Hukum Memakai Produk Pro-Israel
MUI sudah mengeluarkan fatwa yang mengharuskan umat Islam boikot produk Pro-Israel. Bagaimana kalau yang sudah terlanjur dibeli apakah masih bisa dikonsumsi? Bagaimana juga dengan beberapa produk yang memang direkomendasikan oleh dokter untuk dikonsumsi? 0857-2145-xxxx
Fatwa MUI yang mengharamkan dukungan kepada Israel tidak berarti mengubah status kehalalan produk-produk yang sudah ditetapkan kehalalannya oleh MUI sendiri. Status produk-produk yang halal tetap halal dan tidak menjadi haram. Yang haram itu karena mendukung Israelnya. Maka dari itu fatwa MUI-nya sendiri membaginya pada dua bagian; ketentuan hukum dan rekomendasi. Untuk bagian ketentuan hukum yang terkait Israel berbunyi: “4. Mendukung agresi Israel terhadap Palestina atau pihak yang mendukung Israel baik langsung maupun tidak langsung hukumnya haram.” Sementara yang rekomendasi berbunyi: “Umat Islam diimbau untuk semaksimal mungkin menghindari transaksi dan penggunaan produk Israel dan yang terafiliasi dengan Israel serta yang mendukung penjajahan dan zionisme.”
Fatwa MUI yang menyeru untuk “menghindari transaksi dan penggunaan produk Israel dan yang terafiliasi dengan Israel” sudah tepat diungkapkan dalam bentuk “himbauan untuk semaksimal mungkin” sebab nyatanya hampir semua produk yang berasal dari luar Indonesia dan yang beredar hari ini di masyarakat para pemiliknya mendukung Israel. Sementara itu dalam banyak hal, umat Islam Indonesia sendiri banyak yang masih membutuhkannya dan belum menemukan penggantinya. Dalam kasus seperti ini bisa masuk kategori hajah (kebutuhan mendesak) atau bahkan dlarurah (kebutuhan yang sangat mendesak). Untuk barang-barang yang aslinya haram pun jika memang dlarurah bisa menjadi halal, maka apalagi untuk barang-barang yang memang hukum asalnya halal. Selama belum ada produk pengganti dari produsen yang tidak mendukung Israel, maka statusnya tetap halal dikonsumsi karena hajah dan dlarurah.
Termasuk di antaranya untuk barang-barang yang sudah dibeli atau direkomendasikan, oleh dokter misalnya, untuk dikonsumsi, maka hukumnya halal sepanjang produk yang dimaksud sudah dijamin kehalalannya. Dalam al-Qur`an sendiri ketika Allah swt menyinggung haramnya menikahi perempuan-perempuan tertentu yang dirinci dalam surat an-Nisa`, Allah swt memberikan pengecualian untuk yang sudah terlanjur menikah sebelum diturunkan ayat yang melarangnya dengan firman-Nya:
… إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۚ ٢٢
… terkecuali pada masa yang telah lampau… (QS. an-Nisa` [4] : 22 dan 23)
Hal yang sama diberlakukan juga pengecualian oleh Allah swt dalam kasus shahabat yang shalat menghadap Masjidil-Aqsha sebelum turunnya perintah untuk menghadap Masjidil-Haram (QS. al-Baqarah [2] : 143), dan yang pernah minum khamer sebelum diharamkannya khamer (QS. al-Ma`idah [5] : 93).
Fatwa MUI ini sebetulnya lebih menyasar kepada para pengusaha yang lebih memilih membeli franchise/waralaba (semacam lisensi untuk turut memproduksi dan memasarkan produk yang sudah dikenal brand atau mereknya) dari luar negeri dan tidak memilih untuk memiliki brand sendiri secara mandiri. Mereka pada hakikatnya lebih memilih untuk “terjajah” secara ekonomi daripada “berperang” dengan menjadi pesaing-pesaing produsen luar negeri. Wal-‘Llahu a’lam