian itqan/sempurna—maka sebaiknya tidak. Sementara bagi yang belum hafizh dengan itqan dan bertujuan untuk membantu daya hafalnya, juga ada keinginan untuk menyempurnakan membaca al-Qur`an 30 juz, maka itu dibolehkan.
Atsar Dakwan yang dimaksud para ulama di atas ditulis juga oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya secara ta’liq; kutipan semata dan tidak bersanad karena bukan riwayat beliau. Tetapi ini menunjukkan bahwa beliau menyepakati keshahihan atsar tersebut untuk dijadikan hujjah.
بَاب إِمَامَةِ الْعَبْدِ وَالْمَوْلَى وَكَانَتْ عَائِشَةُ يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنْ الْمُصْحَفِ وَوَلَدِ الْبَغِيِّ وَالْأَعْرَابِيِّ وَالْغُلَامِ الَّذِي لَمْ يَحْتَلِمْ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ يَؤُمُّهُمْ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ
Bab: Imamah (ke-imam-an) hamba sahaya dan maula (hamba sahaya yang dimerdekakan). ‘Aisyah pernah diimami oleh hamba sahayanya, Dzakwan, dari mushhaf. (Dan bab imamah) anak hasil zina, orang Arab gunung, dan anak yang belum dewasa, berdasarkan sabda Nabi saw: “Hendaklah yang mengimami mereka (jama’ah shalat) itu orang yang paling hafal pada kitab Allah.”
Terkait atsar Dzakwan di atas, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa itu adalah riwayat Abu Dawud dalam kitab al-Mashahif, Ibn Abi Syaibah, as-Syafi’i, dan ‘Abdurrazzaq. Disebutkan dalam sanad Ibn Abi Mulaikah bahwasanya ia pernah datang untuk menemui ‘Aisyah di A’lal-Wadi bersama ayahnya, ‘Ubaid ibn ‘Umair, al-Miswar ibn Makhramah, dan orang-orang lainnya yang banyak. Mereka ternyata diimami oleh Abu ‘Amr maula ‘Aisyah. Saat itu ia masih hamba sahaya yang belum merdeka. Abu ‘Amr tersebut adalah Dzakwan. Disebutkan dalam riwayat Ibn Abi Syaibah bahwa Dzakwan ini dimerdekakan oleh ‘Aisyahnya ‘an dubur; di akhir, yakni dengan akad bahwa ketika ‘Aisyah ra wafat maka ia otomatis merdeka. Sebagaimana telah disinggung di atas, Dzakwan saat itu mengimami shalat Tarawih di bulan Ramadlan. Dan dalam riwayat as-Syafi’i disebutkan bahwa ia mengimami keluarga Abu Bakar ra.
Keterangan dari al-Hafizh tersebut membantah asumsi ulama dari madzhab Hanafi di atas bahwa apa yang diamalkan Dzakwan ini tidak diketahui oleh ‘Aisyah dan shahabat lainnya. Justru dengan riwayat di atas diketahui bahwa ‘Aisyah hadir; keluarga Abu Bakar ra dan para ulama dari kalangan tabi’in juga mengetahuinya. Ketika mereka tidak melarangnya itu berarti bahwa hal tersebut dibolehkan oleh syari’at, sebab ‘Aisyah, keluarga Abu Bakar—di antaranya disebutkan Muhammad ibn Abi Bakar dan ‘Urwah—dan para ulama tabi’in lainnya mustahil mendiamkan hal yang tidak dibenarkan syari’at.
Dzakwan itu sendiri dinilai oleh al-Hafizh Ibn Hajar sebagai seorang tabi’in yang tsiqah dalam Taqribut-Tahdzib. Sementara dalam Tahdzibut-Tahdzib, al-Hafizh menambahkan dari Ibn Abi Mulaikah: “’Abdurrahman ibn Abu Bakar menjadi imam ‘Aisyah. Apabila ia tidak hadir, maka hamba sahayanya Dzakwan (yang menjadi imam).”
Dari data di atas, juga tarjamah Imam al-Bukhari sebagaimana ditulis di atas, dapat diketahui bahwa seorang hamba sahaya boleh menjadi imam selama ia aqra`uhum li kitabil-‘Llah; yang paling bagus bacaan dan hafalan al-Qur`annya. Berarti, Dzakwan yang mengimami ‘Aisyah shalat Tarawih saat itu, bukan orang yang tidak hafizh al-Qur`an. Ia adalah seorang hafizh karena statusnya tsiqah dalam periwayatan hadits. Ini sekaligus menjadi dalil bahwa imam yang hafizh boleh mengimami shalat sambil membaca mushhaf, tentunya untuk menjamin tidak ada salah dalam membaca. Makmum shalat pun demikian, sebagaimana disinggung Ibn Qudamah di atas, diperbolehkan membaca mushhaf dengan niat ingin menyimak bacaan al-Qur`an dengan tuntas 30 juz.
Kekhawatiran membaca mushhaf dalam shalat akan merusak shalat sudah dibantah oleh Imam as-Syafi’i di atas, sebab bergerak selama itu masih dalam cakupan ibadah shalat maka dihitung ibadah shalat juga. Yang merusak shalat itu kalau seseorang bergerak di luar shalat seperti berjalan-jalan, membaca buku, membuka pesan dalam HP, dan semacamnya. Demikian halnya kekhawatiran akan terlalu banyak gerakan di luar gerakan shalat yang pokok sudah dibantah oleh Imam Abu Yusuf dan Muhammad as-Syaibani bahwa membaca mushhaf dalam shalat ini bisa diamalkan dengan tidak banyak bergeraknya, karena hanya sebatas membaca atau menyimak bacaan sambil membaca.
Atsar dari Dzakwan yang dikuatkan oleh praktik pengamalan para ulama di masa Imam Malik dan az-Zuhri (tabi’in) di atas menegaskan sebuah sunnah yang memang sudah dicontohkan Nabi saw melalui tadarus, dan bahkan shalat malam beliau secara umum, yakni bahwa imam dan jama’ah shalatnya dianjurkan untuk menamatkan bacaan al-Qur`an 30 juz dalam shalat Tarawih di bulan Ramadlan. Wal-‘Llahu a’lam.