Adab Menjalani Masa Pilpres

Adab kepada calon Presiden sama dengan kepada Presiden itu sendiri. Siapa pun dia, asalkan seorang muslim dan merangkul umat Islam maka umat harus siap menyatakan kesetiaan kepadanya. Jika ada yang menyimpang darinya dikoreksi dengan menyuarakan kebenaran bukan dengan kekerasan. Kesalahannya sepanjang tidak dilakukan terang-terangan cukup diwaspadai di kalangan umat saja, tidak boleh dinyatakan terang-terangan seolah-olah menyatakan permusuhan.

Sudah menjadi dasar aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah sebagaimana Nabi saw ajarkan dalam hadits, bahwa siapapun kelak yang menjadi Presiden, sepanjang melalui proses yang legal dan Presiden atau Wakilnya bukan orang kafir, maka umat Islam harus menyatakan berbai’at kepadanya dan setia mempertahankan keutuhan umat, bangsa, dan negara bersama-sama. Ajaran ini diberlakukan agar tidak melahirkan konflik berkepanjangan dan bisa menimbulkan banyak korban yang Nabi saw nyatakan sebagai “mati jahiliyyah”, yakni mati dalam keadaan seperti orang jahiliyyah karena berperang antar-sesamanya, bukan mati syahid karena berperang melawan kaum kafir.

Umat Islam juga dituntut untuk selalu sami’na wa atha’na; tunduk dan patuh kepada Presiden yang terpilih sepanjang tidak diperintah berbuat maksiat. Apabila diperintah maksiat maka haram sami’na wa atha’na meski tidak berarti boleh melakukan kekerasan bersenjata kepada Pemerintah. Jihad terbaik melawan Presiden zhalim bukan dengan mengangkat senjata atau melalui kekerasan, melainkan dengan menyuarakan keadilan secara tegas dan lantang.

Dengan dasar aqidah ini maka umat Islam dituntut untuk tetap menjaga adab selama menjalani masa Pilpres. Semua paslon (pasangan calon) Pilpres tersebut pada hakikatnya adalah Presiden umat Islam Indonesia pada tahun 2024 mendatang. Jadi adab kepada paslon Pilpres harus sama dengan kepada Presiden terpilih itu sendiri. Bahkan mengingat status mereka orang-orang Islam, maka hak paslon Pilpres sebagai muslimnya juga harus tetap dijunjung tinggi. Hak-hak yang melekat pada diri setiap muslim itu sebagaimana Allah swt firmankan dalam surat al-Hujurat [49] : 11-12. Dalam dua ayat tersebut Allah swt mengharamkan enam hal, yaitu: (1) merendahkan orang lain, (2) menghina, (3) memanggil dengan panggilan yang jelek, (4) banyak berprasangka buruk, (5) tajassus atau mencari-cari kesalahan orang lain, dan (6) ghibah; membicarakan kejelekan orang lain.

Meski demikian, sebagai bagian dari nasihat, syari’at memperkenankan umat Islam saling berwasiat di antara sesamanya untuk mewaspadai orang-orang jahat dan buruk akhlaq. Nasihat ini tidak boleh disampaikan secara terbuka, karena sama saja dengan mengajak bermusuhan. Cukup disampaikan secara halus kepada orang-orang terdekat atau komunitas terbatas. ‘Aisyah ra menjelaskan:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَجُلًا اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ فَلَمَّا رَآهُ قَالَ بِئْسَ أَخُو الْعَشِيرَةِ وَبِئْسَ ابْنُ الْعَشِيرَةِ فَلَمَّا جَلَسَ تَطَلَّقَ النَّبِيُّ ﷺ فِي وَجْهِهِ وَانْبَسَطَ إِلَيْهِ فَلَمَّا انْطَلَقَ الرَّجُلُ قَالَتْ لَهُ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ حِينَ رَأَيْتَ الرَّجُلَ قُلْتَ لَهُ كَذَا وَكَذَا ثُمَّ تَطَلَّقْتَ فِي وَجْهِهِ وَانْبَسَطْتَ إِلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَا عَائِشَةُ مَتَى عَهِدْتِنِي فَحَّاشًا إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ

Dari ‘Aisyah ra, ada seseorang bertamu kepada Nabi saw. Ketika beliau melihatnya, beliau bersabda: “Sejelek-jeleknya saudara bagi satu keluarga dan sejelek-jeleknya anak sebuah keluarga orang ini.” Tetapi ketika ia duduk, Nabi saw berwajah ceria dan bertutur kata lembut kepadanya. Selepas tamu itu pergi, ‘Aisyah bertanya kepada beliau: “Wahai Rasulullah, kenapa ketika anda melihat orang tadi anda berkata yang jelek. Tetapi kemudian anda menghadapinya dengan wajah ceria dan bertutur kata lembut.” Rasulullah saw menjawab: “Wahai ‘Aisyah, kapan kamu menemukan aku berkata kasar!? Sungguh orang yang yang paling jelek kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang dijauhi orang lain karena takut kejelekannya.” (Shahih al-Bukhari bab lam yakunin-Nabi saw fahisyan wa la mutafahhisyan no. 6032).

Imam al-Bukhari juga memasukkan hadits di atas dalam bab ma yajuzu min-ightiyab ahlil-fasad war-riyab; bolehnya mengghibah orang yang tukang merusak dan menimbulkan keresahan no. 6054. Maksudnya jika orang yang dimaksud jelas sebagai tukang merusak dan menimbulkan keresahan maka boleh dighibah kepada orang-orang terdekat agar diwaspadai. Orang jahat yang disebutkan Nabi saw dalam hadits di atas itu sendiri menurut al-Hafizh Ibn Hajar adalah ‘Uyainah ibn Hishn, tokoh kafir yang kemudian masuk Islam tetapi belum kunjung baik dalam ber-Islamnya. Meski demikian sikap kepadanya atau di hadapan umum tetap harus baik dan lembut. Maka dari itu Imam al-Bukhari juga menuliskan hadits di atas dalam bab al-mudarah ma’an-nas; bersikap lembut kepada orang-orang meski itu orang-orang jahat no. 6131. Sikap ini bukan termasuk mudahanah (menjilat) karena perbedaannya jelas; mudahanah memperlihatkan keridlaan kepada orang fasiq dan tidak berani mengingkarinya, sementara mudarah adalah bersikap lembut dalam melarang orang fasiq, tidak dengan sikap yang keras melainkan lembut dalam perkataan dan perbuatan, terlebih lagi jika orang yang dimaksud seorang muallaf (Fathul-Bari).

Masih dalam bab ghibah, Imam al-Bukhari juga menuliskan hadits tentang pujian Nabi saw kepada beberapa kabilah Anshar dengan menyebut satu kabilah yang terbaiknya. Kabilah lain yang tidak disebut terbaik ada yang merasa tersinggung. Tetapi kemudian diingatkan oleh Nabi saw bahwa beliau tidak menghina mereka, sebab faktanya tetap memuji mereka sebagai kabilah yang baik. Letak ghibahnya karena Nabi saw secara tidak langsung “merendahkan” kabilah lainnya. Meski demikian ini justru menjadi dalil bahwa hal semacam itu diperkenankan oleh syari’at. Bukan dengan merendahkan orang atau kelompok tertentu, melainkan sebatas memuji kelebihan setiap orang kemudian memuji salah satunya sebagai yang terbaik. Dalam konteks Pilpres, cukup dengan memuji semua paslon, kemudian menegaskan salah satu paslon yang terbaiknya. Jadi tidak dengan menghina dan merendahkan secara langsung paslon yang tidak lebih baik.

إِنَّ خَيْرَ دُورِ الْأَنْصَارِ دَارُ بَنِي النَّجَّارِ ثُمَّ عَبْدِ الْأَشْهَلِ ثُمَّ دَارُ بَنِي الْحَارِثِ ثُمَّ بَنِي سَاعِدَةَ وَفِي كُلِّ دُورِ الْأَنْصَارِ خَيْرٌ فَلَحِقَنَا سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ فَقَالَ أَبَا أُسَيْدٍ أَلَمْ تَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَيَّرَ الْأَنْصَارَ فَجَعَلَنَا أَخِيرًا فَأَدْرَكَ سَعْدٌ النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ خُيِّرَ دُورُ الْأَنْصَارِ فَجُعِلْنَا آخِرًا فَقَالَ أَوَلَيْسَ بِحَسْبِكُمْ أَنْ تَكُونُوا مِنْ الْخِيَارِ

“Sebaik-baiknya kampung Anshar adalah Banin-Najjar, lalu ‘Abdil-Asyhal, lalu Banil-Harits, kemudian Bani Sa’idah. Tetapi di semua kampung Anshar itu ada kebaikan.” Kata Abu Humaid: Sa’ad ibn ‘Ubadah menemui kami dan berkata: “Wahai Abu Usaid, tidakkah kamu melihat Rasulullah saw memilih yang terbaik dari kaum Anshar dan menjadikan kita yang terakhir?” Sa’ad kemudian bertemu Nabi saw dan berkata: “Wahai Rasulullah, kampung Anshar sudah dipilih yang terbaik lalu kami dijadikan terakhir!?” Beliau bersabda: “Tidakkah cukup bagi kalian termasuk orang-orang yang terbaik?” (Shahih al-Bukhari bab fadlli duril-Anshar no. 3791. Dalam kitab al-adab Imam al-Bukhari menuliskan hadits ini dengan tarjamah: bab qaulin-Nabi saw khairu duril-Anshar no. 6053 di tengah-tengah rangkaian pembahasan seputar ghibah)

Banin-Najjar adalah suku asal ibu kakek Nabi saw, ‘Abdul-Muththallib, yang bernama Salma binti ‘Amr. Banin-Najjar adalah penduduk Yatsrib (Madinah) yang merawat ayah dan ibu Nabi saw ketika mereka sakit di Yatsrib sampai keduanya wafat di sana. Banin-Najjar juga merupakan tempat yang dituju oleh Nabi saw ketika hijrah ke Madinah. Nabi saw meminta mereka menjual lahannya untuk dibangunkan masjid tetapi mereka malah mewakafkannya (Shahih al-Bukhari bab hal tuhbasyu qubur musyrikil-Jahiliyyah no. 428).

Yang hanya diperkenankan untuk dipermalukan di muka umum adalah mereka yang masuk kategori mujahirin; orang-orang yang secara terang-terangan berbuat menyimpang di depan umum dan malah bangga dengan perbuatan menyimpangnya. Mereka sama statusnya dengan Fir’aun, Haman, Qarun, dan Abu Lahab. Dalam konteks perbuatan menyimpangnya boleh dijelaskan di depan umum ketika faktanya mereka merasa bangga dengan perbuatan menyimpangnya tersebut. Hanya itu saja, sementara aspek kehormatan lainnya tetap haram dipergunjingkan.

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلًا ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللَّهِ عَنْهُ

Semua umatku akan dimaafkan kecuali yang menjaharkan (perbuatan dosanya). Di antara bentuk mujaharah adalah seseorang beramal pada satu malam, kemudian keesokan harinya padahal Allah sudah menutupinya, tetapi ia berkata: “Hai fulan, tadi malam aku beramal begini dan begitu.” Padahal malamnya Rabbnya sudah menutupinya, tetapi esok harinya ia menyingkap tirai Allah darinya (Shahih al-Bukhari bab satril-mu`min ‘ala nafsihi no. 6069).

Wal-‘Llahul a’lam bis-shawab

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *