Ibadah

Sya’ban Persiapan Ramadlan

Sya’ban adalah bulan persiapan Ramadlan. Ibarat mesin sepeda motor, Sya’ban ini adalah saat-saat mesin dipanaskan, agar ketika dibawa melaju, mesin berjalan dengan lancar. Maksudnya, Sya’ban adalah saat-saat kita mempersiapkan diri dengan berlatih shaum sunat, agar ketika masuk Ramadlan, shaum bisa diamalkan dengan lancar. Sehingga budaya libur dan malas di masa-masa awal Ramadlan tidak terus dipertahankan.

‘Aisyah radliyal-‘Llahu ‘anha—semoga Allah meridlainya—istri Nabi shallal-‘Llahu ‘alahi wa sallam—semoga kesejahteraan dan keselamatan senantiasa tercurah untuknya—, menjelaskan:

مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ

Aku tidak pernah melihat Rasulullah saw shaum satu bulan sempurna kecuali Ramadlan. Dan aku tidak pernah melihat beliau banyak shaum dalam satu bulan melebihi bulan Sya’ban.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab shaum Sya’ban no. 1969).

Hadits di atas menjelaskan bahwa Nabi saw memperbanyak shaum sunat di bulan Sya’ban, meski itu tidak sebulan penuh. Sebab shaum sebulan penuh hanya dilaksanakan pada bulan Ramadlan.

Dalam kesempatan yang lain ‘Aisyah menceritakan:

وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً

Aku tidak pernah melihat beliau shaum satu bulan pun yang lebih banyak daripada Sya’ban. Beliau shaum Sya’ban hampir keseluruhannya, hanya sedikit hari saja beliau tidak shaum.” (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab shiyamin-Nabiy fi ghairi Ramadlan no. 2778).

Shahabat Usamah ibn Zaid pernah bertanya kepada Nabi saw, kenapa beliau memperbanyak shaum di bulan Sya’ban:

قال أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ: يَا رَسُوْلَ اللهِ لَمْ أَرَكَ تَصُوْمُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُوْرِ مَا تَصُوْمُ مِنْ شَعْبَانَ قَالَ ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبَ وَ رَمَضَانَ وهو شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيْهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِيْنَ فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Usamah ibn Zaid bertanya: “Wahai Rasulullah, kenapa aku tidak melihat anda shaum pada satu bulan sebagaimana shaum anda pada bulan Sya’ban?” Nabi saw menjawab: “Itu adalah bulan yang dilupakan oleh orang-orang, ada di antara Rajab dan Ramadlan, padahal pada bulan itu amal-amal diangkat kepada Rabbul-‘alamin, maka aku sangat ingin ketika amalku diangkat aku sedang dalam keadaan shaum.”  (Sunan an-Nasa`i kitab as-shiyam bab shaumin-Nabiy bi abi huwa wa ummi no. 2357. Imam al-Albani menilainya hasan, disebabkan seorang rawi, Tsabit ibn Qais, yang shaduq yuham [jujur, tapi kecerdasannya sedikit diragukan]. Adapun rijal lainnya tsiqat [terpercaya]. Dalam jalur yang diriwayatkan al-Muqri dalam kitab al-Amali, disebutkan bahwa Sya’ban ini sama halnya dengan Senin dan Kamis, dimana pada waktu itu amal-amal hamba diangkat dan Nabi saw ingin sedang dalam keadaan shaum. As-Silisilah as-Shahihah 4 : 397 no. 1898. Dalam riwayat an-Nasa`i no. 2175 & 2176 disebutkan oleh Ummu Salamah bahwa ia tidak pernah melihat Rasulullah saw menyambung shaum dua bulan berturut-turut selain pada bulan Sya’ban dan Ramadlan. Maksudnya sebagaimana sudah disinggung di atas, bukan berarti shaum Sya’ban sebulan penuh, melainkan banyak shaum di bulan Sya’ban).

Praktik dari shaum Sya’ban itu berarti memperbanyak shaum sunat pada bulan Sya’ban. Masuk dalam kategori shaum sunat ini di antaranya: shaum tengah bulan (tanggal 13, 14, 15 qamariyyah/hijriah. Nama lainnya ayyamul bidl; hari-hari dimana sinar bulan purnama putih terang), shaum Senin Kamis, shaum Dawud (shaum dua hari sekali), atau shaum muthlaq (shaum yang terlepas dari kategorisasi apapun atau shaum secara tiba-tiba tanpa ada rencana di waktu malamnya, meski tidak ada kaitannya dengan momen apapun, sebagaimana pernah Rasul saw amalkan). Atau memanfaatkannya untuk qadla (mengganti) shaum Ramadlan, sebagaimana biasa dilakukan istri-istri Nabi saw:

قَالَتْ عَائِشَةُ رضى الله عنها كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ الشُّغُلُ مِنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ

‘Aisyah berkata: Kewajiban shaum Ramadlan yang harus aku ganti tidak pernah mampu aku ganti (qadla) kecuali pada bulan Sya’ban, disebabkan sibuk melayani Rasulullah saw (Shahih Muslim kitab as-shiyam bab qadla Ramadlan fi Sya’ban no. 2743. Pada riwayat lainnya [no. 2747] ‘Aisyah menyatakan bahwa itu juga terjadi pada istri-istri Nabi saw lainnya).

Intinya, ketika amal diangkat kepada Allah swt, kita sedang dalam keadaan shaum, shaum apapun itu.

Akan tetapi, khusus bagi orang-orang yang sakit, atau baru sembuh dari sakit, Nabi saw menganjurkan:

إِذَا بَقِيَ نِصْفٌ مِنْ شَعْبَانَ فَلاَ تَصُوْمُوْهُ

Apabila tersisa setengah bulan Sya’ban maka janganlah kalian shaum (Sunan at-Tirmidzi kitab as-shaum bab karahiyatis-shaum fin-nishfits-tsani min Sya’ban no. 738; Sunan Abi Dawud kitab as-shaum bab karahiyati dzalika [washl Sya’ban bi Ramadlan] no. 2339)

Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam takhrij Sunan at-Tirmidzi dan Abu Dawud. Tetapi Imam Ahmad dan Ibn Ma’in menilainya munkar. Al-Baihaqi pun menilainya dla’if. Bagi yang menilainya shahih, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, maksudnya adalah anjuran bagi mereka yang tidak sedang dalam kondisi fit untuk tidak shaum di 15 hari terakhir Sya’ban, agar nanti pas masuk bulan Ramadlan kondisi fisik mereka ada dalam keadaan prima. Larangan ini tentu tidak haram, sebab Nabi saw sendiri memperbanyak shaum di bulan Sya’ban (Fathul-Bari kitab as-shaum bab la yataqaddam Ramadlan bi shaum yaum wa la yaumain).

Itu artinya, persiapan shaum Ramadlan di bulan Sya’ban ini mencakup dua hal: Pertama, bagi yang mampu, mulailah berlatih shaum di bulan Sya’ban dengan memperbanyak shaum sunat. Hikmahnya, agar ketika masuk Ramadlan, kondisi badan sudah kuat dan terbiasa dengan shaum. Kedua, bagi yang sakit/baru sembuh dari sakit, jagalah kondisi kesehatan sebaik mungkin, agar ketika Ramadlan, kondisi badan benar-benar sehat dan siap untuk shaum Ramadlan.

Satu hal yang mesti dicatat, shaum Sya’ban yang kita singgung di atas bukan shaum Nishfu Sya’ban yang dasar haditsnya maudlu’/palsu:

إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ: أَلاَ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ, أَلاَ مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ, أَلاَ مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ, أَلاَ كَذَا أَلاَ كَذَا، حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

Apabila masuk malam setengah Sya’ban, maka shalat tahajjudlah di waktu malamnya dan shaumlah di siang harinya, karena sungguh Allah turun padanya ke langit paling bawah dari mulai terbenamnya matahari sampai terbit fajar, lalu berfirman: Adakah yang akan meminta ampunan, pasti Aku akan mengampuni!? Adakah yang akan meminta rizki, Aku pasti akan memberinya rizki!? Adakah orang yang diuji, Aku akan memaafkannya!? Adakah yang begini, begini!? (Sunan Ibn Majah kitab iqamatis-shalat bab ma ja`a fi lailatin-nishfi min Sya’ban no. 1388. Hadits ini maudlu’ disebabkan seorang rawi bernama Abu Bakar ibn Abi Sabrah seorang pemalsu hadits. Lihat as-Silsilah ad-Da’ifah al-Albani 5 : 131 no. 2132).

Artinya, kalau seseorang shaum pertengahan bulan Sya’ban karena berdasar hadits di atas, maka shaum tersebut adalah shaum yang salah kaprah, sebab dasar haditsnya maudlu’/palsu. Tetapi itu juga bukan berarti bahwa shaum pada tanggal 15 Sya’ban hukumnya haram. Boleh-boleh saja, jika niatnya shaum Sya’ban, atau shaum tanggal 15/pertengahan bulan/ayyamul-bidl, atau shaum Senin. Yang haram itu jika diniatkan sebagai shaum Nishfu Sya’ban, apalagi dilengkapi dengan ritual ibadah di malam harinya, sebab itu dasar haditsnya maudlu’ (palsu), dan kalau dianggap syari’at/sunnah, statusnya adalah bid’ah dlalalah.

Wal-‘Llahu a’lam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Check Also
Close
Back to top button